PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-11/PJ/2025

TENTANG
KETENTUAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, DAN BEA METERAI DALAM RANGKA PELAKSANAAN SISTEM INTI ADMINISTRASI PERPAJAKAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang

a.
bahwa untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, meningkatkan pelayanan dan melaksanakan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan teknis mengenai pelaporan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan bea meterai;
b.
bahwa ketentuan teknis mengenai pelaporan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan bea meterai yang saat ini berlaku, belum cukup menampung kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sehingga perlu diganti;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta melaksanakan ketentuan Pasal 465 huruf o, huruf p, huruf q, huruf r, huruf s, huruf t, dan huruf x Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan, dan ketentuan Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan;

Mengingat

1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
4.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6571);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6066);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 163, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6904);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 304, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6172) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Partisipasi Interes pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6717);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6830);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 163, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6904);
11.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 601) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1112);
12.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 248);
13.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1112);
14.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78 Tahun 2024 tentang Ketentuan Pelaksanaan Bea Meterai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 768);
15.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 771);
16.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 Tahun 2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1063);
17.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1065);
18.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 78);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KETENTUAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, DAN BEA METERAI DALAM RANGKA PELAKSANAAN SISTEM INTI ADMINISTRASI PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
1.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
2.
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
3.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
4.
Pajak Penghasilan adalah pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
5.
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
6.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
7.
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bea Meterai.
8.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
9.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
10.
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
11.
Wajib Pajak Nonaktif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif tetapi belum dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
12.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
13.
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
14.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
15.
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
16.
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
17.
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
18.
Surat Pemberitahuan Pembetulan adalah Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sebelumnya.
19.
Nomor Induk Kependudukan adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia.
20.
Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha adalah nomor identitas yang diberikan untuk setiap tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
21.
Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
22.
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange, surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
23.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
24.
Portal Wajib Pajak adalah sarana Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
25.
Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
26.
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, uang pensiun, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
27.
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, pensiun, dan pembayaran berkala lainnya, serta pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
28.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang selanjutnya disebut dengan Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak Badan, termasuk bentuk usaha tetap dan Instansi Pemerintah, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
29.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang selanjutnya disebut Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 untuk melaporkan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi, serta penyetoran atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi dalam 1 (satu) masa pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
30.
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang selanjutnya disebut Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 adalah dokumen yang dibuat Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagai bukti atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang telah dipotong.
31.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
32.
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi adalah dokumen dalam format standar atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut.
33.
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan yang diwajibkan membuat Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi, yang selanjutnya disebut Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi, adalah Wajib Pajak, termasuk instansi pemerintah, yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan selain atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
34.
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar adalah Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi berbentuk Dokumen Elektronik dalam format standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini.
35.
Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar adalah dokumen berupa formulir kertas atau Dokumen Elektronik yang memuat data atau informasi pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan tertentu dan kedudukannya dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar.
36.
Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
37.
Subunit Organisasi Instansi Pemerintah yang selanjutnya disebut Subunit Organisasi adalah unit pelaksana di bawah Instansi Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh Instansi Pemerintah untuk melakukan tindakan dan pertanggungjawaban penerimaan pendapatan pemerintah dan/atau pengeluaran atas beban anggaran belanja serta tidak menyelenggarakan akuntansi dan tidak menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
38.
Surat Keterangan adalah surat yang menerangkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
39.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
40.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
41.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
42.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
43.
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
44.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah tersebut.
45.
Pihak Lain adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
46.
Pembeli Barang Kena Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
47.
Penerima Jasa Kena Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
48.
Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri sebagaimana Diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Turis Asing adalah orang pribadi yang memiliki paspor yang diterbitkan oleh negara lain.
49.
Pengusaha Kena Pajak Toko Retail adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak melalui toko retail kepada Turis Asing.
50.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
51.
Nomor Seri Faktur Pajak adalah nomor seri yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak dengan mekanisme tertentu untuk penomoran Faktur Pajak yang berupa kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
52.
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
53.
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
54.
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.
55.
Kode Otorisasi adalah alat verifikasi dan autentikasi yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
56.
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
57.
Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
58.
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
59.
Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
60.
Lifting adalah sejumlah minyak bumi dan/atau gas bumi yang tersedia untuk dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point).
61.
Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
62.
Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Badan Pengelola Migas Aceh.
63.
Operator adalah Kontraktor, atau dalam hal Kontraktor terdiri atas beberapa pemegang partisipasi interes, salah satu pemegang partisipasi interes yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang partisipasi interes lainnya sesuai dengan Kontrak Kerja Sama.
64.
Partner adalah Kontraktor yang memiliki partisipasi interes dalam suatu Wilayah Kerja dan tidak bertindak sebagai Operator.
65.
First Tranche Petroleum adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil dan diterima oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Badan Pengelola Migas Aceh dan/atau Kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).
66.
Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
67.
Badan Usaha Milik Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
68.
Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Lainnya adalah Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
69.
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
70.
Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
71.
Pemungut Bea Meterai adalah pihak yang wajib memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu dari pihak yang terutang, menyetorkan Bea Meterai ke kas negara, dan melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai ke Direktorat Jenderal Pajak.
72.
Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen.
73.
Meterai Elektronik adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen melalui sistem tertentu.
74.
Meterai Percetakan adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan teknologi percetakan.
75.
Meterai Teraan Digital adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan pencetak (printer) Meterai Teraan Digital.
76.
Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh Pemungut Bea Meterai untuk melaporkan pemungutan Bea Meterai dari pihak yang terutang dan penyetoran Bea Meterai ke kas negara untuk suatu Masa Pajak.
77.
Tempat Pelayanan Terpadu adalah tempat pelayanan perpajakan yang terintegrasi pada Kantor Pelayanan Pajak termasuk kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan.
78.
Layanan Pajak di Luar Kantor adalah tempat pelaksanaan sebagian tugas pelayanan perpajakan berupa penyuluhan, pelayanan, dan konsultasi perpajakan bagi masyarakat atau Wajib Pajak dalam melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang bertempat di lokasi atau daerah tertentu dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak atau kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan yang dilaksanakan di luar kantor baik secara manual maupun menggunakan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
79.
Perusahaan Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman Surat Pemberitahuan ke Direktorat Jenderal Pajak.
80.
Penelitian Surat Pemberitahuan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan perhitungannya.
81.
Pengolahan Surat Pemberitahuan adalah serangkaian kegiatan yang meliputi validasi data, perekaman, dan pengemasan Surat Pemberitahuan.
82.
Perekaman Surat Pemberitahuan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan semua unsur Surat Pemberitahuan ke dalam basis data perpajakan dengan cara antara lain merekam, mengunggah (upload), dan/atau memindai (scan).
83.
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Negara melalui collecting agent.
84.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 2

(1)
Lingkup Peraturan Direktur Jenderal ini terdiri atas:
a.
bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan:
1.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26;
2.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
3.
laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi;
b.
bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai:
1.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak;
2.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan; dan
3.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak;
c.
bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai;
d.
bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan:
1.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi; dan
2.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan:
a)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang rupiah;
b)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang dolar Amerika Serikat;
c)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang rupiah; dan
d)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang dolar Amerika Serikat;
e.
bentuk, isi, tata cara pengisian, dan penyampaian laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, serta Wajib Pajak Lainnya;
f.
keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan serta format dan sarana penyampaian keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
g.
tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan.
(2)
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d paling sedikit berisi:
a.
jenis pajak;
b.
nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
c.
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
d.
tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
BAB II
BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN
Bagian Kesatu
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26
Paragraf 1
Ketentuan Umum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26

Pasal 3

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan:
a.
penghitungan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang sebenarnya terutang;
b.
pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26; dan
c.
penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang telah dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26,
dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pajak, yaitu:
a.
Pajak Penghasilan Pasal 21; dan
b.
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi.

Pasal 4

(1)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi harus:
a.
membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26;
b.
menyerahkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 kepada pihak yang dipotong; dan
c.
melaporkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 kepada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
(2)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a.
melakukan pembetulan atau pembatalan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26; dan/atau
b.
membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tambahan.
(3)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang telah disampaikan.

Pasal 5

(1)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c.
(2)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha untuk membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a.
(3)
Dalam hal Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 memiliki tempat kegiatan usaha yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukannya, pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan mencantumkan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha masing-masing tempat kegiatan usaha yang melaksanakan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran penghasilan.
(4)
Administrasi yang terkait pembayaran penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain:
a.
tempat penerima penghasilan melaksanakan kegiatan;
b.
tempat status kepegawaian terdaftar; atau
c.
tempat kontrak ditandatangani.
(5)
Dalam hal Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 merupakan Instansi Pemerintah yang memiliki Subunit Organisasi, pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh Subunit Organisasi.
(6)
Penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 huruf a merupakan penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Paragraf 2
Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26

Pasal 6

(1)
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a terdiri atas:
a.
Formulir BPA1-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala;
b.
Formulir BPA2-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya;
c.
Formulir BP21-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Bersifat Final; dan
d.
Formulir BP26-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atau Withholding Slip Article 26 Income Tax.
(2)
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik yang dibuat melalui modul eBupot dan dicantumkan tanda tangan berbentuk Tanda Tangan Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Modul eBupot sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan modul dalam Portal Wajib Pajak atau laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak yang dapat digunakan untuk membuat, membetulkan, dan/atau membatalkan bukti pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.

Pasal 7

(1)
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dibuat dengan ketentuan:
a.
terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diberikan kepada pegawai tetap dan pensiunan yang menerima uang terkait pensiun secara berkala, dibuatkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA1-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala;
b.
terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diberikan kepada pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, pejabat negara, dan pensiunannya, dibuatkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA2-Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya;
c.
terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, dibuatkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP21-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final;
d.
terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi atas penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan selain sebagaimana dimaksud ka a dan huruf b, yang merupakan Wajib Pajak luar negeri, dibuatkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP26-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atau Withholding Slip Article 26 Income Tax;
e.
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b dibuat untuk setiap Masa Pajak terakhir;
f.
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan huruf d dapat dibuat untuk setiap transaksi atau untuk 1 (satu) Masa Pajak, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
g.
Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud dalam huruf e adalah masa Desember, Masa Pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja, atau Masa Pajak tertentu di mana pensiunan berhenti menerima uang terkait pensiun.
(2)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 harus memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA1-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala dan/atau Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA2-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penerima penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah Masa Pajak terakhir berakhir.
(3)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 harus memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP21-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan/atau Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP26-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atau Withholding Slip Article 26 Income Tax sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan huruf d kepada penerima penghasilan untuk setiap kali pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
(4)
Satu Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA1-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala dan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA2-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b digunakan untuk:
a.
1 (satu) penerima penghasilan;
b.
1 (satu) kode objek pajak; dan
c.
1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
(5)
Satu Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP21-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan/atau Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP26-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atau Withholding Slip Article 26 Income Tax sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan huruf d digunakan untuk:
a.
1 (satu) penerima penghasilan;
b.
1 (satu) kode objek pajak; dan
c.
1 (satu) Masa Pajak.
(6)
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7)
Kode objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf b diisi berdasarkan kode objek pajak sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(8)
Kode objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(9)
Tata cara pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 8

(1)
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tidak perlu dibuat dalam hal tidak terdapat pembayaran penghasilan.
(2)
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tetap dibuat dalam hal:
a.
tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 karena jumlah penghasilan yang diterima tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak;
b.
jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong nihil karena:
1.
adanya surat keterangan bebas; atau
2.
dikenakan tarif 0% (nol persen);
c.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong merupakan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
d.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan/atau
e.
jumlah Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang dipotong nihil berdasarkan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda yang ditunjukkan dengan adanya surat keterangan domisili dan/atau tanda terima surat keterangan domisili Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 9

(1)
Dalam pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, penerima penghasilan harus memberikan informasi identitas berupa:
a.
bagi Wajib Pajak dalam negeri, yaitu:
1.
Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
2.
Nomor Induk Kependudukan;
b.
bagi Wajib Pajak luar negeri, yaitu tax identification number atau identitas perpajakan lainnya,
kepada Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
(2)
Dalam hal Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ingin menerapkan ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda, Wajib Pajak luar negeri dimaksud harus memberikan surat keterangan domisili dan/atau tanda terima surat keterangan domisili Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan kepada Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26.

Pasal 10

(1)
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dapat dilakukan:
a.
pembetulan, dalam hal terdapat kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26; atau
b.
pembatalan, dalam hal Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tidak seharusnya dibuat, termasuk terdapat pembatalan atas transaksi yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi.
(2)
Pembetulan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:
a.
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 untuk Masa Pajak yang bersangkutan; atau
b.
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26:
1.
belum diajukan keberatan;
2.
diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan; atau
3.
diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 dapat membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tambahan atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang telah dilaporkan, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4)
Pembetulan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
(5)
Pembetulan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Paragraf 3
Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26

Pasal 11

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26; dan
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang terdiri atas:
1.
Formulir L-IA-Daftar Pemotongan Bulanan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan Pensiunannya;
2.
Formulir L-IB-Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan Pensiunannya untuk Masa Pajak terakhir;
3.
Formulir L-II-Daftar Pemotongan Satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan Pensiunannya; dan
4.
Formulir L-III-Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Selain Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26, selain berisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), juga memuat data mengenai:
a.
status Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26;
b.
jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang dipotong;
c.
jumlah kelebihan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi dari Masa Pajak sebelumnya;
d.
jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang kurang atau lebih disetor;
e.
jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang kurang atau lebih disetor pada Surat Pemberitahuan yang dibetulkan;
f.
jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang kurang atau lebih disetor karena pembetulan;
g.
jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi ditanggung pemerintah; dan
h.
tanggal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 disampaikan.
(3)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik.
(4)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5)
Tata cara pembuatan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 12

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang telah disampaikan dapat dilakukan pembetulan.
(2)
Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Masa Pajak yang bersangkutan.
(3)
Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 13

Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c dan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang mengakibatkan adanya:
a.
pajak yang kurang disetor, maka Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 wajib melunasi jumlah pajak yang kurang disetor tersebut; atau
b.
pajak yang lebih disetor, maka atas kelebihan penyetoran pajak yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 dapat dikompensasikan oleh Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 ke Masa Pajak berikutnya tanpa harus berurutan.
Bagian Kedua
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi
Paragraf 1
Ketentuan Umum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi

Pasal 14

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 berfungsi sebagai sarana yang digunakan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi untuk melaporkan tentang:
a.
kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan;
b.
pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
c.
penyetoran Pajak Penghasilan yang telah dipotong dan/atau dipungut,
atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam suatu Masa Pajak.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat digunakan oleh Wajib Pajak yang diwajibkan melakukan pembayaran atau penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Jenis Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
b.
Pajak Penghasilan Pasal 15;
c.
Pajak Penghasilan Pasal 22;
d.
Pajak Penghasilan Pasal 23; dan
e.
Pajak Penghasilan Pasal 26, selain yang sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 15

(1)
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi yang melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), harus:
a.
membuat Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi;
b.
menyerahkan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi kepada pihak yang dipotong dan/atau dipungut; dan
c.
melaporkan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi kepada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(2)
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a.
melakukan pembetulan atau pembatalan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi; dan/atau
b.
membuat Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi tambahan.
(3)
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi yang telah disampaikan, untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Pajak Penghasilan di dalamnya.

