SE 39 Tahun 2021

SURAT EDARAN
NOMOR SE-39/PJ/2021

TENTANG

IMPLEMENTASI COMPLIANCE RISK MANAGEMENT DAN BUSINESS INTELLIGENCE

Yth.
1.
Pejabat Eselon II di lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
2.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
3.
Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan; dan
4.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
A.

Umum

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai tugas mengumpulkan penerimaan negara yang terus bertambah untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka mewujudkan tujuan negara masyarakat adil dan makmur. Selain itu, DJP mengadministrasikan Wajib Pajak beserta data informasi yang terkait Wajib Pajak yang jumlahnya semakin bertambah.
Saat ini sistem administrasi terus dikembangkan untuk mampu mengadministrasikan Wajib Pajak dan data tersebut. Disamping itu diperlukan strategi yang sesuai untuk melakukan pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum yang lebih efektif dan efisien sesuai dengan tingkat risiko dan kepatuhan Wajib Pajak yang bersangkutan. Strategi yang dimaksud  berupa implementasi compliance risk management dan business intelligence.
Compliance risk management merupakan proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan secara sistematis, terukur, objektif dan berulang dalam rangka membentuk risk engine (mesin penentu risiko) untuk mendukung pengambilan keputusan di DJP secara lebih efisien dan efektif. Mesin penentu risiko digunakan dalam pembobotan risiko untuk menghasilkan level risiko yang ditampilkan dalam bentuk peta risiko kepatuhan Wajib Pajak.
Saat ini DJP telah mengimplementasikan compliance risk management sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-24/PJ/2019 tentang Implementasi Compliance Risk Management dalam Kegiatan Ekstensifikasi, Pengawasan, Pemeriksaan dan Penagihan di Direktorat Jenderal Pajak. Namun demikian, seiring dengan kebutuhan untuk melakukan percepatan implementasi compliance risk management pada seluruh proses bisnis di DJP, perlu dilakukan penambahan implementasi compliance risk management pada fungsi pelayanan dan fungsi edukasi perpajakan, serta penyempurnaan pada fungsi pengawasan, pemeriksaan dan penagihan berupa implementasi compliance risk management transfer pricing, dengan dukungan business intelligence. Implementasi business intelligence dimaksudkan untuk otomatisasi dan mempertahankan nilai tambah atas proses compliance risk management. Penambahan dan penyempurnaan tersebut dilakukan untuk mendorong pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum yang lebih efektif dan efisien.
Selain untuk mendukung implementasi compliance risk management dalam menyusun prioritas rencana tindakan, implementasi business intelligence dapat digunakan pada setiap tahap pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pengawasan, pemeriksaan, penagihan. Business intelligence menghasilkan output yang terintegrasi dengan seluruh keputusan strategis dalam setiap proses bisnis di DJP.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk mendorong kepatuhan dan mencegah ketidakpatuhan Wajib Pajak berdasarkan perilakunya serta mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki DJP, perlu ditetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak mengenai implementasi compliance risk management dan business intelligence.
B.

Maksud dan Tujuan

1.
Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan penjelasan umum dalam rangka implementasi compliance risk management dan business intelligence dalam kegiatan ekstensifikasi, pelayanan, edukasi perpajakan, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan pengujian transfer pricing di unit kerja DJP.
2.
Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk:
a.
memberikan petunjuk pelaksanaan dan penerapan compliance risk management dan business intelligence dalam kegiatan ekstensifikasi, pelayanan, edukasi perpajakan, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan pengujian transfer pricing; dan
b.
menyeragamkan prosedur pelaksanaan compliance risk management dan business intelligence dalam kegiatan ekstensifikasi, edukasi perpajakan, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan pengujian transfer pricing.
C.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:
1.
pengertian;
2.
ketentuan umum;
3.
ketentuan Implementasi CRM:
a.
fungsi ekstensifikasi;
b.
fungsi pelayanan;
c.
fungsi edukasi perpajakan;
d.
fungsi pemeriksaan dan pengawasan;
e.
fungsi penagihan; dan
f.
4.
ketentuan Implementasi Bl berupa pemanfaatan ATP dan SmartWeb; dan
5.
ketentuan lain-lain.
D.

Dasar

1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
4.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha;
6.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.01/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak;
7.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.01/2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;
8.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar;
9.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
10.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 49 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pajak;
11.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 50 Tahun 2020 tentang Jabatan Asisten Fungsional Penyuluh Pajak;
12.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 577/KMK.01/2019 tentang Manajemen Risiko di Lingkungan Kementerian Keuangan;
13.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2016 tentang Standar Pelayanan di Tempat Pelayanan Terpadu Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2017;
14.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
15.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2021 tentang Edukasi Perpajakan;
16.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 702/PJ/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Risiko di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
17.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2012 tentang Kebijakan Penagihan Pajak;
18.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2015 tentang Pedoman Administrasi Pembangunan, Pemanfaatan, dan Pengawasan Data;
19.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2015 tentang Pengawasan Wajib Pajak dalam Bentuk Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan, dan Kunjungan (Visit) Kepada Wajib Pajak;
20.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-49/PJ/2016 tentang Pengawasan Wajib Pajak Melalui Sistem Informasi;
21.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan;
22.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ/2019 tentang Tata Cara Ekstensifikasi; dan
23.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ/2020 tentang Kebijakan Pengawasan dan Pemeriksaan Wajib Pajak dalam Rangka Perluasan Basis Pajak.
E.

