UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1983

TENTANG
PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

a.
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b.
bahwa sistem perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku, tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam menunjang pembiayaan pembangunan;
c.
bahwa sistem perpajakan yang tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku belum sepenuhnya dapat menggerakkan peran serta semua lapisan subyek pajak dalam peningkatan penerimaan negara yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional;
d.
bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang harus berkembang dan meningkat, sesuai dengan perkembangan kemampuan riil rakyat dan laju pembangunan nasional;
e.
bahwa sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
f.
bahwa oleh karena itu sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya, pajak perseroan, pajak pendapatan, dan pajak atas bunga, dividen dan royalti yang berlaku dewasa ini pada khususnya perlu diperbaharui dan disesuaikan sehingga lebih memberikan kepastian hukum, sederhana, mudah pelaksanaannya, serta lebih adil dan merata;
g.
bahwa untuk dapat mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan;

Mengingat

1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;
3.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Dengan mencabut:
1.
Pasal 15 ke-4 dan ke-5 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) sebagaimana telah diubah, dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
2.
Pasal 9, Pasal 12 ke-4 dan ke-5, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);

Menetapkan

UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak.
BAB II
SUBYEK PAJAK

Pasal 2

(1)
Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
a.
1)
orang pribadi atau perseorangan
2)
warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;
b.
badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.
(2)
Subyek Pajak terdiri dari Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek Pajak luar negeri.
(3)
Yang dimaksud dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah:
a.
orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu dua belas bulan atau orang yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b.
badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c.
bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
(4)
Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah Subyek Pajak yang tidak bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(5)
Seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan di Indonesia ditentukan menurut keadaan sebenarnya.
(6)
Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan.

Pasal 3

Tidak termasuk Subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a.
pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia, dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b.
pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan;
c.
Perusahaan Jawatan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
BAB III
OBYEK PAJAK

Pasal 4

(1)
Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya:
a.
gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
b.
honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
c.
laba bruto usaha;
d.
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
e.
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
f.
bunga;
g.
dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
h.
royalti;
i.
sewa dari harta;
j.
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k.
keuntungan karena pembebasan hutang.
(2)
Pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan lainnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(3)
Tidak termasuk sebagai Obyek Pajak adalah:
a.
harta hibahan atau bantuan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak yang bersangkutan;
b.
warisan;
c.
pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;
d.
penggantian berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang dinikmati dalam bentuk natura, dengan ketentuan, bahwa yang memberikan penggantian adalah Pemerintah atau Wajib Pajak menurut Undang-Undang ini dan Wajib Pajak yang memberikan penggantian tersebut, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, tidak boleh mengurangkan penggantian itu sebagai biaya;
e.
keuntungan karena pengalihan harta orang pribadi, harta anggota firma, perseroan komanditer atau kongsi tersebut kepada perseroan terbatas di dalam negeri sebagai pengganti sahamnya, dengan syarat:
1)
pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama-sama memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor;
2)
pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak;
3)
pengenaan pajak dikemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin.
f.
harta yang diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
g.
dividen yang diterima oleh perseroan dalam negeri, selain bank atau lembaga keuangan lainnya, dari perseroan lain di Indonesia dengan syarat, bahwa perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen dan kedua badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya;
h.
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang disetujui Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun oleh karyawan, dan penghasilan dana pensiun serupa dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
i.
penghasilan yayasan dari usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum;
j.
penghasilan yayasan dari modal sepanjang penghasilan itu semata-mata digunakan untuk kepentingan umum;
k.
pembagian keuntungan dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan kepada para anggotanya, kecuali apabila ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan, karena terdapat penyalahgunaan.

Pasal 5

(1)
Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah:
a.
penghasilan dari kegiatan usaha bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya;
b.
penghasilan induk perusahaan dan badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa di Indonesia, yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(2)
Apabila induk perusahaan dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia berdasarkan Pasal 26, maka:
a.
penghasilan bentuk usaha tetap itu tidak boleh dikurangi dengan biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan induk perusahaan atau badan lain tersebut;
b.
pajak induk perusahaan atau badan lain itu tidak boleh dikreditkan dengan pajak bentuk usaha tetap.