Pasal 16

(1)
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan untuk melaksanakan kewajiban pemotongan atas:
a.
Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa; dan/atau
b.
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
(2)
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas; dan/atau
b.
orang pribadi yang menjalankan usaha,
yang menyelenggarakan pembukuan.
(3)
Kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan untuk jenis Pajak Penghasilan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan, dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Paragraf 2
Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi

Pasal 17

(1)
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) terdiri dari:
a.
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar; dan
b.
Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar.
(2)
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat melalui modul eBupot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan dicantumkan tanda tangan berbentuk Tanda Tangan Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 18

(1)
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a terdiri atas:
a.
Formulir BPPU-Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Unifikasi, yang digunakan untuk pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
b.
Formulir BPNR-Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Non Residen/Withholding Slip for Non-Resident, yang digunakan untuk pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) bagi Wajib Pajak luar negeri.
(2)
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a.
nomor Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar;
b.
Masa Pajak dan Tahun Pajak;
c.
sifat pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
d.
status Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi;
e.
identitas pihak yang dipotong dan/atau dipungut berupa:
1.
bagi Wajib Pajak dalam negeri:
a)
Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan; dan
b)
nama; atau
2.
bagi Wajib Pajak luar negeri:
a)
tax identification number atau identitas perpajakan lainnya;
b)
nama;
c)
alamat;
d)
negara; dan
e)
nomor paspor;
f.
jenis fasilitas;
g.
kode objek pajak;
h.
dasar pengenaan pajak;
i.
tarif;
j.
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) yang dipotong/dipungut/ditanggung pemerintah;
k.
dokumen yang menjadi dasar pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) atau dasar pemberian fasilitas;
l.
mekanisme pembayaran dalam hal Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi merupakan Wajib Pajak Instansi Pemerintah;
m.
identitas Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi, berupa:
1.
Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi;
2.
Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha atau nomor identitas Subunit Organisasi; dan
3.
nama Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi;
n.
nama penanda tangan; dan
o.
tanggal ditandatangani Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar.
(3)
Satu Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuat untuk pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) atas:
a.
1 (satu) pihak yang dipotong dan/atau dipungut;
b.
1 (satu) kode objek pajak; dan
c.
1 (satu) Masa Pajak.
(4)
Dalam hal pada suatu Masa Pajak terdapat 2 (dua) atau lebih transaksi pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) atas pihak yang sama dan dengan kode objek pajak yang sama, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi dapat membuat 1 (satu) Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar atas transaksi dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5)
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(6)
Kode objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g diisi berdasarkan kode objek pajak sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7)
Kode objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dapat diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(8)
Tata cara pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 19

(1)
Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b digunakan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan atas:
a.
penghasilan berupa bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia, diskonto surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam rangka operasi moneter yang memiliki karakteristik sama dengan Sertifikat Bank Indonesia, dan jasa giro;
b.
penghasilan berupa diskonto Surat Perbendaharaan Negara dan bunga obligasi berupa surat utang, surat utang negara, dan obligasi daerah yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, termasuk surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah;
c.
bunga atau diskonto surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang;
d.
penghasilan dari transaksi penjualan saham selain saham pendiri, di bursa efek;
e.
penghasilan atas hadiah undian langsung yang:
1.
melekat pada barang/produk; dan
2.
tidak dapat diketahui identitas penerimanya;
f.
penghasilan yang diterima atau diperoleh rekanan sehubungan dengan transaksi:
1.
penjualan barang;
2.
penyerahan jasa; dan/atau
3.
persewaan dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
yang dilakukan melalui pihak lain dalam sistem informasi pengadaan pemerintah;
g.
penghasilan yang diterima atau diperoleh penjual aset kripto; atau
h.
penghasilan lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan ditentukan menggunakan Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar.
(2)
Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi menggunakan sarana yang dimiliki oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi.
(3)
Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dokumen buku tabungan, rekening koran, rekening kustodian, rekening efek, trade confirmation atau bukti atas pengalihan surat berharga lainnya, dan dokumen lain yang setara, baik berbentuk formulir kertas maupun dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(4)
Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan pihak yang dipotong dan/atau dipungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
b.
nomor unik transaksi yang berkaitan dengan penghasilan yang dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
c.
dasar pengenaan pajak; dan
d.
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) yang dipotong dan/atau dipungut.
(5)
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus membuat Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sesuai tata cara pembuatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 20

(1)
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a tidak perlu dibuat dalam hal tidak terdapat transaksi yang wajib dilakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a tetap dibuat dalam hal:
a.
jumlah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) yang dipotong dan/atau dipungut nihil karena:
1.
adanya surat keterangan bebas;
2.
adanya pengecualian pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan;
3.
adanya transaksi pembelian barang yang dilakukan Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan;
4.
adanya transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu yang menyampaikan surat pernyataan sebagai pengganti Surat Keterangan; atau
5.
dikenakan tarif 0% (nol persen);
b.
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) yang dipotong dan/atau dipungut merupakan Pajak Penghasilan yang ditanggung pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
c.
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) yang dipotong dan/atau dipungut diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan/atau
d.
jumlah Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong nihil berdasarkan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda yang ditunjukkan dengan adanya surat keterangan domisili Wajib Pajak luar negeri dan/atau tanda terima surat keterangan domisili Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 21

(1)
Dalam pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, pihak yang dipotong dan/atau dipungut harus memberikan informasi identitas berupa:
a.
bagi Wajib Pajak dalam negeri, yaitu:
1.
Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
2.
Nomor Induk Kependudukan;
atau
b.
bagi Wajib Pajak luar negeri, yaitu tax identification number atau identitas perpajakan lainnya,
kepada Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi.
(2)
Dalam hal Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ingin menerapkan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda, Wajib Pajak luar negeri dimaksud harus memberikan surat keterangan domisili Wajib Pajak luar negeri dan/atau tanda terima surat keterangan domisili Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan kepada Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi.
Paragraf 3
Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi

Pasal 22

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi yang terdiri atas:
1.
Formulir DAFTAR-I-Daftar Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar;
2.
Formulir DAFTAR-II-Daftar Pajak Penghasilan yang Disetor Sendiri dan/atau Disetor secara Digunggung; dan
3.
Formulir LAMPIRAN-I-Daftar Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi selain berisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), juga memuat data mengenai:
a.
status Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi;
b.
jenis kode jenis setoran;
c.
jumlah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) yang dipotong, dipungut, ditanggung pemerintah, dibayar sendiri, dan/atau disetor sendiri;
d.
jumlah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
e.
jumlah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) yang telah disetor pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi yang dibetulkan dan jumlah Pajak Penghasilan kurang bayar atau lebih bayar, dalam hal dilakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
f.
tanggal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi disampaikan.
(3)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik.
(4)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 23

Wajib Pajak yang diwajibkan melakukan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib melaporkan pembayaran Pajak Penghasilan yang telah dibayar dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.

Pasal 24

(1)
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dapat dilakukan:
a.
pembetulan, dalam hal terdapat kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi atau terdapat transaksi retur; atau
b.
pembatalan, dalam hal terdapat transaksi yang dibatalkan.
(2)
Pembetulan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:
a.
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi untuk Masa Pajak yang bersangkutan;
b.
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi:
1.
belum diajukan keberatan;
2.
diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan; atau
3.
diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
atau
c.
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi tidak sedang dalam proses pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi dapat membuat Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi tambahan atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi yang telah dilaporkan, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4)
Pembetulan atau pembatalan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(5)
Pembetulan atau pembatalan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 25

(1)
Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi yang bersangkutan.
(2)
Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 26

Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 mengakibatkan adanya:
a.
pajak yang kurang disetor, maka Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi wajib melunasi jumlah pajak yang kurang disetor tersebut; atau
b.
pajak yang lebih disetor, maka atas kelebihan penyetoran pajak yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi dapat diminta kembali oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi dengan mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
Bagian Ketiga
Laporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi

Pasal 27

(1)
Kontraktor yang bertindak sebagai Operator maupun Partner dalam suatu Wilayah Kerja, dalam melaksanakan Kontrak Kerja Sama, wajib menyusun laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi di Wilayah Kerja yang bersangkutan.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain berisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), memuat data mengenai:
a.
jumlah dasar pengenaan pajak;
b.
jumlah pajak yang terutang dan/atau jumlah pajak dibayar;
c.
Lifting minyak bumi dan/atau gas bumi;
d.
equity to be split;
e.
bagian negara; dan
f.
data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
(3)
Bagian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e meliputi Lifting yang merupakan hak negara yang berasal dari total Lifting minyak bumi dan/atau gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
(4)
Total Lifting sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jumlah keseluruhan minyak bumi dan/atau gas bumi yang terdiri dari jumlah Lifting dari suatu Wilayah Kerja yang merupakan hak negara dan hak Kontraktor.

Pasal 28

(1)
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 3 berbentuk Dokumen Elektronik.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
BAB III
BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Bagian Kesatu
Ketentuan Umum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

Pasal 29

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b berfungsi sebagai sarana untuk mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan melaporkan tentang:
a.
pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak;
b.
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pihak lain dalam suatu Masa Pajak; dan
c.
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 16A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pihak Lain.
Bagian Kedua
Faktur Pajak
Paragraf 1
Ketentuan Umum Faktur Pajak

Pasal 30

(1)
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai.
(2)
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
(3)
Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak wajib berbentuk Dokumen Elektronik.
(4)
Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan pembetulan atau penggantian dan pembatalan Faktur Pajak.
(5)
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual.
(6)
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
(7)
Faktur Pajak wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(8)
Faktur Pajak dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) dapat dibuat dalam hal terjadi keadaan kahar.
Paragraf 2
Kewajiban dan Saat Pembuatan Faktur Pajak

Pasal 31

(1)
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) untuk setiap:
a.
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 16D Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
b.
penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
c.
ekspor Barang Kena Pajak berwujud sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
d.
ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan/atau
e.
ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2)
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a.
saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b.
saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c.
saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
d.
saat ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak; atau
e.
saat lain yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(3)
Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, serta saat ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 32

(1)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2)
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut Faktur Pajak gabungan.
(3)
Faktur Pajak gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lambat pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
(4)
Dalam hal terdapat pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diterima dalam bulan penyerahan, Faktur Pajak gabungan tetap dibuat paling lambat pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib dibuat Faktur Pajak dengan menggunakan lebih dari 1 (satu) kode transaksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas penyerahan dengan kode transaksi yang sama, untuk tiap-tiap kode transaksi dimaksud.
(6)
Faktur Pajak gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dibuat atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak ke dan/atau dari kawasan tertentu atau tempat tertentu.
(7)
Contoh mengenai pembuatan Faktur Pajak gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Paragraf 3
Keterangan dalam Faktur Pajak dan Ketentuan Pengisian Keterangan dalam Faktur Pajak

Pasal 33

Keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang harus dicantumkan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) paling sedikit memuat:
a.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b.
identitas Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang meliputi:
1.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak dalam negeri Badan dan Instansi Pemerintah;
2.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3.
nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
4.
nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri Badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
c.
jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
d.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f.
kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g.
nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Pasal 34

(1)
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a wajib diisi sesuai dengan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak tempat pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(2)
Selain nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi:
a.
Pengusaha Kena Pajak Toko Retail, dalam Faktur Pajak wajib dicantumkan juga keterangan berupa alamat tempat kegiatan usaha yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak Toko Retail untuk menyerahkan Barang Kena Pajak kepada Turis Asing yang memberitahukan dan menunjukkan paspor luar negeri kepada Pengusaha Kena Pajak Toko Retail; atau
b.
Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak Toko Retail sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dalam Faktur Pajak dapat dicantumkan juga keterangan berupa alamat tempat kegiatan usaha yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
(3)
Identitas Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang meliputi nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, Nomor Induk Kependudukan, dan nomor paspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b wajib diisi sesuai dengan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, Nomor Induk Kependudukan, dan nomor paspor yang sebenarnya atau sesungguhnya.
(4)
Bagi subjek pajak dalam negeri, nama dan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diisi sesuai dengan nama dan alamat Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(5)
Dalam hal:
a.
nama dan/atau alamat yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) berbeda dengan nama dan/atau alamat yang sebenarnya atau sesungguhnya; atau
b.
alamat yang sebenarnya atau sesungguhnya belum diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak,
Wajib Pajak harus mengajukan permohonan perubahan data agar nama dan/atau alamat yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
(6)
Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai petunjuk pelaksanaan administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak.
(7)
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan kondisi:
a.
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dimaksud dikirimkan atau diserahkan ke tempat kegiatan usaha yang berada di kawasan tertentu atau tempat tertentu yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut yang berbeda dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dimaksud; dan
b.
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dimaksud merupakan penyerahan yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut,
alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diisi dengan alamat tempat kegiatan usaha yang menerima Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(8)
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan kondisi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dimaksud dikirimkan atau diserahkan ke tempat kegiatan usaha yang:
a.
berada di kawasan tertentu atau tempat tertentu yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut, tetapi penyerahan dimaksud tidak mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut; atau
b.
tidak berada di kawasan tertentu atau tempat tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
yang berbeda dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dimaksud, alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diisi dengan alamat tempat kegiatan usaha yang menerima Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b.
(9)
Kawasan tertentu atau tempat tertentu yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan ayat (8) yaitu kawasan tertentu atau tempat tertentu sebagaimana diatur dalam:
a.
ketentuan mengenai tempat penimbunan berikat;
b.
ketentuan mengenai penyelenggaraan kawasan ekonomi khusus;
c.
ketentuan mengenai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; dan
d.
ketentuan lain yang mengatur mengenai kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut.
(10)
Contoh pencantuman alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 35

(1)
Jenis barang atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c wajib diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan.
(2)
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak berupa kendaraan bermotor baru kepada Pembeli Barang Kena Pajak untuk dilakukan registrasi kendaraan bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, jenis barang yang dicantumkan dalam Faktur Pajak wajib diisi dengan keterangan yang paling sedikit memuat informasi berupa merek, tipe, varian, dan nomor rangka kendaraan bermotor baru dimaksud.
(3)
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak berupa tanah dan/atau bangunan, jenis barang yang dicantumkan dalam Faktur Pajak wajib diisi dengan keterangan yang paling sedikit memuat informasi berupa alamat lengkap tanah dan/atau bangunan dimaksud.
(4)
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, keterangan jenis barang yang dicantumkan dalam Faktur Pajak wajib diisi dengan nama Barang Kena Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya berikut kode harmonized system atau pos tarif sesuai dengan buku tarif kepabeanan Indonesia.