Materi

1.
Pengertian
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
a.
Compliance Risk Management yang selanjutnya disingkat CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan secara terstruktur, terukur, objektif dan berulang dalam rangka mendukung pengambilan keputusan terbaik DJP, meliputi tahapan kegiatan persiapan, penetapan konteks, analisis risiko, strategi mitigasi risiko dengan menentukan pilihan perlakuan (treatment), serta monitoring dan evaluasi atas risiko kepatuhan.
b.
Business Intelligence yang selanjutnya disingkat Bl adalah teknik yang menggabungkan arsitektur, perangkat teknologi informasi, dan basis data untuk pengumpulan, penyimpanan, pengelolaan data, dan manajemen pengetahuan dengan perangkat analisis data dalam rangka penyajian informasi yang bermanfaat bagi perencana dan pengambil keputusan.
c.
Risiko Kepatuhan Wajib Pajak adalah segala kemungkinan (likelihood) atau ketidakpastian (uncertainty) yang memberikan dampak (consequences) terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
d.
Peta Risiko Kepatuhan adalah matriks/peta yang menggambarkan kombinasi antara level kemungkinan dan level dampak serta memuat nilai besaran Risiko Kepatuhan Wajib Pajak berdasarkan kombinasi unsur level kemungkinan dan level dampak.
e.
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Ekstensifikasi adalah peta yang menggambarkan Risiko Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak yang disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dan tingkat kontribusi Wajib Pajak terhadap penerimaan.
f.
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Pelayanan adalah peta yang menggambarkan Risiko Kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pendaftaran, pelaporan, pembayaran, dan kebenaran pelaporan yang disusun untuk menentukan perlakuan yang diberikan kepada Wajib Pajak pada saat pemberian pelayanan perpajakan.
g.
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Edukasi Perpajakan adalah peta yang menggambarkan Risiko Kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, yang disusun berdasarkan tingkat kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dan tingkat kontribusi Wajib Pajak terhadap penerimaan, dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah perilaku Wajib Pajak.
h.
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Pemeriksaan dan Fungsi Pengawasan adalah peta yang menggambarkan Risiko Kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pelaporan, pembayaran, dan kebenaran pelaporan yang disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dan tingkat kontribusi Wajib Pajak terhadap penerimaan.
i.
Peta Risiko Kepatuhan CRM Transfer Pricing adalah peta yang menggambarkan tingkat Risiko Kepatuhan Wajib Pajak yang memiliki transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dan/atau transaksi transfer pricing lainnya yang disusun berdasarkan tingkat kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dan tingkat kontribusi dampak Wajib Pajak terhadap penerimaan.
j.
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Penagihan adalah peta yang menggambarkan Risiko Kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran piutang pajak yang disusun berdasarkan tingkat ketertagihan piutang pajak, keberadaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, serta kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
k.
Alat Keterangan (Alket) adalah Data dan Informasi yang spesifik terkait untuk setiap Wajib Pajak yang dimiliki dan/atau didapat DJP dari berbagai sumber melalui pelaksanaan tugas dan fungsi Unit di Lingkungan DJP untuk dilakukan Pemanfaatan Data oleh selain Unit Produksi Alket terutama untuk penggalian potensi perpajakan.
l.
Pelayanan Perpajakan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh DJP untuk memenuhi kebutuhan pelayanan dalam rangka pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
m.
Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disingkat KPP, adalah instansi vertikal DJP yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah DJP.
n.
Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan, yang selanjutnya disingkat KP2KP, adalah instansi vertikal DJP yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala KPP Pratama.
o.
Daftar Sasaran Ekstensifikasi yang selanjutnya disingkat DSE adalah daftar Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
p.
Daftar Sasaran Penyuluhan Terpilih yang selanjutnya disingkat DSPT adalah daftar sasaran kegiatan yang akan menjadi peserta kegiatan edukasi perpajakan yang dipilih pada Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Edukasi Perpajakan.
q.
Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi yang selanjutnya disingkat DSP3 adalah daftar Wajib Pajak yang menjadi sasaran prioritas penggalian potensi sepanjang tahun berjalan baik melalui kegiatan pengawasan maupun pemeriksaan.
r.
Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat DSPP adalah daftar Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan sepanjang tahun berjalan.
s.
Daftar Prioritas Pengawasan yang selanjutnya disingkat DPP adalah daftar Wajib Pajak yang akan dilakukan penelitian kepatuhan material oleh KPP pada tahun berjalan.
t.
Daftar Prioritas Pencairan adalah daftar yang memuat prioritas penagihan kepada Wajib Pajak yang diperkirakan memiliki kemampuan untuk membayar dan/atau melunasi ketetapan.
u.
Daftar Prioritas Tindakan adalah daftar yang memuat prioritas penagihan kepada Wajib Pajak yang memiliki satu atau lebih ketetapan yang diperkirakan akan daluwarsa dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
v.