Pasal 6

(1)
Besarnya Penghasilan Kena Pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi:
a.
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu, meliputi biaya pembelian bahan, upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali Pajak Penghasilan;
b.
penyusutan atas biaya untuk memperoleh harta berwujud perusahaan dan amortisasi atas biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
c.
iuran kepada dana pensiun yang mendapat persetujuan Menteri Keuangan;
d.
kerugian yang diderita karena penjualan atau pengalihan barang dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu;
e.
Sisa Hasil Usaha Koperasi sehubungan dengan kegiatan usahanya yang semata-mata dari dan untuk anggota.
(2)
Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3)
Jika penghasilan bruto sesudah dikurangi biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan dalam:
a.
5 (lima) tahun, atau;
b.
lebih dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 8 (delapan) tahun khusus untuk jenis-jenis usaha tertentu, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut diderita.

Pasal 7

(1)
Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak yang besarnya:
a.
Rp960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
b.
Rp480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c.
Rp960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
d.
Rp480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2)
Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
(3)
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 8

(1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak, begitu pula kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan istri dari pekerjaan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 dan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya.
(2)
Penghasilan anak belum dewasa yang bukan dari pekerjaan dan penghasilan dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan usaha anggota keluarga lainnya, digabung dengan penghasilan orang tuanya.

Pasal 9

(1)
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak tidak diperbolehkan dikurangkan:
a.
pembayaran dividen atau pembagian laba lainnya dari perseroan atau badan lainnya kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembagian Sisa Hasil Usaha dari koperasi yang bukan pengembalian Sisa Hasil Usaha sehubungan dengan jasa anggota, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu atau anggota;
b.
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah;
c.
premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, kecuali jika dibayarkan pihak pemberi kerja dan premi yang demikian itu dianggap sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak;
d.
pemberian kenikmatan perjalanan cuti, kenikmatan rekreasi, dan kenikmatan lainnya yang diperuntukkan bagi keperluan pegawai dari Wajib Pajak, termasuk kenikmatan pemakaian kendaraan bermotor perusahaan dan kenikmatan perumahan, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
e.
pembayaran yang melebihi kewajaran sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan, yang dibayarkan kepada pemegang saham, atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
f.
harta yang dihibahkan, bantuan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;
g.
Pajak Penghasilan;
h.
biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya;
i.
sumbangan.
(2)
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari setahun tidak diperbolehkan dikurangkan sekaligus, melainkan dibebankan melalui amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10).

Pasal 10

(1)
Dalam melakukan penyusutan dan amortisasi terhadap harta dan penghitungan keuntungan atau kerugian dalam hal penjualan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka harga perolehannya adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan, sedangkan dalam hal pengalihan harta nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan, kecuali:
a.
dalam hal pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e, dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya yang diterima oleh pihak yang melakukan pengalihan tersebut adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan;
b.
dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, dasar penilaian harta bagi yang menerima pengalihan adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan;
c.
dalam hal penyerahan harta hibahan, pemberian bantuan yang bebas pajak, dan warisan, dasar penilaian yang dipergunakan oleh yang menerima penyerahan adalah sama dengan dasar penilaian bagi yang melakukan penyerahan.
(2)
Harta yang telah dipergunakan oleh Wajib Pajak untuk menerima atau memperoleh penghasilan, harga perolehan atau nilai perolehannya disesuaikan dengan penyusutan dan/atau amortisasi, tambahan, perbaikan atau tambahan yang dilakukan.
(3)
Penilaian persediaan hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan, yang didasarkan atas pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok yang dilakukan secara rata-rata ataupun yang dilakukan dengan mendahulukan persediaan yang didapat pertama.