Pasal 36

(1)
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf e dihitung dalam satuan mata uang rupiah.
(2)
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan dengan menggunakan mata uang selain rupiah, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut harus dikonversi ke dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai nilai kurs sebagai dasar pelunasan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, bea keluar, dan Pajak Penghasilan, yang berlaku pada saat Faktur Pajak seharusnya dibuat.

Pasal 37

(1)
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf f terdiri atas 17 (tujuh belas) digit, yaitu:
a.
2 (dua) digit kode transaksi;
b.
2 (dua) digit kode status; dan
c.
13 (tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2)
Tanggal pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf f merupakan tanggal Faktur Pajak dibuat.
(3)
Format dan tata cara penggunaan kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 38

(1)
Nama Pengusaha Kena Pajak orang pribadi atau pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak, yang berhak menandatangani Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf g wajib diisi sesuai dengan nama yang tercantum dalam:
a.
kartu tanda penduduk bagi warga negara Indonesia; atau
b.
paspor bagi warga negara asing,
yang berlaku pada saat Faktur Pajak ditandatangani.
(2)
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi atau pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak, yang berhak menandatangani Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pengusaha Kena Pajak orang pribadi atau pejabat/pegawai yang namanya telah didaftarkan sebagai penanda tangan Faktur Pajak pada modul dalam Portal Wajib Pajak.
(3)
Pengusaha Kena Pajak dapat menunjuk lebih dari 1 (satu) pejabat/pegawai yang berhak menandatangani Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf g dalam Faktur Pajak berupa Tanda Tangan Elektronik.

Pasal 39

(1)
Penjelasan mengenai tata cara pengisian keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2)
Dalam hal diperlukan, Pengusaha Kena Pajak dapat menambahkan keterangan lain dalam Faktur Pajak selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Paragraf 4
Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak

Pasal 40

(1)
Faktur Pajak berbentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dibuat menggunakan modul dalam:
a.
Portal Wajib Pajak; atau
b.
laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak,
dan dicantumkan tanda tangan berbentuk Tanda Tangan Elektronik.
(2)
Faktur Pajak berbentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut e-Faktur.
(3)
Modul dalam Portal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disebut modul e-Faktur.
(4)
Modul e-Faktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan petunjuk penggunaan (user manual) yang merupakan satu kesatuan dengan modul e-Faktur.
(5)
Bentuk e-Faktur yaitu berupa Dokumen Elektronik Faktur Pajak yang dihasilkan dari modul e-Faktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6)
e-Faktur tidak diwajibkan untuk dicetak dalam bentuk kertas (hardcopy).
(7)
Contoh tampilan e-Faktur dalam hal e-Faktur diunduh dalam bentuk portable document format dan/atau dicetak dalam bentuk kertas (hardcopy) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 41

(1)
Modul e-Faktur yang terdapat dalam laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b, dapat digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur melalui penyedia jasa aplikasi perpajakan yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menyelenggarakan layanan penyediaan aplikasi perpajakan berupa penyelenggaraan modul e-Faktur.
(2)
Penyedia jasa aplikasi perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyedia jasa aplikasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengenai penyedia jasa aplikasi perpajakan.

Pasal 42

(1)
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) sepanjang memiliki:
a.
Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi; dan
b.
akses pembuatan Faktur Pajak.
(2)
Permintaan dan pemberian Sertifikat Elektronik dan Kode Otorisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a serta pemberian akses pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 43

Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c diberikan secara otomatis pada saat e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak menggunakan modul e-Faktur dan memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 44

(1)
e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) wajib diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dan memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak, paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-Faktur.
(2)
Persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sepanjang e-Faktur diunggah (di-upload) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
e-Faktur yang tidak memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak bukan merupakan Faktur Pajak.
(4)
Contoh mengenai batas waktu Faktur Pajak diunggah (di-upload) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan e-Faktur yang bukan merupakan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 45

Faktur penjualan yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak termasuk dalam pengertian e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) sepanjang:
a.
dicantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33; dan
b.
diunggah (di-upload) dengan menggunakan modul e-Faktur yang terdapat dalam laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b dan memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak, paling lambat pada batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).

Pasal 46

Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, atau Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditanggung pemerintah, harus diberikan keterangan mengenai:
a.
Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut, dibebaskan, atau ditanggung pemerintah; dan
b.
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mendasarinya,
melalui modul e-Faktur.

Pasal 47

(1)
Pengusaha Kena Pajak di tempat lain dalam Daerah Pabean, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus wajib membuat e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak yang merupakan Pengusaha di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
(2)
Pengusaha Kena Pajak Toko Retail wajib membuat e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) atas penyerahan Barang Kena Pajak kepada Turis Asing yang memberitahukan dan menunjukkan paspor luar negeri kepada Pengusaha Kena Pajak Toko Retail.
(3)
Dikecualikan dari kewajiban pembuatan e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), Faktur Pajak atas:
a.
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir, dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan
b.
penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak, yang bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilainya berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(4)
Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib dibuat menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3).
Paragraf 5
Tata Cara Pembetulan atau Penggantian dan Pembatalan Faktur Pajak

Pasal 48

(1)
Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) yang salah dalam pengisian atau penulisan sehingga tidak memuat keterangan yang benar, lengkap, dan jelas, dengan cara membuat Faktur Pajak pengganti.
(2)
Kesalahan dalam pengisian atau penulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk kesalahan dalam pengisian atau penulisan identitas Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b.
(3)
Pengusaha Kena Pajak Toko Retail tidak diperkenankan membuat Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan Barang Kena Pajak kepada Turis Asing yang memberitahukan dan menunjukkan paspor luar negeri kepada Pengusaha Kena Pajak Toko Retail sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dalam hal atas Faktur Pajak dimaksud telah diajukan permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai oleh Turis Asing dimaksud.
(4)
Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3).
(5)
Tanggal pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf f untuk Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggal pada saat Faktur Pajak pengganti dimaksud dibuat.
(6)
Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti dengan mencantumkan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya setelah penggantian.
(7)
Dalam hal Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat setelah dibuat nota retur dan/atau nota pembatalan atas Faktur Pajak yang diganti, Faktur Pajak pengganti dimaksud memperhitungkan nota retur dan/atau nota pembatalan dimaksud.
(8)
Dalam hal terhadap Faktur Pajak yang:
a.
Barang Kena Pajaknya dilakukan pengembalian (retur) dengan membuat nota retur; atau
b.
Jasa Kena Pajaknya dilakukan pembatalan dengan membuat nota pembatalan,
dilakukan pembetulan atau penggantian dengan membuat Faktur Pajak pengganti menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pengembalian (retur) Barang Kena Pajak dan/atau pembatalan Jasa Kena Pajak dimaksud dianggap tidak terjadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(9)
Dalam hal:
a.
Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
b.
Pengusaha Kena Pajak Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak,
telah melaporkan nota retur dan/atau nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak dilaporkannya nota retur dan/atau nota pembatalan dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(10)
Nota retur dan nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) merupakan nota retur dan nota pembatalan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(11)
Tata cara pembuatan Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (7) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 49

(1)
Pengusaha Kena Pajak harus melakukan pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) untuk Faktur Pajak yang telah dibuat atas penyerahan:
a.
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang transaksinya dibatalkan; atau
b.
barang dan/atau jasa yang seharusnya tidak dibuatkan Faktur Pajak.
(2)
Termasuk Faktur Pajak yang harus dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau penulisan identitas Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2).
(3)
Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan pembuatan Faktur Pajak baru yang mencantumkan identitas Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sebenarnya atau sesungguhnya.
(4)
Pengusaha Kena Pajak Toko Retail tidak diperkenankan melakukan pembatalan Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak kepada Turis Asing yang memberitahukan dan menunjukkan paspor luar negeri kepada Pengusaha Kena Pajak Toko Retail sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dalam hal atas Faktur Pajak dimaksud telah diajukan permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai oleh Turis Asing dimaksud.
(5)
Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3).
(6)
Pembatalan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus didukung dengan bukti atau dokumen yang membuktikan bahwa telah terjadi pembatalan transaksi yang dapat berupa pembatalan kontrak atau dokumen lain yang sejenis.
(7)
Tata cara pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 50

(1)
Pembuatan Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan dimaksud masih dapat disampaikan atau dilakukan pembetulan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau barang dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak atau jasa telah melaporkan Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau pembeli barang dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak atau penerima jasa telah melaporkan Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Paragraf 6
Faktur Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran

Pasal 51

(1)
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (5) merupakan penyerahan yang dilakukan secara eceran.
(2)
Karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
pembeli barang dan/atau penerima jasa mengonsumsi secara langsung barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima; dan
b.
pembeli barang dan/atau penerima jasa tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima untuk kegiatan usaha.
(3)
Pengusaha Kena Pajak yang seluruh atau sebagian kegiatan usahanya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk yang dilakukan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, merupakan Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
(4)
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ditentukan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, tetapi berdasarkan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 52

(1)
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan:
a.
keterangan mengenai identitas Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b; dan
b.
nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf g,
untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2).
(2)
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat dengan mencantumkan keterangan yang paling sedikit memuat:
a.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b.
jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
c.
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; dan
d.
kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
(3)
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib diisi sesuai dengan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak tempat pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(4)
Selain nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dicantumkan juga keterangan berupa alamat tempat kegiatan usaha yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak untuk melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
(5)
Jenis barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan.
(6)
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat:
a.
termasuk dalam harga jual atau penggantian; atau
b.
dicantumkan secara terpisah dari harga jual atau penggantian.
(7)
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dapat ditentukan sendiri sesuai dengan kelaziman usaha Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
(8)
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat paling sedikit untuk:
a.
Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak; dan
b.
arsip Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
(9)
Arsip Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dapat berupa rekaman Faktur Pajak dalam bentuk media elektronik sebagai sarana penyimpanan data.
(10)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Pasal 53

(1)
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.
(2)
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk Dokumen Elektronik.
(3)
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat melakukan pembetulan atau penggantian dan pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kelaziman usaha Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
(4)
Bentuk dan ukuran Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
(5)
Pengadaan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.

Pasal 54

(1)
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) atas:
a.
pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak berkaitan dengan kegiatan produksi selanjutnya atau digunakan untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan; dan
b.
pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2).
(2)
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, atau Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditanggung pemerintah.
(3)
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan keterangan mengenai:
a.
Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut, dibebaskan, atau ditanggung pemerintah; dan
b.
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mendasarinya.

Pasal 55

(1)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3).
(2)
Barang Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
angkutan darat berupa kendaraan bermotor;
b.
angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht;
c.
angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara;
d.
tanah dan/atau bangunan; dan
e.
senjata api dan/atau peluru senjata api.
(3)
Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
jasa penyewaan angkutan darat berupa kendaraan bermotor;
b.
jasa penyewaan angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht;
c.
jasa penyewaan angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara; dan
d.
jasa penyewaan tanah dan/atau bangunan.
Paragraf 7
Persyaratan Formal dan Material Faktur Pajak, Faktur Pajak Tidak Lengkap, Faktur Pajak Terlambat Dibuat, dan Faktur Pajak Dianggap Tidak Dibuat

Pasal 56

(1)
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6) apabila diisi secara benar, lengkap, dan jelas, sesuai dengan:
a.
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 untuk e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2); dan
b.
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) untuk Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).
(2)
Faktur Pajak memenuhi persyaratan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6) apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Pasal 57

(1)
Faktur Pajak tidak memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dalam hal:
a.
e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 atau Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2);
b.
mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 untuk e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) untuk Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) yang tidak sebenarnya atau sesungguhnya; dan/atau
c.
berisi keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 untuk e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) untuk Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) serta keterangan lain yang ditentukan yang tidak sesuai dengan ketentuan pengisian keterangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2)
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Faktur Pajak yang diisi secara tidak lengkap.
(3)
Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
(5)
Contoh mengenai Faktur Pajak yang diisi secara tidak lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 58

(1)
Faktur Pajak terlambat dibuat dalam hal tanggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf f yang tercantum dalam Faktur Pajak melewati saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) atau Pasal 32 ayat (3).
(2)
Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(3)
Contoh mengenai Faktur Pajak terlambat dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak terlambat dibuat tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 59

(1)
Faktur Pajak dianggap tidak dibuat dalam hal Faktur Pajak dibuat setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) atau Pasal 32 ayat (3).
(2)
Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(3)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
(4)
Contoh mengenai Faktur Pajak dianggap tidak dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Paragraf 8
Pelaporan Faktur Pajak

Pasal 60

(1)
Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak wajib melaporkan Faktur Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (7) pada Masa Pajak yang sama dengan tanggal pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf f.
(2)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban melaporkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Paragraf 9
Pembuatan Faktur Pajak dalam Keadaan Kahar

Pasal 61

(1)
Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (8) dalam hal terjadi keadaan kahar yang menyebabkan Pengusaha Kena Pajak tidak dapat membuat e-Faktur.
(2)
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya yang meliputi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3)
Faktur Pajak dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4)
Format dan tata cara penggunaan kode dan Nomor Seri Faktur Pajak dalam Faktur Pajak dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama dengan format dan tata cara penggunaan kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D Peraturan Direktur Jenderal ini, kecuali ditetapkan lain oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5)
Faktur Pajak dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat paling sedikit untuk:
a.
Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak; dan
b.
arsip Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak.
(6)
Dalam hal terjadi keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan terhadap Faktur Pajak perlu dilakukan pembetulan atau penggantian, Faktur Pajak pengganti dibuat dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).
(7)
Dalam hal keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan telah berakhir oleh Direktur Jenderal Pajak, data Faktur Pajak dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) wajib direkam dan diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak menggunakan modul e-Faktur untuk memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.
(8)
Jangka waktu perekaman dan pengunggahan (peng-upload-an) Faktur Pajak dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(9)
Dalam hal terjadi keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan terhadap Faktur Pajak perlu dilakukan pembatalan, pembatalan Faktur Pajak direkam pada modul e-Faktur pada saat keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan telah berakhir oleh Direktur Jenderal Pajak.
(10)
Ketentuan mengenai batas waktu mengunggah (meng-upload) e-Faktur ke Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) tidak berlaku dalam hal terjadi keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Ketiga
Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak

Pasal 62

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yaitu:
a.
surat perintah penyerahan barang yang dibuat/dikeluarkan oleh Badan Urusan Logistik/depot logistik untuk penyaluran tepung terigu;
b.
bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
c.
bukti penerimaan pembayaran (setruk) yang dibuat oleh penyelenggara distribusi atas penjualan pulsa dan/atau penerimaan komisi/fee terkait dengan distribusi token dan/atau voucer;
d.
bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik;
e.
bukti tagihan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh perusahaan air minum;
f.
tiket, tagihan surat muatan udara (airway bill), atau delivery bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
g.
nota penjualan jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
h.
bukti tagihan (trading confirmation) atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perantara efek;
i.
bukti tagihan atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perbankan;
j.
Dokumen yang digunakan untuk pemesanan pita cukai hasil tembakau (Dokumen CK-1);
k.
Surat Setoran Pajak atau Surat Setoran Pajak dan Dokumen pendukung yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan;
l.
pemberitahuan pabean ekspor yang mencantumkan elemen data seperti data eksportir dan/atau data identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, yang dilampiri dengan nota pelayanan ekspor dan Dokumen pelengkap pabean yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan pabean ekspor tersebut, untuk ekspor Barang Kena Pajak;
m.
pemberitahuan ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak yang dilampiri dengan invois yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak, untuk ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak;
n.
pemberitahuan pabean impor dan Dokumen pendukung yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan pabean impor, untuk impor Barang Kena Pajak berwujud;
o.
surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak atas barang kiriman oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang dilampiri dengan:
1.
Surat Setoran Pajak atau bukti penerimaan negara;
2.
surat setoran pabean, cukai, dan pajak; dan/atau
3.
bukti pungutan pajak;
p.
bukti pungut Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
q.
Dokumen pengeluaran barang dari tempat kawasan berikat yang merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
r.
pemberitahuan pabean kawasan ekonomi khusus dan Dokumen pendukung yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan pabean kawasan ekonomi khusus tersebut;
s.
surat ketetapan pajak untuk menagih Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang dilampiri dengan seluruh Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas pelunasan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar;
t.
Dokumen tagihan yang diterbitkan oleh Pihak Lain yang memfasilitasi transaksi pengadaan barang dan jasa pada sistem informasi pengadaan pemerintah;
u.
Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar yang dibuat melalui sarana elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan untuk penyerahan aset kripto yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
v.
bukti tagihan untuk penyerahan jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi perdagangan aset kripto oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
w.
bukti pembayaran komisi (statement of account) dari perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah kepada agen asuransi yang dibuat melalui sistem perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah untuk penyerahan jasa agen asuransi oleh agen asuransi kepada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah;
x.
bukti tagihan atas penyerahan jasa pialang asuransi atau jasa pialang reasuransi yang dibuat oleh perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi untuk penyerahan:
1.
jasa pialang asuransi oleh perusahaan pialang asuransi kepada perusahaan asuransi dan/atau perusahaan asuransi syariah; atau
2.
jasa pialang reasuransi oleh perusahaan pialang reasuransi kepada perusahaan reasuransi dan/atau perusahaan reasuransi syariah;
y.
Dokumen perikatan berupa kontrak, invois, atau Dokumen sejenis untuk pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang dilampiri dengan Dokumen yang berisi rincian jenis dan nilai Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak;
z.
tagihan atas penjualan agunan atau Dokumen lain yang sejenis untuk penyerahan Barang Kena Pajak berupa agunan oleh kreditur kepada pembeli agunan; dan
aa.
Dokumen lain yang diatur sebagai Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak berdasarkan Peraturan Menteri.

Pasal 63

(1)
Surat Setoran Pajak atau Surat Setoran Pajak dan Dokumen pendukung yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf k meliputi:
a.
Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang yang dilampiri dengan kutipan risalah lelang, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Surat Setoran Pajak tersebut;
b.
Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang dilampiri dengan tagihan dan rincian berupa jenis dan nilai Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak serta nama dan alamat penyedia Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak;
c.
Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pengeluaran Barang Kena Pajak milik subjek pajak luar negeri dari kawasan berikat ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang dilampiri dengan pemberitahuan pabean untuk pengeluaran Barang Kena Pajak;
d.
Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pengeluaran dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang dilampiri dengan:
1.
pemberitahuan pabean untuk pengeluaran Barang Kena Pajak;
2.
invois atau kontrak, untuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan tanpa melalui mekanisme pengeluaran Barang Kena Pajak; atau
3.
invois atau kontrak, untuk penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud;
e.
Surat Setoran Pajak atas pelunasan Pajak Pertambahan Nilai terkait dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh pelaku usaha di kawasan ekonomi khusus kepada pembeli dan/atau penerima jasa yang berkedudukan di tempat lain dalam Daerah Pabean yang pada saat impor, pemanfaatan, atau perolehannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai yang dilampiri dengan:
1.
pemberitahuan pabean untuk pengeluaran Barang Kena Pajak;
2.
invois atau kontrak, untuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan tanpa melalui mekanisme pengeluaran Barang Kena Pajak; atau
3.
invois atau kontrak, untuk penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud;
f.
Surat Setoran Pajak atas pelunasan Pajak Pertambahan Nilai terkait dengan pengeluaran barang yang bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak oleh pelaku usaha di kawasan ekonomi khusus kepada pembeli dan/atau penerima jasa yang berkedudukan di tempat lain dalam Daerah Pabean yang pada saat impor, pemanfaatan, atau perolehannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai yang dilampiri dengan pemberitahuan pabean untuk pengeluaran Barang Kena Pajak;
g.
Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri;
h.
Surat Setoran Pajak untuk pembayaran inisiatif (voluntary payment) yang dilampiri dengan:
1.
bukti billing Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang menunjukan Nomor Pokok Wajib Pajak pemilik barang; dan
2.
Dokumen dasar pembayaran inisiatif (voluntary payment) beserta Dokumen pendukung yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan; dan
i.
seluruh Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2)
Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.
bukti penerimaan negara atas pembayaran dan penyetoran pajak; atau
b.
surat setoran pabean, cukai, dan pajak.

Pasal 64

(1)
Dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf n meliputi:
a.
pemberitahuan pabean impor yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, yang dilampiri dengan:
1.
Surat Setoran Pajak atau bukti penerimaan negara;
2.
surat setoran pabean, cukai, dan pajak; dan/atau
3.
bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan pabean impor tersebut, untuk impor Barang Kena Pajak; dan
b.
pemberitahuan pabean impor yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, yang dilampiri dengan:
1.
Surat Setoran Pajak atau bukti penerimaan negara dan surat penetapan tarif dan/atau nilai pabean;
2.
surat penetapan pabean; atau
3.
surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pemberitahuan pabean impor tersebut, untuk impor Barang Kena Pajak dalam hal terdapat penetapan kekurangan nilai Pajak Pertambahan Nilai Impor oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2)
Dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.
pemberitahuan impor barang;
b.
pemberitahuan impor barang khusus;
c.
pemberitahuan atas barang pribadi penumpang dan awak sarana pengangkut (customs declaration);
d.
pemberitahuan impor barang untuk ditimbun di tempat penimbunan berikat;
e.
pemberitahuan penyelesaian barang asal impor yang mendapat kemudahan impor tujuan ekspor;
f.
pemberitahuan impor barang dari pusat logistik berikat; dan
g.
Dokumen pemberitahuan pabean impor lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Pasal 65

Dokumen pengeluaran barang dari kawasan berikat yang merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf q meliputi:
a.
Dokumen pengeluaran barang asal Daerah Pabean dari kawasan berikat ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
b.
Dokumen pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean dari kawasan berikat selain pusat logistik berikat ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
c.
Dokumen pengeluaran barang dari kawasan berikat ke kawasan berikat lainnya.

Pasal 66

Pemberitahuan pabean kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf r meliputi:
a.
pemberitahuan pabean kawasan ekonomi khusus yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, yang dilampiri dengan:
1.
Surat Setoran Pajak atau bukti penerimaan negara;
2.
surat setoran pabean, cukai, dan pajak; dan/atau
3.
bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan pabean kawasan ekonomi khusus tersebut, untuk impor Barang Kena Pajak ke kawasan ekonomi khusus; dan
b.
pemberitahuan pabean kawasan ekonomi khusus yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, yang dilampiri dengan:
1.
nota pelayanan ekspor;
2.
invois; dan
3.
bill of lading atau airway bill,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan pabean kawasan ekonomi khusus tersebut, untuk ekspor Barang Kena Pajak dari kawasan ekonomi khusus.

Pasal 67

(1)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a, huruf b, huruf d sampai dengan huruf j, huruf 1, huruf m, dan huruf q paling sedikit memuat:
a.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang melakukan penyerahan, dalam hal penyerahan;
b.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pemilik barang, dalam hal ekspor;
c.
jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
d.
dasar pengenaan pajak; dan
e.
jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut kecuali dalam hal ekspor.
(2)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf c paling sedikit memuat:
a.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang melakukan ekspor atau penyerahan atau nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak penjual;
b.
jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
c.
dasar pengenaan pajak; dan
d.
jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
(3)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf c dan huruf d paling sedikit memuat:
a.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli atau penerima Barang Kena Pajak; dan
b.
jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut atau dilunasi.
(4)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf o paling sedikit memuat identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(5)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf p paling sedikit memuat:
a.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan pembeli dan alamat pos elektronik (e-mail) pembeli yang terdaftar pada sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak; atau
b.
nama akun pembeli.
(6)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf p yang paling sedikit memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, harus dilampiri dengan Dokumen yang membuktikan bahwa akun pembeli pada Sistem Elektronik Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik memuat nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli, atau alamat pos elektronik (e-mail) pembeli yang terdaftar pada sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(7)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf r, Pasal 63 ayat (1) huruf e, dan Pasal 63 ayat (1) huruf f paling sedikit memuat:
a.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan pelaku usaha di kawasan ekonomi khusus; dan
b.
jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut atau dilunasi.
(8)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf t paling sedikit memuat:
a.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak rekanan;
b.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli barang atau penerima jasa;
c.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pihak Lain;
d.
jenis barang dan/atau jasa;
e.
seluruh nilai pembayaran atas transaksi yang dilakukan melalui Pihak Lain;
f.
jumlah Pajak Penghasilan yang dipungut;
g.
jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; dan
h.
nomor dan tanggal pembuatan Dokumen tagihan.
(9)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf u dan huruf v paling sedikit memuat:
a.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (tax identification number) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
b.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pajak (tax identification number) atau Nomor Induk Kependudukan pihak yang dipungut dalam hal penjual aset kripto dan/atau pembeli aset kripto merupakan subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri berbentuk bentuk usaha tetap;
c.
nama pihak yang dipungut dalam hal penjual aset kripto dan/atau pembeli aset kripto merupakan subjek pajak luar negeri;
d.
dasar pengenaan pajak; dan
e.
jumlah Pajak Pertambahan Nilai.
(10)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf w dan huruf x paling sedikit memuat:
a.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan jasa agen asuransi, jasa pialang asuransi, atau jasa pialang reasuransi;
b.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menerima jasa agen asuransi, jasa pialang asuransi, atau jasa pialang reasuransi;
c.
dasar pengenaan pajak berupa nilai komisi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
d.
jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
(11)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf y paling sedikit memuat:
a.
nama dan alamat penjual Barang Kena Pajak tidak berwujud atau penyedia Jasa Kena Pajak; dan
b.
nama dan alamat pembeli Barang Kena Pajak tidak berwujud atau penerima Jasa Kena Pajak.
(12)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf z paling sedikit memuat:
a.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak kreditur;
b.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan debitur;
c.
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan pembeli agunan;
d.
uraian Barang Kena Pajak;
e.
dasar pengenaan pajak; dan
f.
jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.

Pasal 68

(1)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a sampai dengan huruf j, huruf m, huruf o, huruf q, dan huruf t sampai dengan huruf z memenuhi persyaratan formal apabila diisi benar, lengkap, dan jelas sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67.
(2)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf l memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67.
(3)
Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf k, huruf n, huruf p, huruf r, dan huruf s dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Pasal 69

(1)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a sampai dengan huruf i, huruf q, dan huruf t sampai dengan huruf z merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang Dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) serta mencantumkan nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
(2)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf n dan huruf o, merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh pemilik barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang Dokumen tertentu tersebut:
a.
mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dalam:
1.
Surat Setoran Pajak atau bukti penerimaan negara;
2.
surat setoran pabean, cukai, dan pajak; dan/atau
3.
bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan
b.
telah terdapat dalam sistem komputer pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan telah dipertukarkan secara elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak.
(3)
Dalam hal:
a.
Surat Setoran Pajak atau bukti penerimaan negara;
b.
surat setoran pabean, cukai, dan pajak; dan/atau
c.
bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf o merupakan gabungan pembayaran atau penyetoran dari beberapa surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf o merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang memenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang Dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) serta mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan nama pihak yang:
a.
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud; atau
b.
menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
(5)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf p merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang Dokumen tertentu tersebut:
a.
mencantumkan nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan pembeli;
b.
mencantumkan alamat pos elektronik (e-mail) pembeli yang terdaftar pada sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak; atau
c.
dilampiri dengan Dokumen yang membuktikan bahwa akun pembeli pada Sistem Elektronik pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik memuat nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan pembeli, atau alamat pos elektronik (e-mail) pembeli yang terdaftar pada sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(6)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf r merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang Dokumen tertentu tersebut:
a.
mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dalam:
1.
Surat Setoran Pajak atau bukti penerimaan negara;
2.
surat setoran pabean, cukai, dan pajak; dan/atau
3.
bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan
b.
telah terdapat dalam sistem komputer pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan telah dipertukarkan secara elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak.
(7)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf e dan huruf f merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang Dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) serta mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan nama pihak yang melakukan pelunasan.
(8)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf s dan Pasal 63 ayat (1) huruf g dan huruf i merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(9)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf h merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh pemilik barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang Dokumen tertentu tersebut mencantumkan:
a.
Nomor Pokok Wajib Pajak pemilik barang; dan
b.
jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.

Pasal 70

Pengusaha Kena Pajak yang membuat Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a sampai dengan huruf j, huruf m, dan huruf q yang tidak memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dan yang membuat Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf l yang tidak memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2), dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Bagian Keempat
Jenis Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
Paragraf 1
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak

Pasal 71

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1 digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan:
a.
pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b.
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui Pihak Lain dalam satu Masa Pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak yang sekaligus merupakan:
a.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; dan/atau
b.
Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean,
untuk melaporkan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Pasal 16A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 72

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang terdiri atas:
1.
Formulir A1-Daftar Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak;
2.
Formulir A2-Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak;
3.
Formulir B1-Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor Barang Kena Pajak dan Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean;
4.
Formulir B2-Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak Dalam Negeri;
5.
Formulir B3-Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas; dan
6.
Formulir C-Daftar Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang Dipungut oleh Pihak Lain.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak, selain berisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), memuat data mengenai:
a.
jumlah penyerahan;
b.
jumlah perolehan;
c.
jumlah dasar pengenaan pajak;
d.
jumlah Pajak Keluaran;
e.
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
f.
jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
g.
data lainnya yang terkait dengan kegiatan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean; dan
h.
data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak.
(3)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik.
(4)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Paragraf 2
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

Pasal 73

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 2, digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak untuk melaporkan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan yang dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan:
a.
untuk Masa Pajak sebelum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan
b.
bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha tidak melebihi jumlah tertentu.