Dashboard adalah aplikasi antarmuka (interface) pengguna untuk menampilkan berbagai matriks untuk memantau keberhasilan dan keselarasan strategi dengan target dan tujuan strategis.
w.
Sistem Informasi Penyuluhan adalah sistem informasi yang digunakan untuk administrasi, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan kegiatan edukasi dan penyuluhan perpajakan yang disediakan oleh DJP.
x.
Approweb adalah aplikasi yang dimiliki DJP dalam rangka penyandingan data internal dan data eksternal yang digunakan sebagai alat untuk melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak.
y.
Ability to Pay yang selanjutnya disingkat ATP adalah aplikasi yang dibentuk melalui proses data analytics yang digunakan untuk memberikan deskripsi dan/atau prediksi tingkat kemampuan bayar Wajib Pajak.
z.
SmartWeb adalah aplikasi berbasis graph analytics yang mampu Wajib Pajak grup dengan menyajikan hubungan Wajib Pajak dalam bentuk jaringan (network), informasi Wajib Pajak Orang Pribadi Kaya (High Wealth Individual) beserta perusahaan grupnya, informasi Beneficial Owner dan Ultimate Beneficial Owner, serta indikasi risiko ketidakpatuhannya.
aa.
Komite Kepatuhan Wajib Pajak, selanjutnya disebut Komite Kepatuhan, adalah komite yang berfungsi menentukan tindak lanjut Wajib Pajak yang dimasukkan ke dalam DSP3, yang terdiri dari Kepala KPP sebagai ketua Komite dan beranggotakan Kepala Seksi Pemeriksaan, Penilaian, dan Penagihan, Kepala Seksi Pengawasan I s.d. VI, Kepala Seksi Penjaminan Kualitas Data, dan Supervisor Jabatan Fungsional.
bb.
Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan yang selanjutnya disingkat SP2DK adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
cc.
Laporan Hasil Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan yang selanjutnya disingkat LHP2DK adalah laporan yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan yang memuat simpulan dan usulan/rekomendasi.
2.
Ketentuan Umum
a.
Implementasi CRM secara umum merupakan proses penggunaan mesin penentu risiko yang menghasilkan Peta Risiko Kepatuhan Wajib Pajak untuk digunakan sebagai pertimbangan dalam perencanaan kegiatan dan menentukan prioritas tindakan dalam proses bisnis sebagai berikut:
1)
Fungsi ekstensifikasi
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Ekstensifikasi digunakan untuk merencanakan DSE yang nantinya digunakan untuk menentukan prioritas pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif.
2)
Fungsi pelayanan
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Pelayanan digunakan untuk membedakan jenis notifikasi tingkat Risiko Kepatuhan Wajib Pajak yang mengajukan permohonan layanan tertentu.
3)
Fungsi edukasi perpajakan
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Edukasi Perpajakan digunakan untuk merencanakan DSPT yang nantinya digunakan untuk menentukan prioritas Wajib Pajak yang akan dilakukan edukasi perpajakan.
4)
Fungsi pengawasan dan fungsi pemeriksaan
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Pengawasan dan Pemeriksaan serta Peta Risiko Kepatuhan CRM Transfer Pricing, ATP, SmartWeb dan data lainnya digunakan dalam penyusunan DSP3 untuk menentukan prioritas penggalian potensi Wajib Pajak yang akan dilakukan pengawasan dalam DPP maupun pemeriksaan dalam DSPP.
5)
Fungsi penagihan
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Penagihan berupa Daftar Prioritas Pencairan dan Daftar Prioritas Tindakan digunakan untuk merencanakan tindakan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dengan disertai pemanfaatan ATP dan SmartWeb.
b.
Implementasi Bl dalam hal ini pemanfaatan ATP dan SmartWeb dapat dilakukan pada implementasi CRM fungsi pengawasan dan fungsi pemeriksaan serta CRM fungsi penagihan. Selain itu ATP dan SmartWeb dapat digunakan juga dalam tahap kegiatan pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan.
c.
Alur implementasi CRM serta Peta Risiko Kepatuhan Wajib Pajak dapat digambarkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
3.
Ketentuan Implementasi CRM
a.
Ketentuan Implementasi CRM fungsi ekstensifikasi
Ketentuan terkait implementasi CRM dalam fungsi ekstensifikasi adalah sebagai berikut:
1)
Tata cara ekstensifikasi dimulai dengan tahap perencanaan ekstensifikasi yang mana dalam tahapan perencanaan tersebut diakhiri dengan penyusunan DSE;
2)
Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian menetapkan DSE berdasarkan Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Ekstensifikasi dan data lain;
3)
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Ekstensifikasi ditampilkan pada SIDJP-NINE modul ekstensifikasi dengan kriteria sebagai berikut:
a)
Risiko Kepatuhan Wajib Pajak Fungsi Ekstensifikasi adalah tingkat kemungkinan tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan akibat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif namun tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
b)
Tingkat Kemungkinan Ketidakpatuhan (sumbu X) adalah tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif namun tidak mendaftarkan diri.
c)
Dampak Fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi hilangnya penerimaan dari Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif namun tidak mendaftarkan diri.
4)
SIDJP-NINE modul ekstensifikasi sebagaimana dimaksud angka 3) merupakan sistem informasi yang digunakan untuk administrasi, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi perpajakan yang disediakan oleh DJP.
5)
Tata cara dan ketentuan terkait pelaksanaan, tindak lanjut, pemantauan, dan evaluasi kegiatan ekstensifikasi dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengenai tata cara ekstensifikasi.