Pasal 11

(1)
Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dengan suatu masa manfaat yang lebih dari satu tahun, kecuali tanah. Keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta yang dapat disusutkan harus dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) huruf b.
(2)
Penyusutan yang dapat dilakukan dalam suatu tahun pajak adalah jumlah penyusutan dari setiap golongan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan penyusutan untuk setiap golongan harta ditetapkan dengan mengalihkan dasar penyusutan golongan itu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dengan tarif penyusutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).
(3)
Untuk menghitung penyusutan, harta yang dapat disusutkan dibagi menjadi golongan-golongan harta sebagai berikut:
a.
Golongan 1:
harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 4 (empat) tahun;
b.
Golongan 2:
harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 4 (empat) tahun dan tidak lebih dari 8 (delapan) tahun;
c.
Golongan 3:
harta yang dapat disusutkan dan yang tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 8 (delapan) tahun;
d.
Golongan Bangunan:
bangunan dan harta tak gerak lainnya, termasuk tambahan, perbaikan atau perubahan yang dilakukan.
(4)
Dasar penyusutan setiap golongan harta untuk suatu tahun pajak sama dengan jumlah awal pada tahun pajak untuk golongan harta itu ditambah dengan tambahan, perbaikan atau perubahan dan dikurangkan dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
(5)
Jumlah awal dari masing-masing Golongan 1, Golongan 2, dan Golongan 3 untuk suatu tahun pajak adalah sama dengan dasar penyusutan pada tahun pajak sebelumnya, dikurangi dengan penyusutan yang diperkenankan pada tahun pajak sebelumnya.
(6)
Jumlah awal dari Golongan Bangunan untuk suatu tahun pajak adalah sama dengan dasar penyusutan pada tahun pajak sebelumnya, yaitu sebesar harga atau nilai perolehan.
(7)
Apabila terjadi penarikan harta dari pemakaian:
a.
karena sebab luar biasa sebagai akibat bencana atau karena penghentian sebagian besar usaha, maka suatu jumlah sebesar harga sisa buku dikurangi dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan, dan jumlah sebesar harga sisa buku itu merupakan kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan, sedangkan hasil penjualan atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan;
b.
karena sebab biasa, yaitu lain dari yang tersebut pada huruf a, maka penerimaan netto dari harta yang bersangkutan dikurangkan dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan.
(8)
Jika pengurangan yang dimaksud dalam ayat (7) dalam suatu tahun pajak menghasilkan dasar penyusutan di bawah nol, maka dasar penyusutan itu harus dinaikkan menjadi nol, dan jumlah yang sama dengan kenaikan itu harus ditambahkan pada penghasilan pada tahun pajak yang bersangkutan.
(9)
Tarif penyusutan tiap tahun pajak untuk:
a.
Golongan 1: 50% (lima puluh persen);
b.
Golongan 2: 25% (dua puluh lima persen);
c.
Golongan 3: 10% (sepuluh persen);
d.
Golongan Bangunan: 5% (lima persen).
(10)
Harga perolehan dari harta tak berwujud yang dipergunakan dalam perusahaan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, seperti penyewaan harta berwujud, diamortisasi dengan tarif berdasarkan masa manfaatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) huruf a atau huruf b atau huruf c, atau dengan tingkat tarif Golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam ayat (11), atau dengan mempergunakan metode satuan produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (12) atau ayat (13).
(11)
Biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan diamortisasi dengan tingkat tarif penyusutan Golongan 1, kecuali apabila Wajib Pajak menganggapnya sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a sesuai dengan pembukuannya.
(12)
Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, dan hak pengusahaan hutan, diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi, setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
(13)
Biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya-biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi.
(14)
Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan untuk menentukan jenis-jenis harta yang termasuk dalam masing-masing golongan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan memperhatikan masa manfaat dari jenis harta yang bersangkutan.

Pasal 12

(1)
Tahun Pajak adalah tahun takwim, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
(2)
Wajib Pajak tidak diperbolehkan mengubah tahun pajak tanpa mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 13

(1)
Wajib Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia, sehingga dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
(2)
Pada setiap tahun pajak berakhir, Wajib Pajak menutup pembukuannya dengan membuat neraca dan perhitungan rugi-laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya.

Pasal 14

(1)
Norma Penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan peredaran atau penerimaan bruto dan untuk menentukan penghasilan netto berdasarkan jenis usaha perusahaan atau jenis pekerjaan bebas, yang dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2)
Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya yang berjumlah kurang dari Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dapat menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, asal hal itu diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3)
Jumlah Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, dan karenanya tidak diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan Norma Penghitungan tanpa kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
(5)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran atau penerimaan brutonya.
(6)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau menyelenggarakan pencatatan peredaran atau menyelenggarakan pencatatan penerimaan bruto tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakannya sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang ini, atau tidak memperlihatkan buku dan catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan kewajiban penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan tersebut, penghasilan nettonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan.
(7)
Pajak yang dihasilkan dari penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 15

Menteri Keuangan dapat mengeluarkan Keputusan untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan Pasal 16.
BAB IV
CARA MENGHITUNG PAJAK

Pasal 16

(1)
Penghasilan Kena Pajak, sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak, dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d.
(2)
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(3)
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri adalah jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh.