Pasal 74

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang terdiri atas:
1.
Formulir A1-Daftar Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak;
2.
Formulir A2-Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak;
3.
Formulir B3-Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas; dan
4.
Formulir C-Daftar Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang Dipungut oleh Pihak Lain.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, selain berisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), memuat data mengenai:
a.
jumlah penyerahan;
b.
jumlah perolehan;
c.
jumlah dasar pengenaan pajak;
d.
jumlah Pajak Keluaran;
e.
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
f.
jumlah kekurangan atau kelebihan pajak; dan
g.
data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak.
(3)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik.
(4)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Paragraf 3
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang Bukan Merupakan Pengusaha Kena Pajak

Pasal 75

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 3 digunakan oleh:
a.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; dan
b.
Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean,
yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, untuk melaporkan pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Pasal 16A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 76

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang terdiri atas:
1.
Formulir L1-Daftar Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang Dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang Bukan Merupakan Pengusaha Kena Pajak; dan
2.
Formulir L2-Daftar Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang Dipungut oleh Pihak Lain.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, selain berisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), memuat data mengenai:
a.
jumlah dasar pengenaan pajak;
b.
jumlah pajak yang dipungut;
c.
jumlah pajak yang disetor;
d.
tanggal pemungutan; dan
e.
data lainnya yang terkait dengan kegiatan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean.
(3)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik.
(4)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
BAB IV
BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA BEA METERAI

Pasal 77

Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan:
a.
pemungutan Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu dari pihak yang terutang;
b.
penyetoran Bea Meterai ke kas negara; dan
c.
penerbitan Dokumen yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai.

Pasal 78

(1)
Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai; dan
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai yang terdiri atas:
1.
Formulir L1-Daftar Pemungutan Menggunakan Meterai Percetakan;
2.
Formulir L2-Daftar Pemungutan Menggunakan Meterai Elektronik;
3.
Formulir L3-Daftar Dokumen yang Tidak Dapat Dibubuhi Meterai Elektronik; dan
4.
Formulir L4-Daftar Dokumen yang Mendapat Fasilitas Pembebasan dari Pengenaan Bea Meterai.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain berisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), memuat data mengenai:
a.
jumlah Dokumen dan Bea Meterai yang dipungut serta jumlah Dokumen dan Bea Meterai yang dibebaskan, berdasarkan objek Bea Meterai;
b.
jumlah Dokumen dan Bea Meterai yang dipungut berdasarkan cara pemungutan;
c.
jumlah penyetoran Bea Meterai; dan
d.
data lainnya yang terkait dengan pemungutan Bea Meterai.
(3)
Formulir L3-Daftar Dokumen yang Tidak Dapat Dibubuhi Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 digunakan untuk melaporkan pemungutan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Teraan Digital dan tanda pemungutan.
(4)
Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik.
(5)
Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 79

(1)
Untuk kebutuhan pengisian Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai, Direktorat Jenderal Pajak menyediakan:
a.
daftar pemungutan menggunakan Meterai Elektronik; dan
b.
data pembubuhan Meterai Teraan Digital.
(2)
Daftar pemungutan menggunakan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersumber dari data pembubuhan Meterai Elektronik yang telah melalui proses penyelesaian (settlement) antara Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia dan Pemungut Bea Meterai dan digunakan untuk mengisi Formulir L2-Daftar Pemungutan Menggunakan Meterai Elektronik.
(3)
Data pembubuhan Meterai Teraan Digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disediakan melalui Portal Wajib Pajak dan dapat digunakan oleh Pemungut Bea Meterai untuk mengisi Formulir L3-Daftar Dokumen yang Tidak Dapat Dibubuhi Meterai Elektronik.
BAB V
BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN
Bagian Kesatu
Ketentuan Umum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan

Pasal 80

(1)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Penghasilan yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a.
pembayaran atau pelunasan Pajak Penghasilan yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain;
b.
penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; dan/atau
c.
harta dan kewajiban,
dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
(2)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain berisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), memuat data mengenai:
a.
jumlah peredaran usaha;
b.
jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
c.
jumlah penghasilan kena pajak;
d.
jumlah pajak yang terutang;
e.
jumlah kredit pajak;
f.
jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
g.
jumlah harta dan kewajiban; dan
h.
data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
(3)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak; dan
b.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak.
(4)
Penyebutan Bagian Tahun Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
menggunakan tahun kalender, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 1 (satu) tahun kalender;
b.
menggunakan tahun kalender yang di dalamnya memuat jumlah bulan yang lebih banyak, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender yang berbeda; atau
c.
menggunakan tahun kalender pertama, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender dengan jumlah bulan yang sama pada masing-masing tahun kalender.
(5)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
a.
Dokumen Elektronik; atau
b.
formulir kertas (hardcopy).
(6)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan berbentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a wajib disampaikan oleh Wajib Pajak sepanjang memenuhi kriteria:
a.
merupakan Wajib Pajak Badan;
b.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan berstatus lebih bayar;
c.
diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa dalam bentuk Dokumen Elektronik;
d.
pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam bentuk Dokumen Elektronik;
e.
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak selain Kantor Pelayanan Pajak pratama;
f.
menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan/atau
g.
laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik.
(7)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib disampaikan berbentuk Dokumen Elektronik.
Bagian Kedua
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi

Pasal 81

(1)
Wajib Pajak orang pribadi wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan Pajak Penghasilan serta melaporkan pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) melalui Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
(2)
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a.
suami dan istri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
b.
istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
penghasilan atau kerugiannya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi masing-masing suami dan istri.
(3)
Suami dan istri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membuat dan melampirkan penghitungan Pajak Penghasilan berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami dan istri dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.

Pasal 82

(1)
Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan Pajak Penghasilan serta melaporkan pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) melalui Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1).
(2)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subjek pajak pengganti dari para ahli waris yang berhak.

Pasal 83

(1)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi; dan
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi yang terdiri atas:
1.
Lampiran 1-Harta dan Utang pada Akhir Tahun Pajak, Daftar Anggota Keluarga yang Menjadi Tanggungan, Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Pekerjaan, dan Daftar Bukti Pemotongan atau Pemungutan Pajak Penghasilan;
2.
Lampiran 2-Penghasilan yang Dikenakan Pajak Penghasilan Bersifat Final, Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak, dan Penghasilan Neto Luar Negeri;
3.
Lampiran 3 yang terdiri atas:
a)
Lampiran 3A-1-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Dagang);
b)
Lampiran 3A-2-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Jasa);
c)
Lampiran 3A-3-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Industri);
d)
Lampiran 3A-4-Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas Berdasarkan Pencatatan dan Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya;
e)
Lampiran 3B-Rekapitulasi Peredaran Bruto;
f)
Lampiran 3C-Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal; dan
g)
Lampiran 3D-Rincian Biaya Tertentu;
4.
Lampiran 4-Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak Berikutnya dan Penghitungan Pajak Penghasilan Terutang Wajib Pajak dan Suami atau Istri; dan
5.
Lampiran 5-Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal, Pengurang Penghasilan Neto, dan Pengurang Pajak Penghasilan Terutang.
(2)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Bagian Ketiga
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan

Pasal 84

(1)
Wajib Pajak Badan wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan Pajak Penghasilan serta melaporkan pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) melalui:
a.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang rupiah; atau
b.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang dolar Amerika Serikat, dalam hal Wajib Pajak telah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat melalui permohonan atau pemberitahuan.
(2)
Wajib Pajak Badan yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan Pajak Penghasilan serta melaporkan pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) melalui:
a.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang rupiah, dalam hal Wajib Pajak belum menyampaikan pemberitahuan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat sesuai dengan ketentuan peraturan di bidang perpajakan; atau
b.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang dolar Amerika Serikat, dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan pemberitahuan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 85

(1)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang rupiah terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan;
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang terdiri atas:
1.
Lampiran 1 yang terdiri atas:
a)
Lampiran 1A-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Umum);
b)
Lampiran 1B-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Manufaktur);
c)
Lampiran 1C-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Dagang);
d)
Lampiran 1D-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Jasa);
e)
Lampiran 1E-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Bank Konvensional);
f)
Lampiran 1F-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Dana Pensiun);
g)
Lampiran 1G-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Asuransi);
h)
Lampiran 1H-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Properti);
i)
Lampiran 1I-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Bank Syariah);
j)
Lampiran 1J-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Infrastruktur);
k)
Lampiran 1K-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sekuritas); dan
l)
Lampiran 1L-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Pembiayaan);
2.
Lampiran 2-Daftar Kepemilikan;
3.
Lampiran 3-Daftar Pajak Penghasilan yang Dipotong/Dipungut oleh Pihak Lain;
4.
Lampiran 4-Penghasilan yang Dikenakan Pajak Penghasilan yang Bersifat Final dan Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak;
5.
Lampiran 5-Rekapitulasi Peredaran Bruto;
6.
Lampiran 6-Angsuran Pajak Penghasilan Tahun Pajak Berjalan;
7.
Lampiran 7-Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal;
8.
Lampiran 8-Penghitungan Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
9.
Lampiran 9-Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal;
10.
Lampiran 10A-Daftar Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
11.
Lampiran 10B-Pernyataan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
12.
Lampiran 10C-Pernyataan Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven Country;
13.
Lampiran 10D-Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal;
14.
Lampiran 11A-Rincian Biaya Tertentu;
15.
Lampiran 11B-Penghitungan Biaya Pinjaman yang Dapat Dibebankan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan;
16.
Lampiran 11C-Laporan Utang Swasta Luar Negeri;
17.
Lampiran 12A-Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 26 Ayat (4);
18.
Lampiran 12B-Pemberitahuan Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap;
19.
Lampiran 13A-Daftar Fasilitas Penanaman Modal;
20.
Lampiran 13B-Daftar Tambahan Pengurangan Penghasilan Bruto;
21.
Lampiran 13C-Daftar Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan; dan
22.
Lampiran 14-Penggunaan Sisa Lebih untuk Pembangunan dan Pengadaan Sarana dan Prasarana.
(2)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 86

(1)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang dolar Amerika Serikat bagi Wajib Pajak yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam satuan mata uang dolar Amerika Serikat terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan;
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan yang terdiri atas:
1.
Lampiran 1 yang terdiri atas:
a)
Lampiran 1A-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Umum);
b)
Lampiran 1B-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Manufaktur);
c)
Lampiran 1C-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Dagang);
d)
Lampiran 1D-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Jasa);
e)
Lampiran 1E-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Bank Konvensional);
f)
Lampiran 1F-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Dana Pensiun);
g)
Lampiran 1G-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Asuransi);
h)
Lampiran 1H-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Properti);
i)
Lampiran 1I-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Bank Syariah);
j)
Lampiran 1J-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Infrastruktur);
k)
Lampiran 1K-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sekuritas); atau
l)
Lampiran 1L-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Pembiayaan);
2.
Lampiran 2-Daftar Kepemilikan;
3.
Lampiran 3-Daftar Pajak Penghasilan yang Dipotong/Dipungut oleh Pihak Lain;
4.
Lampiran 4-Penghasilan yang Dikenakan Pajak Penghasilan yang Bersifat Final dan Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak;
5.
Lampiran 5-Rekapitulasi Peredaran Bruto;
6.
Lampiran 6-Angsuran Pajak Penghasilan Tahun Pajak Berjalan;
7.
Lampiran 7-Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal;
8.
Lampiran 8-Penghitungan Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
9.
Lampiran 9-Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal;
10.
Lampiran 10A-Daftar Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
11.
Lampiran 10B-Pernyataan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
12.
Lampiran 10C-Pernyataan Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven Country;
13.
Lampiran 10D-Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal;
14.
Lampiran 11A-Rincian Biaya Tertentu;
15.
Lampiran 11B-Penghitungan Biaya Pinjaman yang Dapat Dibebankan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan;
16.
Lampiran 11C-Laporan Utang Swasta Luar Negeri;
17.
Lampiran 12A-Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 26 Ayat (4);
18.
Lampiran 12B-Pemberitahuan Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap;
19.
Lampiran 13A-Daftar Fasilitas Penanaman Modal;
20.
Lampiran 13B-Daftar Tambahan Pengurangan Penghasilan Bruto;
21.
Lampiran 13C-Daftar Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan; dan
22.
Lampiran 14-Penggunaan Sisa Lebih untuk Pembangunan dan Pengadaan Sarana dan Prasarana.
(2)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 87

(1)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang rupiah terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan;
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan yang terdiri atas:
1.
Lampiran 1 yang terdiri atas:
a)
Lampiran 1A-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Umum);
b)
Lampiran 1B-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Manufaktur);
c)
Lampiran 1C-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Dagang);
d)
Lampiran 1D-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Jasa);
e)
Lampiran 1E-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Bank Konvensional);
f)
Lampiran 1F-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Dana Pensiun);
g)
Lampiran 1G-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Asuransi);
h)
Lampiran 1H-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Properti);
i)
Lampiran 1I-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Bank Syariah);
j)
Lampiran 1J-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Infrastruktur);
k)
Lampiran 1K-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sekuritas); atau
l)
Lampiran 1L-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Pembiayaan);
2.
Lampiran 2-Daftar Kepemilikan;
3.
Lampiran 3-Daftar Pajak Penghasilan yang Dipotong/Dipungut oleh Pihak Lain;
4.
Lampiran 4-Penghasilan yang Dikenakan Pajak Penghasilan yang Bersifat Final dan Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak;
5.
Lampiran 5-Rekapitulasi Peredaran Bruto;
6.
Lampiran 6-Angsuran Pajak Penghasilan Tahun Pajak Berjalan;
7.
Lampiran 7-Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal;
8.
Lampiran 8-Penghitungan Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
9.
Lampiran 9-Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal;
10.
Lampiran 10A-Daftar Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
11.
Lampiran 10B-Pernyataan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
12.
Lampiran 10C-Pernyataan Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven Country;
13.
Lampiran 10D-Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal;
14.
Lampiran 11A-Rincian Biaya Tertentu;
15.
Lampiran 11B-Penghitungan Biaya Pinjaman yang Dapat Dibebankan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan;
16.
Lampiran 11C-Laporan Utang Swasta Luar Negeri;
17.
Lampiran 12A-Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 26 Ayat (4);
18.
Lampiran 12B-Pemberitahuan Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap;
19.
Lampiran 13A-Daftar Fasilitas Penanaman Modal;
20.
Lampiran 13B-Daftar Tambahan Pengurangan Penghasilan Bruto;
21.
Lampiran 13C-Daftar Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;
22.
Lampiran 14-Penggunaan Sisa Lebih untuk Pembangunan dan Pengadaan Sarana dan Prasarana;
23.
Lampiran 15A-Penghitungan Pajak Penghasilan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas;
24.
Lampiran 15B-Penghitungan Branch Profit Tax/Pajak Penghasilan atas Dividen bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas;
25.
Lampiran 15C-Rincian Biaya pada Tahap Eksplorasi dalam Rangka Kontrak Kerja Sama;
26.
Lampiran 15D-Rincian Biaya pada Tahap Eksploitasi dalam Rangka Kontrak Kerja Sama;
27.
Lampiran 15E-Daftar Penyusutan Kontrak Kerja Sama Migas;
28.
Lampiran 15F-Rincian First Tranche Petroleum Share bagi Kontraktor Kerja Sama Migas; dan
29.
Lampiran 15G-Laporan Perubahan Partisipasi Interes.
(2)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, termasuk final financial quarterly report kuartal IV untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