b.
Implementasi CRM fungsi pelayanan
Ketentuan terkait implementasi CRM fungsi pelayanan adalah sebagai berikut:
1)
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Pelayanan yang disajikan ke dalam sistem informasi pelayanan disajikan dengan kriteria sebagai berikut:
a)
Risiko Kepatuhan Wajib Pajak Fungsi Pelayanan adalah tingkat kemungkinan hilangnya penerimaan pajak akibat ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pendaftaran, pelaporan tepat waktu, pembayaran, dan pelaporan dengan benar;
b)
Tingkat Kemungkinan Ketidakpatuhan (sumbu X) adalah tingkat kemungkinan tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan dalam hal melakukan pendaftaran, pelaporan tepat waktu, pembayaran, dan pelaporan dengan benar; dan
c)
Dampak Fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan dalam hal melakukan pendaftaran, pelaporan tepat waktu, pembayaran, dan pelaporan dengan benar.
2)
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan atas pelayanan perpajakan tertentu diterapkan CRM fungsi pelayanan dengan cara:
a)
Pemberian notifikasi untuk melakukan pembaruan data Wajib Pajak; dan/atau
b)
Pemberian notifikasi untuk memberitahukan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
3)
Pelayanan perpajakan tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 2) adalah layanan di bidang perpajakan yang dapat diterapkan CRM fungsi pelayanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini dan tambahan layanan lainnya di bidang perpajakan yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak.
4)
Pengajuan permohonan pelayanan perpajakan tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 2) merupakan permohonan yang disampaikan:
a)
secara daring (online) melalui laman DJP;
b)
secara langsung ke KPP/KP2KP; dan
c)
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, maupun jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
5)
Pengajuan permohonan pelayanan perpajakan tertentu yang disampaikan secara langsung ke KPP/KP2KP sebagaimana dimaksud pada angka 4) huruf b) dapat disampaikan oleh:
a)
Wajib Pajak orang pribadi/pimpinan tertinggi/pengurus;
b)
Kuasa Wajib Pajak yang dibuktikan dengan Surat Kuasa Khusus;
c)
Pegawai Wajib Pajak dengan bukti kartu identitas pegawai; atau
d)
Pihak lain selain angka 1), 2) dan 3) dengan bukti surat penunjukan dari Wajib Pajak/kuasa.
6)
Notifikasi untuk melakukan pembaruan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2) huruf a) diatur sebagai berikut:
a)
notifikasi diberikan dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembaruan data dalam jangka waktu paling sedikit 6 (enam) bulan;
b)
notifikasi diberikan untuk semua profil risiko Wajib Pajak; dan
c)
atas notifikasi tersebut, Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan perubahan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
7)
Notifikasi untuk memberitahukan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2) huruf b) diatur sebagai berikut:
a)
Ruang lingkup kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak adalah ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam hal pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan tepat waktu;
b)
Notifikasi terdiri dari 3 (tiga) model yaitu:
(1)
notifikasi halus (gentle reminder);
(2)
notifikasi sedang (modest reminder); dan
(3)
notifikasi keras (harsh reminder);
c)
Notifikasi untuk memberitahukan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi diterbitkan berdasarkan profil risiko Wajib Pajak pada bulan pengajuan permohonan;
d)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan beberapa permohonan dalam bulan yang sama, maka notifikasi diterbitkan hanya pada saat permohonan pertama diajukan;
e)
Terhadap Wajib Pajak dengan profil risiko tinggi, sistem informasi di DJP meneruskan daftar kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a) kepada Account Representative dan/atau Juru Sita Pajak Negara pada Approweb untuk dilakukan pengawasan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentang pengawasan Wajib Pajak;
f)
Cara penyampaian notifikasi:
(1)
dalam hal permohonan pelayanan perpajakan tertentu disampaikan secara daring (online) melalui laman DJP sebagaimana dimaksud pada angka 4) huruf a), notifikasi untuk memberitahukan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak ditampilkan pada laman DJP saat Wajib Pajak mengakses menu layanan dan daftar kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak disampaikan secara otomatis ke alamat posel (email) Wajib Pajak yang terdaftar pada sistem informasi di DJP setelah Wajib Pajak mengajukan permohonan pelayanan perpajakan;
(2)
dalam hal permohonan pelayanan perpajakan tertentu disampaikan secara langsung ke KPP/KP2KP oleh Wajib Pajak orang pribadi/pimpinan tertinggi/pengurus atau Kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5) huruf a) dan huruf b), daftar kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak dapat dicetak dan disampaikan secara langsung kepada Wajib Pajak/Kuasa Wajib Pajak; atau
(3)
dalam hal permohonan pelayanan perpajakan tertentu disampaikan secara langsung ke KPP/KP2KP oleh pihak yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada angka 5) huruf c) dan huruf d) atau disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, maupun jasa kurir dengan bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada angka 4) huruf c), daftar kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak disampaikan melalui posel (email) bagi Wajib Pajak dengan semua jenis profil risiko dan secara khusus bagi Wajib Pajak dengan profil risiko tinggi dicetak kemudian disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, maupun jasa kurir dengan bukti pengiriman surat;