Pasal 17

(1)
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak, kecuali atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, adalah sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak
Tarif pajak
Sampai dengan Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
Di atas Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
sampai dengan Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
25%
(dua puluh lima persen)
Di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
35%
(tiga puluh lima persen)
(2)
Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(3)
Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
(4)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan yang kewajiban pajak subyektifnya sebagai Subyek Pajak dalam negeri dimulai setelah permulaan tahun pajak atau berakhir dalam tahun pajak, maka pajak yang terhutang adalah sebanyak jumlah hari dari bagian tahun pajak dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terhutang untuk satu tahun pajak yang dihasilkan karena penerapan ayat (1) dan ayat (2). Penghasilan netto yang diperoleh selama bagian dari tahun pajak dihitung terlebih dahulu menjadi jumlah setahun.
(5)
Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 18

(1)
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara hutang dan modal perusahaan untuk keperluan pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
(2)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan, dan menentukan hutang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya.
(3)
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (1) huruf e dan ayat (2) Pasal ini:
a.
dalam hal Wajib Pajak adalah badan:
1)
hubungan antara dua atau lebih Wajib Pajak yang berada di bawah pemilikan atau penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung;
2)
hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada pihak yang lain, atau hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut terakhir;
b.
dalam hal Wajib Pajak adalah orang pribadi atau perseorangan:
keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat atau keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat.
(4)
Dua pihak atau lebih yang masing-masing merupakan perseroan, persekutuan, atau perkumpulan lainnya yang mempunyai hubungan istimewa dengan penyertaan 50% (lima puluh persen) atau lebih, pengenaan pajaknya yang dihitung dengan menggunakan lapisan tarif terendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, hanya diterapkan satu kali saja.

Pasal 19

Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan faktor penyesuaian dalam hal terjadi ketidakserasian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan yang disebabkan karena perkembangan harga.
BAB V
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN

Pasal 20

(1)
Pajak yang diperkirakan akan terhutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2)
Pelunasan pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri tersebut, merupakan angsuran pajak yang akan dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang untuk seluruh tahun pajak yang bersangkutan.
(3)
Masa pajak dipergunakan sebagai jangka waktu untuk menentukan besarnya Obyek Pajak dan besarnya pajak yang terhutang, yang harus dilunasi sebagai angsuran dalam tahun berjalan.
(4)
Masa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah 1 (satu) bulan atau selama jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 21

(1)
Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh:
a.
pemberi kerja yang membayar gaji, upah, dan honorarium dengan nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia;
b.
bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan tetap, dan pembayaran lain, dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang dibebankan kepada Keuangan Negara;
c.
badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun;
d.
perusahaan dan badan-badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa yang dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli dan/atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas.
(2)
Bagian penghasilan yang dipotong pajak untuk setiap masa pajak adalah bagian penghasilan yang melebihi seperdua belas dari Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3)
Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapat pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, ia harus menyerahkan surat pernyataan kepada pemberi kerja, bendaharawan Pemerintah atau badan dana pensiun, yang menyatakan jumlah tanggungan keluarganya.
(4)
Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan digunakan oleh pemberi kerja, bendaharawan Pemerintah atau badan dana pensiun, untuk menetapkan besarnya Penghasilan Kena Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan memasukkan surat pernyataan baru tentang adanya perubahan.
(5)
Tarif pemotongan pajak atas gaji, upah, dan honorarium adalah sama dengan tarif Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(6)
Jumlah pajak yang dipotong atas bagian upah setiap masa pajak akan dimuat dalam Buku Petunjuk yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).
(7)
Setiap orang yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang secara benar dan tepat telah dipotong pajaknya, jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (5) merupakan pelunasan pajak yang terhutang untuk tahun yang bersangkutan berdasarkan Undang-Undang ini.
(8)
Setiap orang yang mempunyai penghasilan lain di luar penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan setiap orang yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja diharuskan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pajak yang terhutang seluruhnya dikurangi dengan pajak yang telah dipotong sebagai kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(9)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Buku Petunjuk tentang pemotongan pajak atas pembayaran gaji, upah, honorarium, dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa lain yang diberikan.

Pasal 22

(1)
Menteri Keuangan dapat menetapkan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran untuk barang dan jasa dari Belanja Negara.
(2)
Dasar pemungutan dan besarnya pungutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan, bahwa jumlah pungutan itu diperkirakan mendekati jumlah pajak yang terhutang atas penghasilan dari kegiatan usaha yang bersangkutan.