Pasal 88

(1)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang dolar Amerika Serikat terdiri atas:
a.
induk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan;
b.
lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan yang terdiri atas:
1.
Lampiran 1 yang terdiri atas:
a)
Lampiran 1A-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Umum);
b)
Lampiran 1B-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Manufaktur);
c)
Lampiran 1C-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Dagang);
d)
Lampiran 1D-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Jasa);
e)
Lampiran 1E-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Bank Konvensional);
f)
Lampiran 1F-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Dana Pensiun);
g)
Lampiran 1G-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Asuransi);
h)
Lampiran 1H-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Properti);
i)
Lampiran 1I-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Bank Syariah);
j)
Lampiran 1J-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Infrastruktur);
k)
Lampiran 1K-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sekuritas); atau
l)
Lampiran 1L-Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Pembiayaan);
2.
Lampiran 2-Daftar Kepemilikan;
3.
Lampiran 3-Daftar Pajak Penghasilan PPh yang Dipotong/Dipungut oleh Pihak Lain;
4.
Lampiran 4-Penghasilan yang Dikenakan Pajak Penghasilan yang Bersifat Final dan Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak;
5.
Lampiran 5-Rekapitulasi Peredaran Bruto;
6.
Lampiran 6-Angsuran Pajak Penghasilan Tahun Pajak Berjalan;
7.
Lampiran 7-Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal;
8.
Lampiran 8-Penghitungan Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
9.
Lampiran 9-Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal;
10.
Lampiran 10A-Daftar Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
11.
Lampiran 10B-Pernyataan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
12.
Lampiran 10C-Pernyataan Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven Country;
13.
Lampiran 10D-Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal;
14.
Lampiran 11A-Rincian Biaya Tertentu;
15.
Lampiran 11B-Penghitungan Biaya Pinjaman yang Dapat Dibebankan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan;
16.
Lampiran 11C-Laporan Utang Swasta Luar Negeri;
17.
Lampiran 12A-Penghitungan Pajak Penghasilan PPh Pasal 26 Ayat (4);
18.
Lampiran 12B-Pemberitahuan Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap;
19.
Lampiran 13A-Daftar Fasilitas Penanaman Modal;
20.
Lampiran 13B-Daftar Tambahan Pengurangan Penghasilan Bruto;
21.
Lampiran 13C-Daftar Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;
22.
Lampiran 14-Penggunaan Sisa Lebih untuk Pembangunan dan Pengadaan Sarana dan Prasarana;
23.
Lampiran 15A-Penghitungan Pajak Penghasilan Bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas;
24.
Lampiran 15B-Penghitungan Branch Profit Tax/Pajak Penghasilan atas Dividen bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas;
25.
Lampiran 15C-Rincian Biaya pada Tahap Eksplorasi dalam Rangka Kontrak Kerja Sama;
26.
Lampiran 15D-Rincian Biaya pada Tahap Eksploitasi dalam Rangka Kontrak Kerja Sama;
27.
Lampiran 15E-Daftar Penyusutan Kontrak Kerja Sama Migas;
28.
Lampiran 15F-Rincian First Tranche Petroleum Share bagi Kontraktor Kerja Sama Migas; dan
29.
Lampiran 15G-Laporan Perubahan Partisipasi Interes.
(2)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3)
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, termasuk final financial quarterly report kuartal IV untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

Pasal 89

(1)
Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama minyak dan gas bumi dengan kontrak cost recovery didasarkan pada final financial quarterly report kuartal IV, final financial quarterly report tahun buku terakhir, atau financial quarterly report final settlement right and obligation.
(2)
Final financial quarterly report kuartal IV, final financial quarterly report tahun buku terakhir, atau financial quarterly report final settlement right and obligation sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan final financial quarterly report kuartal IV, final financial quarterly report tahun buku terakhir, atau financial quarterly report final settlement right and obligation yang diakui dan digunakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh untuk penyelesaian penghitungan bagi hasil serta kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan Kontrak Kerja Sama.
BAB VI
BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN, DAN PENYAMPAIAN LAPORAN PENGHITUNGAN ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 BAGI BANK, BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA, SERTA WAJIB PAJAK LAINNYA

Pasal 90

Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, serta Wajib Pajak Lainnya harus menyampaikan laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 91

(1)
Laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 paling sedikit memuat:
a.
nama Wajib Pajak;
b.
Nomor Pokok Wajib Pajak;
c.
periode pelaporan;
d.
Masa Pajak pembayaran;
e.
status laporan;
f.
jumlah dasar pengenaan pajak;
g.
jumlah Pajak Penghasilan;
h.
jumlah kredit pajak;
i.
jumlah Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25; dan
j.
tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(2)
Laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik.
(3)
Laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 92

(1)
Laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dibuat dan disampaikan melalui Portal Wajib Pajak.
(2)
Atas penyampaian laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bukti penerimaan.

Pasal 93

(1)
Periode pelaporan atas laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 diatur sebagai berikut:
a.
bank menyampaikan laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 setiap 1 (satu) bulan berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak yang dilaporkan;
b.
Wajib Pajak Lainnya dan Wajib Pajak masuk bursa selain bank menyampaikan laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 setiap 3 (tiga) bulan berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan kepada bursa dan/atau Otoritas Jasa Keuangan sejak awal Tahun Pajak sampai dengan akhir triwulan yang dilaporkan; dan
c.
Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, selain bank, Wajib Pajak masuk bursa, dan/atau Wajib Pajak Lainnya menyampaikan laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 setiap 1 (satu) Tahun Pajak berdasarkan rencana kerja dan anggaran pendapatan Tahun Pajak yang bersangkutan yang telah disahkan oleh rapat umum pemegang saham.
(2)
Laporan penghitungan Angsuran Pasal Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya:
a.
periode pelaporan bulanan bagi bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
b.
periode pelaporan triwulanan bagi Wajib Pajak Lainnya dan Wajib Pajak masuk bursa selain bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; atau
c.
periode pelaporan tahunan Tahun Pajak sebelumnya bagi Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, selain bank, Wajib Pajak masuk bursa, dan/atau Wajib Pajak Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
(3)
Dalam hal besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar nihil, Wajib Pajak tetap menyampaikan laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 untuk setiap periode pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Bagi Wajib Pajak bank, dalam hal laporan keuangan tahunan belum tersedia sampai dengan batas waktu penyetoran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir dalam tahun buku karena masih dalam proses audit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir dalam tahun buku disampaikan sesuai dengan data dan informasi dalam laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan 25 Masa Pajak sebelumnya.
(5)
Bagi Wajib Pajak Lainnya dan Wajib Pajak masuk bursa selain bank yang tidak memiliki kewajiban menyampaikan laporan keuangan triwulan keempat, laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk triwulan terakhir tahun berjalan disampaikan sesuai dengan data dan informasi dalam laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 triwulan sebelumnya.

Pasal 94

(1)
Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 berlaku untuk:
a.
Masa Pajak yang dilaporkan bagi bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf a;
b.
3 (tiga) Masa Pajak berikutnya bagi Wajib Pajak Lainnya dan Wajib Pajak masuk bursa selain bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf b; dan
c.
setiap Masa Pajak dalam Tahun Pajak yang dilaporkan bagi Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, selain bank, Wajib Pajak masuk bursa, dan/atau Wajib Pajak Lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf c.
(2)
Dalam hal Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah dibayar ternyata lebih kecil dari besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 menurut laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang disampaikan oleh Wajib Pajak, selisih kurang bayar tersebut:
a.
wajib dibayar oleh Wajib Pajak; dan
b.
dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(3)
Dalam hal Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah dibayar ternyata lebih besar dari besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 menurut laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang disampaikan oleh Wajib Pajak, selisih lebih bayar tersebut dapat:
a.
dimintakan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
b.
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan.
BAB VII
PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Wajib Pajak

Pasal 95

(1)
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Wajib Pajak Badan yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan beserta lampirannya dalam bahasa Indonesia kecuali lampiran berupa laporan keuangan, dan menggunakan satuan mata uang dolar Amerika Serikat.
Bagian Kedua
Batas Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan

Pasal 96

Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai berikut:
a.
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
b.
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Pasal 97

(1)
Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dengan cara menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
(2)
Pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 berakhir.
(3)
Pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak.
(4)
Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat menyampaikan pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak dapat menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan:
a.
secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak atau kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan; atau
b.
melalui pos atau Perusahaan Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir, dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(5)
Atas penyampaian pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan bukti penerimaan.
(6)
Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang mengajukan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyatakan alasan perpanjangan dan melampirkan:
a.
penghitungan sementara Pajak Penghasilan terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
b.
penghitungan sementara Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak bentuk usaha tetap;
c.
laporan keuangan sementara;
d.
Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak; dan
e.
surat pernyataan dari akuntan publik yang menyatakan audit laporan keuangan belum selesai, dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik.
(7)
Pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(8)
Dalam hal pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib dilengkapi dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 98

(1)
Atas pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah diterbitkan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah bukti penerimaan diterbitkan.
(2)
Surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dari Direktur Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat keputusan:
a.
diterima, dalam hal Wajib Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97; atau
b.
dianggap bukan sebagai pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, dalam hal tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97,
atas pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3)
Dalam hal pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dianggap bukan sebagai pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sepanjang tidak melampaui batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96.
(4)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dianggap diterima:
a.
sesuai dengan jangka waktu perpanjangan dalam pemberitahuan Wajib Pajak dalam hal jangka waktu perpanjangan dalam pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tidak melebihi jangka waktu 2 (dua) bulan; atau
b.
untuk jangka waktu perpanjangan paling lama 2 (dua) bulan dalam hal jangka waktu perpanjangan dalam pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan melebihi jangka waktu 2 (dua) bulan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(5)
Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor layanan informasi dan pengaduan untuk menerbitkan surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6)
Pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7)
Contoh format surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Bagian Keempat
Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan

Pasal 99

(1)
Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik dibuat dan disampaikan melalui Portal Wajib Pajak atau laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(2)
Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani secara elektronik dengan Tanda Tangan Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Penyampaian Surat Pemberitahuan dalam bentuk formulir kertas oleh Wajib Pajak dilakukan:
a.
secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
b.
melalui pos atau Perusahaan Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4)
Atas penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan bukti penerimaan.

Pasal 100

(1)
Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak atau laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(2)
Direktur Jenderal Pajak dapat menyediakan data perpajakan berupa:
a.
pemotongan dan/atau pemungutan;
b.
daftar harta dan/atau utang;
c.
pembayaran pajak; dan/atau
d.
data perpajakan lainnya,
untuk dimanfaatkan Wajib Pajak dalam penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik.
(3)
Dalam hal Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan cara selain elektronik, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan.
(4)
Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan.

Pasal 101

Penyampaian Surat Pemberitahuan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak atau kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) huruf a dilakukan di:
a.
Tempat Pelayanan Terpadu; atau
b.
tempat lain berupa Layanan Pajak di Luar Kantor yang disediakan Kantor Pelayanan Pajak atau kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan.

Pasal 102

(1)
Penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos atau Perusahaan Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir dengan bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) huruf b ditujukan ke:
a.
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; atau
b.
tempat lain berupa unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pajak di bidang pengelolaan data dan dokumen perpajakan.
(2)
Atas penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak:
a.
harus menyampaikan 1 (satu) Surat Pemberitahuan dalam 1 (satu) amplop tertutup dengan 1 (satu) tanda bukti pengiriman surat;
b.
membubuhi informasi pada amplop sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan:
1.
Nomor Pokok Wajib Pajak;
2.
nama Wajib Pajak;
3.
Tahun Pajak;
4.
status Surat Pemberitahuan berupa Surat Pemberitahuan normal atau Surat Pemberitahuan pembetulan;
5.
keterangan Surat Pemberitahuan berupa Surat Pemberitahuan yang menyatakan kurang bayar atau Surat Pemberitahuan yang menyatakan nihil; dan
6.
tujuan dan alamat pengiriman;
c.
harus menyediakan informasi pada tanda bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a, yang paling sedikit memuat:
1.
Nomor Pokok Wajib Pajak;
2.
nama Wajib Pajak;
3.
jenis Surat Pemberitahuan;
4.
Tahun Pajak; dan
5.
tujuan dan alamat pengiriman.
(3)
Contoh format lembar informasi amplop Surat Pemberitahuan yang disampaikan melalui pos atau Perusahaan Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir dengan bukti penerimaan surat yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Bagian Kelima
Pengecekan Validitas Nomor Pokok Wajib Pajak dan Penelitian Surat Pemberitahuan

Pasal 103

(1)
Terhadap Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dilakukan pengecekan validitas Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2)
Nomor Pokok Wajib Pajak dinyatakan valid dalam hal Nomor Pokok Wajib Pajak yang tertera pada Surat Pemberitahuan telah sesuai dan tersedia dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(3)
Dalam hal Nomor Pokok Wajib Pajak yang tertera pada Surat Pemberitahuan dinyatakan valid, atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak dilakukan Penelitian Surat Pemberitahuan.