8)
Prosedur Penerapan CRM fungsi pelayanan atas permohonan pelayanan perpajakan
a)
prosedur penerapan CRM fungsi pelayanan atas permohonan pelayanan perpajakan yang disampaikan secara daring (online) melalui laman DJP sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini;
b)
prosedur penerapan CRM atas permohonan pelayanan perpajakan yang disampaikan secara langsung ke KPP/KP2KP sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C.2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini; dan
c)
prosedur penerapan CRM atas permohonan pelayanan perpajakan yang disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C.3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
c.
Implementasi CRM fungsi edukasi perpajakan
Ketentuan terkait implementasi CRM fungsi edukasi perpajakan adalah sebagai berikut:
1)
Implementasi CRM fungsi edukasi perpajakan dilaksanakan untuk mendukung perencanaan edukasi perpajakan dengan memanfaatkan Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Edukasi Perpajakan;
2)
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Edukasi Perpajakan yang disajikan ke dalam sistem informasi penyuluhan dengan kriteria sebagai berikut:
a)
Risiko Kepatuhan Wajib Pajak fungsi edukasi perpajakan adalah segala kemungkinan (likelihood) atau ketidakpastian (uncertainty) yang memberikan dampak (consequences) terhadap kepatuhan Wajib Pajak terkait pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah perilaku Wajib Pajak;
b)
Tingkat Kemungkinan Ketidakpatuhan (sumbu X) adalah tingkat kemungkinan tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan dalam hal melakukan pelaporan tepat waktu, pembayaran, dan pelaporan dengan benar; dan
c)
Dampak Fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan dalam hal melakukan pelaporan tepat waktu, pembayaran, dan pelaporan dengan benar.
3)
Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Edukasi Perpajakan digunakan sebagai salah satu pertimbangan penyusunan DSPT dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D dan dokumen dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E dan F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini;
4)
Jangka waktu penyusunan DSPT adalah paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan kegiatan;
5)
Jangka waktu input data DSPT yang disusun dengan menggunakan aplikasi pengolah kata dan sebagainya, serta unggah dokumen Berita Acara ke dalam Sistem Informasi Penyuluhan adalah 14 (empat belas) hari kalender setelah DSPT disetujui dan ditandatangani;
6)
Tata cara dan ketentuan terkait pelaksanaan, tindak lanjut, pemantauan, dan evaluasi kegiatan edukasi perpajakan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan mengenai tata cara edukasi perpajakan.
d.
Implementasi CRM fungsi pemeriksaan dan fungsi pengawasan
Ketentuan terkait implementasi CRM fungsi pemeriksaan dan fungsi pengawasan adalah sebagai berikut:
1)
Kepala KPP selaku Ketua Ko mite Kepatuhan Wajib Pajak bersama dengan anggota Komite Kepatuhan Wajib Pajak melakukan pembahasan DSP3 untuk menentukan DSPP dan DPP;
2)
DSP3 disusun berdasarkan Peta Risiko Kepatuhan, Laporan Hasil Analisis (LHA) dalam rangka penggalian potensi perpajakan, ATP, SmartWeb, Peta Risiko Kepatuhan CRM Transfer Pricing, dan/atau data dan keterangan lain dari Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi berstatus pusat, serta Wajib Pajak lainnya dengan mengacu pada aturan terkait kebijakan pemeriksaan dan/atau atau pengawasan;
3)
Peta Risiko Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada angka 2), menggunakan Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Pemeriksaan dan Fungsi Pengawasan yang disajikan di dalam Approweb dengan Fungsi sebagai berikut:
a)
Risiko Kepatuhan Wajib Pajak fungsi pemeriksaan dan fungsi pengawasan adalah segala kemungkinan (likelihood) atau ketidakpastian (uncertainty) yang memberikan dampak (consequences) terhadap kepatuhan Wajib Pajak terkait hilangnya penerimaan pajak akibat ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pelaporan tepat waktu (timely filing), pembayaran tepat waktu (timely payment), dan pelaporan yang lengkap dan benar (complete and correct reporting);
b)
Tingkat Kemungkinan Ketidakpatuhan (sumbu X) adalah tingkat kemungkinan tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan dalam hal melakukan pelaporan tepat waktu (timely filing), pembayaran tepat waktu (timely payment), dan pelaporan yang lengkap dan benar (complete and correct reporting);
c)
Dampak Fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan dengan benar.
4)
Data dan/atau keterangan lain yang digunakan sebagai dasar penyusunan DSP3 yang bersumber selain dari Peta Risiko Kepatuhan, dimasukkan ke dalam sistem informasi yang disediakan oleh DJP;
5)
Berdasarkan hasil pembahasan DSP3, Komite Kepatuhan Wajib Pajak membuat Berita Acara Pembuatan Peta Risiko Kepatuhan dan Pembahasan DSP3 untuk ditetapkan menjadi DSPP dan DPP dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini yang berlaku sebagai pengganti Berita Acara Pembuatan Peta Kepatuhan dan Pembahasan DSP3 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentang pemeriksaan Wajib Pajak;
6)
Terhadap Wajib Pajak yang ditetapkan ke dalam DSPP, KPP menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentang pemeriksaan Wajib Pajak;
7)
Terhadap Wajib Pajak yang ditetapkan ke dalam DPP, KPP menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentang pengawasan Wajib Pajak;
8)