Pasal 23

(1)
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terhutang oleh Badan Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri, selain bank atau lembaga keuangan lainnya, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto, oleh pihak yang wajib membayarkan:
a.
dividen dari perseroan dalam negeri;
b.
bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;
c.
sewa, royalti, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.
imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik dan jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia.
(2)
Orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Bunga dan dividen tertentu yang tidak melampaui suatu jumlah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, dikecualikan dari pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 24

(1)
Pajak yang dikenakan dalam suatu tahun pajak yang dihitung menurut ketentuan Undang-Undang ini dikreditkan dengan pajak yang dibayar atau terhutang di luar negeri oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang sama atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri.
(2)
Kredit yang diperbolehkan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri itu untuk tahun pajak yang bersangkutan, terbatas pada jumlah pajak yang dihitung atas penghasilan luar negeri, berdasarkan Undang-Undang ini.
(3)
Dalam menghitung batas jumlah pajak yang dapat dikreditkan, penghasilan-penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 26 dianggap berasal dari Indonesia, dan dalam menentukan sumber penghasilan lainnya dipergunakan prinsip yang sama.
(4)
Jika Pajak Penghasilan luar negeri yang diminta untuk dikreditkan itu ternyata dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terhutang menurut Undang-Undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.

Pasal 25

(1)
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap masa pajak, adalah sebesar pajak yang terhutang pada tahun pajak yang lalu dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan pajak serta pajak yang dibayar atau terhutang di luar negeri sebagaimana dimaksud masing-masing dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dibagi dengan banyaknya masa pajak.
(2)
Yang dimaksud dengan pajak yang terhutang dalam ayat (1) adalah pajak menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir, kecuali apabila pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih besar.
(3)
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tertentu untuk setiap masa pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terhutang oleh badan Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun atau oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri, dipotong pajak yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a.
dividen dari perseroan dalam negeri;
b.
bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;
c.
sewa, royalti, dan penghasilan lain karena penggunaan harta;
d.
imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya yang dilakukan di Indonesia;
e.
keuntungan sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pasal 27

Pengaturan lebih lanjut pemenuhan kewajiban pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KREDIT PAJAK, PELUNASAN KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN, DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 28

Bagi Wajib Pajak dalam negeri, pajak yang terhutang untuk seluruh tahun pajak menurut Undang-Undang ini, dikurangi dengan kredit pajak berupa:
a.
pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b.
pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c.
pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, royalti, sewa, dan imbalan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d.
pajak yang dibayar atau terhutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e.
pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

Pasal 29

Apabila pajak yang terhutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, maka kekurangan pajak yang terhutang harus dilunasi selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak yang bersangkutan berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.

Pasal 30

(1)
Wajib Pajak dalam negeri diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan yang dilampiri dengan Laporan Keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi-laba, sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)
Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terhutang, jumlah pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
(3)
Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang pribadi atau perseorangan:
a.
yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan dari suatu pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b.
yang memperoleh penghasilan netto yang tidak melebihi jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(4)
Jumlah pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terhutang menurut Undang-Undang ini.
(5)
Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti, bahwa jumlah pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan itu tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terhutang yang semestinya.

Pasal 31

(1)
Apabila pajak yang terhutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil daripada jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan atau diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya.
(2)
Sebelum dilakukan pengembalian atau diperhitungkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan, buku, dan catatan lainnya, serta atas hal lain yang dianggapnya perlu untuk menetapkan besarnya pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 32

Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kecuali apabila tata cara pengenaan pajak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 33

(1)
Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 30 Juni 1984 serta yang berakhir antara tanggal 30 Juni 1984 dan tanggal 31 Desember 1984 dapat memilih cara menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, atau berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2)
Fasilitas perpajakan yang telah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yang:
a.
jangka waktunya terbatas, dapat dinikmati oleh Wajib Pajak yang bersangkutan sampai selesai;
b.
jangka waktunya tidak ditentukan, dapat dinikmati sampai dengan tahun pajak sebelum tahun pajak 1984.
(3)
Penghasilan Kena Pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-Undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.

Pasal 34

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, peraturan pelaksanaan di bidang pengenaan Pajak Perseroan 1925, Pajak Pendapatan 1944 dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36

(1)
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984;
(2)
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 50