Pasal 104

(1)
Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (3) dilakukan untuk memastikan Surat Pemberitahuan telah memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
Surat Pemberitahuan ditandatangani oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b.
Surat Pemberitahuan disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain rupiah, terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain rupiah;
c.
Surat Pemberitahuan diisi dengan lengkap dan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
d.
selain Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak dan telah ditegur secara tertulis; dan
e.
Surat Pemberitahuan disampaikan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
(2)
Ketentuan telah ditegur secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, tidak berlaku atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar untuk Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak pada saat:
a.
Wajib Pajak belum terdaftar;
b.
Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak Nonaktif; atau
c.
Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan.
(3)
Terhadap Surat Pemberitahuan Pembetulan, selain dilakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan penelitian atas pemenuhan ketentuan sebagai berikut:
a.
pembetulan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi atau lebih bayar harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan; dan
b.
pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan ketetapan pajak, surat keputusan pembatalan ketetapan pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan persetujuan bersama, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang akan dibetulkan tersebut, pembetulan disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan ketetapan pajak, surat keputusan pembatalan ketetapan pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan persetujuan bersama, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali, dan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(4)
Terhadap Surat Pemberitahuan dalam bentuk formulir kertas, selain dilakukan Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), juga dilakukan penelitian untuk memastikan terdapat pembayaran di sistem untuk Surat Pemberitahuan berstatus kurang bayar dengan jumlah paling sedikit sebesar jumlah kurang bayar dalam Surat Pemberitahuan.
(5)
Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Surat Pemberitahuan dinyatakan tidak lengkap dalam hal:
a.
terdapat elemen induk Surat Pemberitahuan yang diisi tidak lengkap dan lampiran Surat Pemberitahuan yang diwajibkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini, tidak disampaikan atau diisi tidak lengkap; dan
b.
terdapat keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini, yang belum sepenuhnya dilampirkan untuk setiap jenis Surat Pemberitahuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Bagian Keenam
Penerimaan Surat Pemberitahuan secara Elektronik

Pasal 105

(1)
Atas penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak atau laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), dilakukan:
a.
pengecekan validitas Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103;
b.
Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1); dan
c.
Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3), dalam hal Surat Pemberitahuan Pembetulan.
(2)
Proses pengecekan validitas Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan secara otomatis melalui Portal Wajib Pajak atau laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1).
(3)
Dalam hal berdasarkan pengecekan validitas Nomor Pokok Wajib Pajak dan Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh hasil:
a.
Nomor Pokok Wajib Pajak valid sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2);
b.
Surat Pemberitahuan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1); dan
c.
Surat Pemberitahuan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan ayat (3), dalam hal Surat Pemberitahuan Pembetulan,
kepada Wajib Pajak diterbitkan bukti penerimaan elektronik.
(4)
Dalam hal berdasarkan pengecekan validitas Nomor Pokok Wajib Pajak dan Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepada Wajib Pajak tidak diterbitkan bukti penerimaan elektronik.

Pasal 106

(1)
Terhadap Surat Pemberitahuan yang diterima melalui laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) bukti penerimaan elektronik yang diterbitkan melalui laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak dianggap sebagai bukti penerimaan Surat Pemberitahuan.
(2)
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterbitkan melalui laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak merupakan tanggal Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap dan dapat diterima sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Bagian Ketujuh
Penerimaan Surat Pemberitahuan secara Langsung

Pasal 107

(1)
Terhadap Surat Pemberitahuan yang disampaikan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) huruf a, petugas penerima Surat Pemberitahuan melakukan:
a.
pengecekan:
1.
validitas Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103;
2.
Surat Pemberitahuan belum pernah disampaikan; dan
3.
Wajib Pajak bukan termasuk yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (6) dan ayat (7);
b.
Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan ayat (4); dan
c.
Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4), dalam hal Surat Pemberitahuan Pembetulan.
(2)
Dalam hal berdasarkan kegiatan penerimaan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh hasil:
a.
Nomor Pokok Wajib Pajak valid sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2);
b.
Surat Pemberitahuan belum pernah disampaikan;
c.
Wajib Pajak bukan termasuk yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (6) dan ayat (7);
d.
Surat Pemberitahuan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan ayat (4); dan
e.
Surat Pemberitahuan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), dalam hal Surat Pemberitahuan Pembetulan,
petugas penerima Surat Pemberitahuan memberikan bukti penerimaan surat.
(3)
Dalam hal Surat Pemberitahuan yang disampaikan secara langsung tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas penerima Surat Pemberitahuan mengembalikan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Bagian Kedelapan
Penerimaan Surat Pemberitahuan Melalui Pos atau Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir dengan Bukti Pengiriman Surat

Pasal 108

(1)
Atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan melalui pos atau Perusahaan Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir dengan bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) huruf b, petugas penerima Surat Pemberitahuan pada unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pajak di bidang pengelolaan data dan dokumen perpajakan melakukan:
a.
pengecekan:
1.
isi amplop merupakan Surat Pemberitahuan yang disampaikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) huruf a;
2.
validitas Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103;
3.
Surat Pemberitahuan belum pernah disampaikan; dan
4.
Wajib Pajak bukan termasuk yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (6) dan ayat (7);
b.
Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan ayat (4); dan
c.
Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), dalam hal Surat Pemberitahuan Pembetulan.
(2)
Dalam hal berdasarkan kegiatan penerimaan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh hasil:
a.
isi amplop merupakan Surat Pemberitahuan yang disampaikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) huruf a;
b.
Nomor Pokok Wajib Pajak valid sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2);
c.
Surat Pemberitahuan belum pernah disampaikan;
d.
Wajib Pajak bukan termasuk yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (6) dan ayat (7);
e.
Surat Pemberitahuan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan ayat (4); dan
f.
Surat Pemberitahuan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), dalam hal Surat Pemberitahuan Pembetulan,
tanda bukti dan tanggal pengiriman pada bukti pengiriman surat dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan Surat Pemberitahuan.
(3)
Berdasarkan kegiatan penerimaan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal Surat Pemberitahuan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan.
Bagian Kesembilan
Pengolahan Surat Pemberitahuan

Pasal 109

(1)
Terhadap Surat Pemberitahuan yang disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) dan telah diberikan bukti penerimaan surat, dilakukan perekaman isi Surat Pemberitahuan.
(2)
Perekaman isi Surat Pemberitahuan dilakukan oleh unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pajak di bidang pengelolaan data dan dokumen perpajakan.

Pasal 110

(1)
Dalam hal saat dilakukan Perekaman Surat Pemberitahuan oleh unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pajak di bidang pengelolaan data dan dokumen perpajakan ditemukan:
a.
Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain rupiah, terhadap Wajib Pajak yang belum mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain rupiah;
c.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang rupiah, terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain rupiah;
d.
Surat Pemberitahuan tidak diisi dengan lengkap dan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
e.
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis;
f.
Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, atau menerbitkan surat ketetapan pajak;
g.
Surat Pemberitahuan Pembetulan yang menyatakan rugi atau lebih bayar disampaikan melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan;
h.
pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan ketetapan pajak, surat keputusan pembatalan ketetapan pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan persetujuan bersama, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang akan dibetulkan tersebut, tidak disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan ketetapan pajak, surat keputusan pembatalan ketetapan pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan persetujuan bersama, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali;
i.
tidak terdapat pembayaran di sistem untuk Surat Pemberitahuan berstatus kurang bayar;
j.
terdapat kesalahan penghitungan dan/atau jumlah pajak yang dibayar tidak sama dengan jumlah kurang bayar dalam Surat Pemberitahuan;
k.
Wajib Pajak orang pribadi wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah tidak tervalidasi oleh sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
l.
pemberitahuan norma penghitungan penghasilan neto tidak tervalidasi oleh sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan neto untuk menentukan penghasilan neto; dan/atau
m.
surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 tidak tervalidasi oleh sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal Wajib Pajak mengangsur atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan.
(2)
Ketentuan telah ditegur secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, tidak berlaku atas Surat Pemberitahuan lebih bayar untuk Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak pada saat:
a.
Wajib Pajak belum terdaftar;
b.
Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak Nonaktif; atau
c.
Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan.

Pasal 111

(1)
Contoh format:
a.
bukti penerimaan elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (3);
b.
bukti penerimaan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 107 ayat (2); dan
c.
surat pemberitahuan Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) dan Pasal 110 ayat (1),
tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2)
Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk menerbitkan surat pemberitahuan Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) dan Pasal 110 ayat (1).
Bagian Kesepuluh
Pengecualian Penyampaian Surat Pemberitahuan

Pasal 112

(1)
Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
(2)
Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
Wajib Pajak orang pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.
(3)
Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
(4)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Bagian Kesatu
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam Tahun Berjalan dalam Hal-hal Tertentu

Pasal 113

(1)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal‐hal tertentu.
(2)
Hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a.
Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b.
Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d.
Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e.
Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f.
terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(3)
Kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan, surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan ketetapan pajak, surat keputusan pembatalan ketetapan pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan persetujuan bersama, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4)
Penghasilan teratur merupakan penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap Tahun Pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta, dan/atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(5)
Tidak termasuk dalam penghasilan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a.
keuntungan selisih kurs dari utang atau piutang dalam mata uang asing sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok;
b.
keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok; dan
c.
penghasilan lainnya yang bersifat insidental.

Pasal 114

(1)
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf a dihitung sebesar Pajak Penghasilan terutang dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam Bagian Tahun Pajak.
(2)
Dasar penghitungan atas Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengurangkan dari jumlah penghasilan neto fiskal menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang lalu dengan kompensasi kerugian.
(3)
Dalam hal penghasilan neto fiskal menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang lalu menyatakan rugi, Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebesar nihil.

Pasal 115

(1)
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf b dihitung sebesar Pajak Penghasilan terutang dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam Bagian Tahun Pajak.
(2)
Dasar penghitungan atas Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengurangkan dari jumlah penghasilan neto fiskal menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang lalu dengan penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.

Pasal 116

(1)
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang lalu setelah lewat batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf c sebesar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir Tahun Pajak yang lalu untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dan bersifat sementara.
(2)
Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dan Pasal 115 serta berlaku mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
(3)
Dalam hal besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih besar dari Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas kekurangan pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25:
a.
wajib dibayar oleh Wajib Pajak; dan
b.
dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4)
Dalam hal besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih kecil dari Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas kelebihan pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat:
a.
dimintakan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
b.
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 117

(1)
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf d sebesar penghitungan sementara Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang disampaikan Wajib Pajak pada pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.
(2)
Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dan Pasal 115 serta berlaku mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
(3)
Dalam hal besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih besar dari Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas kekurangan pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25:
a.
wajib dibayar oleh Wajib Pajak; dan
b.
dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4)
Dalam hal besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih kecil dari Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas kelebihan pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat:
a.
dimintakan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
b.
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 118

(1)
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak dalam Tahun Pajak berjalan membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang lalu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf e dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan pembetulan tersebut dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dan Pasal 115 serta berlaku mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
(2)
Dalam hal besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kekurangan pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25:
a.
wajib dibayar oleh Wajib Pajak; dan
b.
dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(3)
Dalam hal besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kelebihan pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat:
a.
dimintakan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
b.
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 119

(1)
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 kepada Direktur Jenderal Pajak melalui kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam hal terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf f dengan menunjukan bahwa setelah 3 (tiga) bulan atau lebih berjalannya suatu Tahun Pajak, Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk Tahun Pajak tersebut kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dengan persyaratan sebagai berikut:
a.
permohonan dimaksud disertai dengan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b.
Wajib Pajak telah menyampaikan:
1.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 2 (dua) Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak diajukannya permohonan; dan
2.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 3 (tiga) Masa Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
a.
Dokumen Elektronik; atau
b.
formulir kertas (hardcopy).
(3)
Penyampaian permohonan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui Portal Wajib Pajak.
(4)
Penyampaian permohonan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan:
a.
secara langsung; atau
b.
melalui pos atau Perusahaan Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(5)
Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4), diterbitkan bukti penerimaan.
(6)
Atas permohonan yang telah diterbitkan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian.
(7)
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
a.
keputusan persetujuan; atau
b.
pemberitahuan penolakan,
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah bukti penerimaan diterbitkan.
(8)
Dalam hal dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari Tahun Pajak yang bersangkutan.
(9)
Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan menerbitkan keputusan persetujuan atau pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(10)
Permohonan pengurangan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.
dibuat sesuai contoh format; dan
b.
diisi sesuai petunjuk pengisian,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(11)
Contoh format dokumen berupa:
a.
keputusan persetujuan pengurangan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a; dan
b.
pemberitahuan penolakan permohonan pengurangan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b,
tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 120

(1)
Apabila dalam Tahun Pajak berjalan terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf f yaitu Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk Tahun Pajak tersebut lebih dari 125% (seratus dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25, besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari Tahun Pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan Pajak Penghasilan yang terutang tersebut oleh Wajib Pajak sendiri atau Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk menghitung kembali besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 121

(1)
Atas Wajib Pajak yang tidak melakukan penghitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 sampai dengan Pasal 120, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan penetapan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
(2)
Contoh format keputusan penetapan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3)
Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk menerbitkan keputusan penetapan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Hal-hal Lain mengenai Faktur Pajak dan Surat Pemberitahuan

Pasal 122

(1)
e-Faktur yang telah diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan modul e-Faktur dan telah memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) merupakan Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2)
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak bergantung pada pelaporan Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dimaksud.
(4)
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(5)
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat.
(6)
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus merupakan Pajak Masukan yang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7)
Pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak melalui penyampaian atau pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 123

Pengusaha Kena Pajak yang diperkenankan melaporkan Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dengan cara digunggung dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan Pasal 73 huruf b, meliputi:
a.
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3), untuk Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1); dan
b.
Pengusaha Kena Pajak yang membuat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, untuk dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak,
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2).

Pasal 124

(1)
Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang memuat Pajak Keluaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam negeri pada Formulir A2-Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 2 untuk Masa Pajak yang sama dengan tanggal pembuatan Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(2)
Pengusaha Kena Pajak harus melaporkan Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang memuat:
a.
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat dikreditkan, tetapi tidak dilakukan pengkreditan oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
b.
Pajak Masukan yang mendapat fasilitas,
pada Formulir B3-Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 2.

Pasal 125

(1)
Perwakilan negara asing atau pejabat perwakilan negara asing atau badan internasional atau pejabat badan internasional mengajukan pembebasan dengan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan menyampaikan permohonan pengembalian yang disertai surat rekomendasi dan dilampiri bukti pendukung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pemberian pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada perwakilan negara asing dan badan internasional serta pejabatnya.
(2)
Bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diantaranya Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang mencantumkan identitas berupa:
a.
nama; dan
b.
nomor identitas perpajakan,
pihak yang berhak memperoleh pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3)
Dalam hal Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak:
a.
telah dicantumkan identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak berupa nama perwakilan negara asing, badan internasional, atau pejabatnya; dan
b.
terbit sejak tanggal 1 Oktober 2024 sampai dengan tanggal 30 Juni 2025,
nomor identitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap telah dicantumkan.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku sepanjang perwakilan negara asing atau pejabat perwakilan negara asing atau badan internasional atau pejabat badan internasional telah memiliki nomor identitas perpajakan pada saat permohonan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diajukan.