KPP membuat DPP dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini untuk disampaikan ke Kantor Wilayah DJP;
9)
Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Kantor Wilayah DJP merekapitulasi DPP untuk disampaikan ke Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan dan Direktorat Data dan Informasi Perpajakan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
e.
Implementasi CRM fungsi penagihan
Ketentuan terkait implementasi CRM fungsi penagihan pajak dengan Surat Paksa adalah sebagai berikut:
1)
Dalam rangka optimalisasi pencairan piutang pajak, KPP diwajibkan menetapkan prioritas penagihan dengan mengacu pada prognosis pencairan piutang pajak dan rencana kegiatan penagihan;
2)
Prognosis pencairan piutang pajak dan rencana kegiatan penagihan sebagaimana dimaksud pada angka 1) disusun menggunakan CRM fungsi penagihan;
3)
CRM fungsi penagihan menghasilkan Daftar Prioritas Tindakan dan Daftar Prioritas Pencairan yang ditampilkan dalam Approweb;
4)
Wajib Pajak dalam Daftar Prioritas Tindakan dan Daftar Prioritas Pencairan dipetakan sesuai tingkat risikonya ke dalam posisi risiko yang ditampilkan pada Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Penagihan dengan kriteria sebagai berikut:
a)
Risiko Kepatuhan Wajib Pajak fungsi penagihan adalah segala kemungkinan (likelihood) atau ketidakpastian (uncertainty) yang memberikan dampak (consequences) terhadap kepatuhan Wajib Pajak berupa hilangnya penerimaan pajak akibat tidak terpenuhinya kewajiban pembayaran atas tunggakan pajak yang disebabkan antara lain karena hilangnya kesempatan untuk menagih utang pajak dan/atau mencairkan piutang pajak;
b)
Kecenderungan Wajib Pajak untuk membayar (sumbu X) adalah tingkat kemungkinan ketertagihan piutang berdasarkan keberadaan dan kemampuan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak memenuhi kewajiban pembayaran piutang pajak, serta kondisi piutang.
c)
Dampak fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi tidak terpenuhinya kewajiban pembayaran piutang pajak.
5)
Prioritas penagihan yang disusun berdasarkan Daftar Prioritas Tindakan dan Daftar Prioritas Pencairan yang merupakan output CRM fungsi penagihan ditindaklanjuti sesuai urutan risiko masing-masing Wajib Pajak atau sesuai dengan kebijakan lain berdasarkan pertimbangan Kepala KPP;
6)
Pelaksanaan tindak lanjut atas Wajib Pajak dalam Daftar Prioritas Tindakan dan Daftar Prioritas Pencairan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
7)
Prognosis pencairan piutang pajak dan rencana kegiatan penagihan sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kebijakan penagihan disusun dengan menggunakan data dari Peta Risiko Kepatuhan CRM Fungsi Penagihan, ATP, SmartWeb, dan/atau data dan keterangan lain dari Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi berstatus pusat, serta Wajib Pajak lainnya dengan mengacu pada aturan terkait kebijakan penagihan.
8)
Kepala KPP selaku Ketua Komite Kepatuhan Wajib Pajak bersama dengan anggota Komite Kepatuhan Wajib Pajak melakukan pembahasan daftar prioritas tindakan dan daftar prioritas pencairan untuk menentukan prognosis pencairan piutang pajak dan rencana kegiatan penagihan.
f.
Implementasi CRM Transfer Pricing
Ketentuan terkait implementasi CRM Transfer Pricing adalah sebagai berikut:
1)
Peta Risiko Kepatuhan CRM Transfer Pricing yang disajikan ke dalam Approweb dengan kriteria sebagai berikut:
a)
Risiko Kepatuhan Wajib Pajak Transfer Pricing adalah segala kemungkinan (likelihood) atau ketidakpastian (uncertainty) yang memberikan dampak (consequences) berupa hilangnya penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang memiliki transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa;
b)
Tingkat Kemungkinan Ketidakpatuhan (sumbu X) adalah tingkat kemungkinan tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan atas transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa; dan
c)
Dampak Fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan atas transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
2)
Peta Risiko Kepatuhan CRM Transfer Pricing digunakan sebagai salah satu pertimbangan penyusunan (DSP3);
3)
KPP menindaklanjuti DSP3 sebagaimana dimaksud pada angka 2) dengan melaksanakan pengujian penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau arm’s length principle terhadap transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
4.
Ketentuan Implementasi Bl berupa pemanfaatan ATP dan SmartWeb
a.
Implementasi Bl di DJP dimaksudkan dalam rangka otomatisasi, percepatan dan sekaligus perlindungan proses penciptaan nilai tambah atas proses CRM, sehingga pengetahuan yang dihasilkan Bl dapat terintegrasi dengan keseluruhan keputusan strategis dalam proses bisnis di DJP;
b.
Pada saat ini Bl yang diimplementasikan adalah aplikasi ATP dan SmartWeb;
c.
Dalam implementasi CRM, pemanfaatan Bl berupa bahan pertimbangan Komite Kepatuhan Wajib Pajak untuk penentuan prioritas dalam hal sebagai berikut:
1)
Pada CRM fungsi pengawasan dan fungsi pemeriksaan:
a)
ATP memberikan gambaran kemampuan bayar Wajib Pajak untuk menentukan DSP3, DPP maupun DSPP;
b)
SmartWeb memberikan gambaran jaringan dan profil Wajib Pajak untuk menentukan DSP3, DPP maupun DSPP
2)
Pada CRM fungsi penagihan:
a)
ATP memberikan gambaran kemampuan bayar Wajib Pajak untuk menentukan Prognonsis Pencairan Piutang dan Rencana Kegiatan Penagihan;
b)
SmartWeb memberikan gambaran jaringan dan profil Wajib Pajak untuk menentukan Prognosis Pencairan Piutang dan Rencana Kegiatan Penagihan
d.
ATP dan SmartWeb dapat digunakan pada setiap tahapan kegiatan pelaksanaan dan monitoring/evaluasi pengawasan, pemeriksaan, penagihan, permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak;