Pasal 126

(1)
Instansi Pemerintah yang melakukan perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Pengusaha yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi bagian dari nilai pengadaan barang dan/atau jasa oleh Instansi Pemerintah.
(2)
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor oleh Instansi Pemerintah ke kas negara menggunakan Surat Setoran Pajak dengan kode akun pajak 411211 dan kode jenis setoran 108.
(3)
Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sebagai Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf i.
(4)
Instansi Pemerintah yang melakukan perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Pengusaha yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan:
a.
Instansi Pemerintah yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak; dan
b.
Instansi Pemerintah yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak dianggap telah melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sepanjang telah melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 127

(1)
Wajib Pajak dianggap tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam hal Surat Pemberitahuan disampaikan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 128

(1)
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang disampaikan oleh Wajib Pajak dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak, dalam hal:
a.
nilai lebih bayar dalam Surat Pemberitahuan tersebut disebabkan karena perbedaan pembulatan penghitungan pajak dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
b.
nilai lebih bayar dalam Surat Pemberitahuan tersebut berasal dari Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemerintah; dan/atau
c.
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar tersebut disampaikan oleh pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, dan pejabat negara yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.
hanya menerima penghasilan yang dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
2.
kelebihan pembayaran pajak tersebut berasal dari penghitungan Pajak Penghasilan terutang menurut Wajib Pajak lebih kecil daripada Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang berdasarkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA2-Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya.
(2)
Atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Dalam hal Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat pemberitahuan Surat Pemberitahuan dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak.
(4)
Contoh format dokumen berupa surat pemberitahuan Surat Pemberitahuan dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 129

(1)
Jumlah dasar pengenaan pajak dan Pajak Penghasilan yang tercantum dalam:
a.
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26;
b.
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi;
c.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2; dan
diisi dengan pembulatan ke dalam rupiah penuh.
(2)
Jumlah dasar pengenaan pajak, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tercantum dalam:
a.
Faktur Pajak;
b.
Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak; dan
c.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b,
diisi dengan pembulatan ke dalam rupiah penuh.
(3)
Pembulatan ke dalam rupiah penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
kurang dari 0,50 (nol koma lima nol), maka bilangan tersebut dibulatkan ke bawah; atau
b.
sama dengan atau lebih dari 0,50 (nol koma lima nol), maka bilangan tersebut dibulatkan ke atas.
(4)
Jumlah penghasilan kena pajak dan Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang dolar Amerika Serikat diisi dalam satuan mata uang dolar Amerika Serikat dengan pembulatan hingga 2 (dua) digit nilai desimal.
(5)
Pembulatan hingga 2 (dua) digit nilai desimal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
kurang dari 0,005 (nol koma nol nol lima), maka bilangan tersebut dibulatkan ke bawah; atau
b.
sama dengan atau lebih dari 0,005 (nol koma nol nol lima), maka bilangan tersebut dibulatkan ke atas.
(6)
Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan nilai yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut pihak lain atau dibayar atau disetor sendiri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 130

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a.
pembuatan, pembetulan, dan/atau pembatalan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 serta penyampaian dan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 atas Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Desember 2024, oleh Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26:
1.
Instansi Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak, serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2024 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak, serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah; dan
2.
selain Instansi Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26; dan
b.
atas kelebihan penyetoran pajak yang terutang oleh pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang masih dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya:
1.
untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Masa Pajak Desember 2024 dan sebelumnya, maka atas kelebihan penyetoran tersebut dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya;
2.
untuk pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebelum Masa Pajak Desember 2024, maka atas kelebihan penyetoran tersebut dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya tanpa harus berurutan sampai dengan Masa Pajak Desember 2024; dan
3.
untuk pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Masa Pajak Desember 2024, maka atas kelebihan penyetoran tersebut dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya tanpa harus berurutan.

Pasal 131

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, pembuatan, pembetulan, dan/atau pembatalan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 atas pensiunan pegawai negeri sipil atau anggota Tentara Nasional Indonesia atau anggota Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat negara yang dilakukan oleh selain Instansi Pemerintah untuk Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g Tahun Pajak 2024 mengikuti tata cara sebagaimana diatur dalam Lampiran huruf A Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 132

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a.
pembuatan, pembetulan, dan/atau pembatalan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi serta penyampaian dan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi atas Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Desember 2024, oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi:
1.
Instansi Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak, serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Bagi Instansi Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan PER-5/PJ/2024 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak, serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Bagi Instansi Pemerintah; dan
2.
selain Instansi Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
b.
kewajiban pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk Masa Pajak Desember 2024 dan sebelumnya dianggap telah dilaksanakan sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sepanjang Wajib Pajak telah melakukan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sejak tanggal 1 Januari 2025 dan telah mendapat validasi pembayaran pajak atas:
1.
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya; dan
2.
penghasilan dari pengalihan real estat dalam skema kontrak investasi kolektif tertentu.

Pasal 133

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a.
pembuatan, pembetulan atau penggantian, dan pembatalan Faktur Pajak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2024 oleh:
1.
Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak Toko Retail dilaksanakan menggunakan aplikasi e-Faktur berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak; dan
2.
Pengusaha Kena Pajak Toko Retail dilaksanakan menggunakan aplikasi VAT Refund for Tourists berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Toko Retail yang Berpartisipasi dalam Skema Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai kepada Turis Asing;
b.
pembetulan atau penggantian, dan pembatalan Faktur Pajak yang dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2025 atas Faktur Pajak yang dibuat sampai dengan tanggal 31 Desember 2024, dilaksanakan menggunakan aplikasi e-Faktur berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak;
c.
pembetulan atau penggantian, dan pembatalan Faktur Pajak yang dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2025 atas Faktur Pajak yang dibuat sampai dengan tanggal 31 Desember 2024 oleh Pengusaha Kena Pajak Toko Retail atas penyerahan barang bawaan yang Pajak Pertambahan Nilai atas pembeliannya akan diminta kembali oleh Turis Asing, dilaksanakan menggunakan aplikasi VAT Refund for Tourists berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Toko Retail yang Berpartisipasi dalam Skema Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai kepada Turis Asing;
d.
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, yang dibuat menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), bukan merupakan Faktur Pajak;
e.
dalam hal pembetulan atau penggantian Faktur Pajak dilakukan:
1.
sejak tanggal 1 Januari 2025 atas Faktur Pajak yang dibuat sampai dengan tanggal 31 Desember 2024; dan
2.
atas Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 telah dibuatkan nota retur dan/atau nota pembatalan sejak tanggal 1 Januari 2025,
pembetulan atau penggantian Faktur Pajak dilakukan tanpa memperhitungkan nota retur dan/atau nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada angka 2; dan
f.
contoh mengenai pembetulan atau penggantian, dan pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf e tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 134

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, bagi Pengusaha Kena Pajak tertentu yang menggunakan aplikasi e-Faktur sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2024 tentang Pembuatan Faktur Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Tertentu Sehubungan dengan Penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
permintaan dan pemberian Nomor Seri Faktur Pajak dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak, kecuali ketentuan dalam Pasal 15 ayat (4) huruf c Peraturan Direktur Jenderal Pajak dimaksud;
b.
Faktur Pajak yang dibuat menggunakan aplikasi e-Faktur dimaksud wajib diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak menggunakan aplikasi e-Faktur dimaksud dan memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak, paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-Faktur;
c.
Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) atas Faktur Pajak yang dibuat menggunakan aplikasi e-Faktur dimaksud, dibuat dengan menggunakan:
1.
modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3); atau
2.
aplikasi e-Faktur dimaksud;
d.
dalam hal Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud dalam huruf c dibuat setelah dibuat nota retur dan/atau nota pembatalan atas Faktur Pajak yang diganti, Faktur Pajak pengganti yang dibuat dengan menggunakan:
1.
modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1, memperhitungkan nota retur dan/atau nota pembatalan dimaksud; atau
2.
aplikasi e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 2, tanpa memperhitungkan nota retur dan/atau nota pembatalan dimaksud;
e.
dalam hal terhadap Faktur Pajak yang:
1.
Barang Kena Pajaknya dilakukan pengembalian (retur) dengan membuat nota retur; atau
2.
Jasa Kena Pajaknya dilakukan pembatalan dengan membuat nota pembatalan,
dilakukan pembetulan atau penggantian dengan membuat Faktur Pajak pengganti menggunakan:
1.
modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam huruf d angka 1, pengembalian (retur) Barang Kena Pajak dan/atau pembatalan Jasa Kena Pajak dimaksud dianggap tidak terjadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
2.
aplikasi e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam huruf d angka 2, pengembalian (retur) Barang Kena Pajak dan/atau pembatalan Jasa Kena Pajak dimaksud tetap terjadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
f.
pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) atas Faktur Pajak yang dibuat menggunakan aplikasi e-Faktur dimaksud dilakukan dengan menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3).

Pasal 135

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a.
dalam hal e-Faktur yang dibuat pada Masa Pajak Januari 2025, Februari 2025, dan Maret 2025 yang diunduh dalam bentuk portable document format dan/atau dicetak dalam bentuk kertas (hardcopy) tidak tercantum 1 (satu) atau lebih keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, e-Faktur dimaksud dianggap lengkap sepanjang keterangan dimaksud telah terdapat dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
b.
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang telah memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 136

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a.
Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang dibuat sejak tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan tanggal 3 Februari 2025 untuk penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, dan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang seharusnya menggunakan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025, tetapi menggunakan:
1.
dasar pengenaan pajak berupa nilai lain berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 dan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 12% (dua belas persen); atau
2.
dasar pengenaan pajak berupa nilai lain berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 dan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 11% (sebelas persen),
dianggap telah memenuhi persyaratan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dimaksud telah mencantumkan keterangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b.
Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang dibuat sejak tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan tanggal 3 Februari 2025 untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan penyerahan Jasa Kena Pajak yang seharusnya menggunakan besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025, tetapi menggunakan:
1.
besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 dan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 12% (dua belas persen); atau
2.
besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 dan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 11% (sebelas persen),
dianggap telah memenuhi persyaratan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dimaksud telah mencantumkan keterangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
c.
atas kelebihan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak karena penggunaan dasar pengenaan pajak dan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1 atau besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai dan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1.
pihak terpungut meminta pengembalian kelebihan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak penjual; dan
2.
berdasarkan permintaan pengembalian dari pihak terpungut sebagaimana dimaksud pada angka 1, Pengusaha Kena Pajak penjual melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pasal 137

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a.
penyampaian atau pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak Januari 2025 oleh Pengusaha Kena Pajak, Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pihak Lain yang dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2025, dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam:
1.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN);
2.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan;
3.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak, serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-143/PJ/2023 tentang Perubahan Kode Objek Pajak pada Surat Pemberitahuan Masa Unifikasi Instansi Pemerintah dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
4.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2022 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Instansi Pemerintah dan bagi Pihak Lain;
b.
kewajiban penyampaian atau pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak Januari 2025 oleh Pengusaha Kena Pajak dengan Nomor Pokok Wajib Pajak cabang yang tidak dipusatkan dilaksanakan dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak cabang dan diadministrasikan pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
c.
dalam hal terdapat kompensasi kelebihan pembayaran pajak yang berasal dari pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebelum Masa Pajak Januari 2025, kompensasi kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai kompensasi kelebihan Pajak Pertambahan Nilai pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pertama dengan status normal yang belum disampaikan setelah Masa Pajak yang dilakukan pembetulan.

Pasal 138

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a.
penyampaian dan/atau pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak sampai dengan Bagian Tahun Pajak yang berakhir pada Desember 2024 atau Tahun Pajak sampai dengan Tahun Pajak 2024, menggunakan bentuk formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya;
b.
penyampaian dan/atau pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak sampai dengan Bagian Tahun Pajak yang berakhir pada Desember 2024 atau Tahun Pajak sampai dengan Tahun Pajak 2024 bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang usaha hulu minyak dan/atau gas bumi, menggunakan bentuk formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2014 tentang Bentuk Dan Isi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan/atau Gas Bumi; dan
c.
penyampaian laporan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 untuk Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Desember 2024, menggunakan format laporan penerimaan negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Penghitungan Pajak Penghasilan untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan PMK-70/PMK.03/2015 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara Dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Penghitungan Pajak Penghasilan Untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.

Pasal 139

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak sampai dengan Tahun Pajak 2024, dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2009 tentang Tata Cara Penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Pasal 140

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku, tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan selain Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai untuk:
a.
Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Desember 2024;
b.
Bagian Tahun Pajak sampai dengan Bagian Tahun Pajak yang berakhir pada Desember 2024; dan/atau
c.
Tahun Pajak sampai dengan Tahun Pajak 2024, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan.

Pasal 141

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a.
Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai untuk Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Oktober 2024 yang belum disampaikan; dan/atau
b.
pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai untuk Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Oktober 2024,
dilaksanakan dengan menggunakan bentuk formulir dan isi Surat Pemberitahuan, serta sesuai dengan tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 142

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, permohonan pengurangan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah diterima lengkap namun belum diselesaikan sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, diproses berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun Pajak Berjalan dalam Hal-Hal Tertentu.

Pasal 143

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, bentuk dokumen perpajakan sehubungan dengan pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam rangka pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk:
a.
Masa Pajak Januari 2025 sampai dengan Masa Pajak mulai berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini;
b.
Bagian Tahun Pajak yang berakhir setelah Desember 2024; atau
c.
Tahun Pajak 2025,
yang dibuat dan/atau disampaikan melalui Portal Wajib Pajak atau laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan sebelum mulai berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, dianggap telah memenuhi ketentuan peraturan di bidang perpajakan.

Pasal 144

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, dokumen perpajakan yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sehubungan dengan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dan penghitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 121 yang diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan sebelum mulai berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, tetap sah dan berlaku.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 145

Ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 79 serta penyampaian, penerimaan, dan pengolahannya mulai berlaku pada Masa Pajak November 2024.

Pasal 146

a.
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
1.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2008 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi beserta Petunjuk Pengisiannya;
2.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2009 tentang Perubahan atas Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2008 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Beserta Petunjuk Pengisiannya;
3.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2009 tentang Tata Cara Penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan;
4.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Beserta Petunjuk Pengisiannya;
5.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya;
6.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-66/PJ/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi beserta Petunjuk Pengisiannya;
7.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya;
8.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan;
9.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan;
10.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya;
11.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2014 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan/atau Gas Bumi;
12.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya;
13.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN);
14.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya;
15.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya;
16.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan;
17.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2021 tentang Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak;
18.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak, serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah;
19.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi;
20.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2022 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Instansi Pemerintah dan bagi Pihak Lain;
21.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26;
22.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2024 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak, serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah;
23.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ/1994 tentang Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23;
24.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ/1996 tentang Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai Pemotong Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan; dan
25.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam Tahun Pajak Berjalan dalam Hal-Hal Tertentu,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
b.
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
1.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak; dan
2.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak,
tetap berlaku terbatas untuk pembuatan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2024 tentang Pembuatan Faktur Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Tertentu Sehubungan dengan Penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Pasal 147

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Mei 2025
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
SURYO UTOMO

 

 

Scroll to Top