e.
Pemanfaatan ATP:
1)
ATP merupakan indikator yang memberikan gambaran kemampuan bayar Wajib Pajak yang bersifat prediktif yang dibentuk berdasarkan data historis.
2)
ATP ditampilkan di aplikasi Approweb pada Modul CRM, dan terbagi atas 3 kelas yaitu:
a)
kelas Large/Besar terdiri atas Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Wajib Pajak Besar;
b)
kelas Medium/Menengah terdiri atas Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Madya dan KPP di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus; dan
c)
kelas Small/Kecil terdiri atas Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Prata ma.
3)
ATP menggunakan pendekatan skala pengukuran (scoring) berdasarkan analisis 4C yaitu Capacity, Capital, Character dan Condition untuk memberikan gambaran level kualitatif kemampuan bayar Wajib Pajak yang terdiri atas:
a)
very low yang mengindikasikan level likuiditas Wajib Pajak relatif sangat rendah dibandingkan dengan Wajib Pajak lain di kelasnya;
b)
low yang mengindikasikan level likuiditas Wajib Pajak relatif rendah dibandingkan dengan Wajib Pajak lain di kelasnya;
c)
moderate yang mengindikasikan level likuiditas Wajib Pajak relatif sedang dibandingkan dengan Wajib Pajak lain di kelasnya;
d)
high yang mengindikasikan level likuiditas Wajib Pajak relatif tinggi dibandingkan dengan Wajib Pajak lain di kelasnya; dan
e)
very high mengindikasikan level likuiditas Wajib Pajak relatif sangat tinggi dibandingkan dengan Wajib Pajak lain di kelasnya.
4)
Pemanfaatan ATP dalam kegiatan pengawasan antara lain sebagai berikut:
a)
ATP dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan kemampuan bayar Wajib Pajak dalam menentukan DSP3.
b)
Account Representative memilih Wajib Pajak yang terdapat dalam DPP dan melakukan penelitian secara komprehensif atas data dan/atau keterangan dalam rangka penyusunan SP2DK dengan mempertimbangkan indikator ATP Wajib Pajak dalam analisis ketertagihan.
c)
Account Representative dapat memanfaatkan indikator ATP dalam rangka optimalisasi pencairan potensi penerimaan atas SP2DK yang telah terbit.
d)
KPP, Kantor Wilayah DJP, Kantor Pusat DJP dapat melakukan monitoring tindak lanjut atas SP2DK dan LHP2DK dengan mempertimbangkan indikator ATP.
5)
Pemanfaatan ATP dalam kegiatan pemeriksaan
a)
Indikator ATP dapat dimanfaatkan sebagai acuan tingkat ketertagihan dalam usulan pemeriksaan.
b)
Indikator ATP dapat memberikan pemahaman atas kemampuan bayar Wajib Pajak pada saat tahap penyusunan rencana pemeriksaan dan pelaksanaan pemeriksaan, namun ATP tidak digunakan untuk mengubah konsep temuan.
6)
Pemanfaatan ATP dalam kegiatan penagihan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan prognosis pencairan piutang pajak dan rencana kegiatan penagihan.
7)
Pemanfaatan ATP dalam kegiatan lainnya
a)
Indikator ATP dapat dimanfaatkan untuk optimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atau penghentian penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara pada kegiatan pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan.
b)
ATP dapat dimanfaatkan dalam proses penelitian permohonan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
c)
ATP dapat dimanfaatkan dalam proses penelitian permohonan pengurangan besarnya pajak penghasilan pasal 25.
d)
ATP dapat dimanfaatkan dalam proses penelitian permohonan pengurangan dan/atau penghapusan sanksi administrasi.
e)
ATP dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan lainnya di DJP dalam rangka penggalian potensi penerimaan pajak.
f.
Pemanfaatan SmartWeb
1)
SmartWeb ditampilkan di aplikasi Approweb dalam modul Akun Wajib Pajak.
2)
SmartWeb menampilkan informasi berupa:
a)
beneficial owner dan/atau ultimate beneficial owner yang merupakan badan atau orang pribadi yang pada akhirnya memiliki atau mengendalikan badan hukum, seperti perusahaan, perwalian, dan/atau yayasan;
b)
grup wajib pajak yang merupakan kumpulan dua atau lebih Wajib Pajak dalam suatu kelompok usaha yang terdiri dari pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh dan/atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN atau pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa akan tetapi diketahui sebagai sebuah kelompok usaha.
c)
transaksi afiliasi dalam hal ini transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh.
d)
indikasi risiko ketidakpatuhan pelaporan transaksi afiliasi.
e)
Wajib Pajak Orang Pribadi Kaya beserta dengan keluarganya dan/atau perusahaan grupnya.
3)
Pemanfaatan SmartWeb dalam kegiatan pengawasan
a)
SmartWeb dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam menentukan DSP3.
b)
Account Representative memilih Wajib Pajak yang terdapat dalam DPP dan melakukan penelitian secara komprehensif atas data dan/atau keterangan dalam rangka penyusunan SP2DK dengan memanfaatkan SmartWeb dalam identifikasi hubungan istimewa antar Wajib Pajak.
4)
Pemanfaatan SmartWeb dalam kegiatan pemeriksaan
a)
SmartWeb dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan indikasi ketidakpatuhan pada saat pengusulan pemeriksaan.
b)
SmartWeb dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat usulan pemeriksaan Wajib Pajak grup.
c)
SmartWeb dapat memberikan gambaran hubungan istimewa dan memperkaya profil Wajib Pajak pada saat tahap penyusunan rencana pemeriksaan dan pelaksanaan pemeriksaan.
5)
Pemanfaatan SmartWeb dalam kegiatan penagihan dapat digunakan dalam rangka identifikasi penanggung pajak.
6)
SmartWeb dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan lainnya di DJP dalam rangka penggalian potensi penerimaan pajak.
F.

Ketentuan lain-lain

1.
Parameter dan/atau variabel yang mempengaruhi Peta Risiko Kepatuhan CRM disusun berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan oleh direktorat yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang data dan informasi perpajakan beserta direktorat teknis di lingkungan Kantor Pusat DJP;
2.
Alur, jenis layanan, prosedur dan format dokumen yang mendukung penyusunan dan tindak lanjut pengadministrasian diatur lebih lanjut dalam:
a.
Lampiran huruf A tentang Alur Implementasi CRM dan Peta Risiko Kepatuhan Wajib Pajak;
b.
Lampiran huruf B tentang Pelayanan Perpajakan Tertentu yang Diterapkan CRM Fungsi Pelayanan;
c.
Lampiran huruf C tentang Prosedur Penerapan CRM Fungsi Pelayanan;
d.
Lampiran huruf D tentang Tata Cara Penyusunan DSPT;
e.
Lampiran huruf E tentang Contoh Format Nota Dinas Penyampaian Daftar Usulan Wajib Pajak yang akan Dimasukan ke dalam DSPT dan Format Nota Dinas Tanggapan atas Daftar Usulan Wajib Pajak ke dalam DSPT;
f.
Lampiran huruf F tentang Contoh Format Berita Acara Penyusunan DSPT di luar Peta Risiko CRM Contoh Fungsi Edukasi Perpajakan (BA DSPT Non CRM);
g.
Lampiran huruf G tentang Contoh Berita Acara Pembuatan Peta Risiko Kepatuhan dan Pembahasan DSP3 untuk Ditetapkan Menjadi DSPP dan DPP;
h.
Lampiran huruf H tentang Contoh Format DPP; dan
i.
Lampiran huruf I tentang Contoh Format Rekapitulasi DPP,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
G.

Penutup

Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2019 Tentang Implementasi Compliance Risk Management Dalam Kegiatan Ekstensifikasi, Pengawasan, Pemeriksaan, dan Penagihan di Direktorat Jenderal Pajak dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya serta penuh tanggung jawab.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2021
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
SURYO UTOMO