PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
|||||||
Menimbang |
|||||||
a.
|
bahwa untuk memberikan kemudahan, mendorong kepatuhan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan, serta meningkatkan pelayanan kepada instansi pemerintah, perlu melakukan penyesuaian tata cara pendaftaran dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta pengukuhan dan pencabutan Pengusaha Kena Pajak bagi instansi pemerintah;
|
||||||
b.
|
bahwa untuk memberikan kepastian hukum, simplifikasi regulasi, dan optimalisasi penerimaan pajak dari belanja dan pendapatan instansi pemerintah, perlu mengatur tata cara pemotongan dan/atau pemungutan pajak, serta pelaporan Surat Pemberitahuan bagi instansi pemerintah;
|
||||||
c.
|
bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 3 ayat (3c), dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, Pasal 21 ayat (8) dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Pasal 16A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
|
||||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah;
|
||||||
Mengingat |
|||||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
|
||||||
MEMUTUSKAN:
|
|||||||
Menetapkan |
|||||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SERTA PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK BAGI INSTANSI PEMERINTAH.
|
|||||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||||
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
|
|||||||
1.
|
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
|
||||||
2.
|
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
||||||
3.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
|
||||||
4.
|
Pengusaha Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat PKP, adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
|
||||||
5.
|
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau penyelenggara sertifikasi elektronik.
|
||||||
6.
|
Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
|
||||||
7.
|
Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
|
||||||
8.
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disingkat PPnBM, adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
|
||||||
9.
|
Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
|
||||||
10.
|
Instansi Pemerintah Pusat adalah satuan kerja pada kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga non struktural, termasuk Badan Layanan Umum, selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
|
||||||
11.
|
Instansi Pemerintah Daerah adalah satuan kerja perangkat daerah provinsi dan satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota, termasuk Badan Layanan Umum Daerah, selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
|
||||||
12.
|
Instansi Pemerintah Desa adalah unit organisasi penyelenggara pemerintahan desa selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
|
||||||
13.
|
Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
|
||||||
14.
|
Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan yang selanjutnya disingkat KP2KP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala KPP Pratama.
|
||||||
15.
|
Bukti Penerimaan Negara, yang selanjutnya disingkat BPN, adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara dan Nomor Transaksi Bank/Nomor Transaksi Pos sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
|
||||||
16.
|
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah, yang selanjutnya disebut PKP Rekanan Pemerintah, adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Instansi Pemerintah.
|
||||||
17.
|
Pengusaha Kena Pajak Instansi Pemerintah, yang selanjutnya disebut PKP Instansi Pemerintah, adalah Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
|
||||||
18.
|
Badan Layanan Umum/Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLU/BLUD adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, dengan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menetapkan praktek-praktek bisnis yang sehat.
|
||||||
BAB II
TATA CARA PENDAFTARAN UNTUK MEMPEROLEH NPWP DAN PENGHAPUSAN NPWP SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PKP
Pasal 2 |
|||||||
(1)
|
Setiap Instansi Pemerintah wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Instansi Pemerintah menurut keadaan yang sebenarnya.
|
||||||
(2)
|
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
|
||||||
a.
|
kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
|
||||||
b.
|
kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
|
||||||
c.
|
kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa.
|
||||||
(3)
|
Terhadap Instansi Pemerintah yang telah mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan NPWP di tempat kedudukan dan tidak terdapat NPWP cabang bagi Instansi Pemerintah.
|
||||||
(4)
|
NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, pejabat penandatangan surat perintah membayar, bendahara pengeluaran, bendahara penerimaan, dan/atau kepala urusan keuangan pemerintah desa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Instansi Pemerintah sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak.
|
||||||
(5)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan NPWP secara jabatan terhadap Instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
||||||
Pasal 3 |
|||||||
(1)
|
Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kecuali pengusaha kecil sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai batasan pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
|
||||||
(2)
|
Instansi Pemerintah yang belum melewati batasan pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai batasan pengusaha kecil, dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
|
||||||
(3)
|
Pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Instansi Pemerintah dengan menyampaikan permohonan kepada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha Instansi Pemerintah.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berada di wilayah kerja KPP yang sama, maka Instansi Pemerintah wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Instansi Pemerintah.
|
||||||
(5)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan Instansi Pemerintah sebagai PKP secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, apabila Instansi Pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||||
Pasal 4 |
|||||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan Sertifikat Elektronik kepada Instansi Pemerintah yang berfungsi sebagai otentifikasi pengguna layanan perpajakan secara elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan mengenai Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
||||||
Pasal 5 |
|||||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat:
|
||||||
a.
|
melakukan perubahan data;
|
||||||
b.
|
melakukan pemindahan tempat Instansi Pemerintah terdaftar; dan
|
||||||
c.
|
menetapkan Instansi Pemerintah sebagai Wajib Pajak Non-Efektif.
|
||||||
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak melakukan perubahan data Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dalam hal:
|
||||||
a.
|
data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya; dan
|
||||||
b.
|
perubahan data dimaksud tidak mengakibatkan pemindahan tempat Instansi Pemerintah terdaftar.
|
||||||
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak melakukan pemindahan tempat Instansi Pemerintah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dalam hal tempat kedudukan Instansi Pemerintah menurut keadaan sebenarnya pindah ke wilayah kerja KPP lain.
|
||||||
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak menetapkan Instansi Pemerintah sebagai Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dalam hal Instansi Pemerintah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak namun belum dilakukan penghapusan NPWP.
|
||||||
Pasal 6 |
|||||||
(1)
|
Kepala KPP atas permohonan Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP terhadap Instansi Pemerintah yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
(2)
|
Berdasarkan pertimbangan kemudahan administratif, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP terhadap Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
(3)
|
Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap Instansi Pemerintah yang di likuidasi karena mengalami kondisi sebagai berikut:
|
||||||
a.
|
tidak lagi beroperasi sebagai Instansi Pemerintah;
|
||||||
b.
|
pembubaran Instansi Pemerintah yang disebabkan karena penggabungan Instansi Pemerintah;
|
||||||
c.
|
tidak mendapat alokasi anggaran pada tahun anggaran berikutnya; atau
|
||||||
d.
|
tidak lagi beroperasi yang diakibatkan oleh sebab lain.
|
||||||
(4)
|
Pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap Instansi Pemerintah yang tidak lagi memenuhi kriteria sebagai PKP.
|
||||||
(5)
|
Penghapusan NPWP bagi PKP Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diikuti dengan pencabutan pengukuhan PKP.
|
||||||
(6)
|
Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh penanggung jawab proses likuidasi Instansi Pemerintah dan dilampiri dengan laporan keuangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan likuidasi entitas akuntansi dan akuntansi pelaporan pada kementerian negara/lembaga.
|
||||||
Pasal 7 |
|||||||
Pedoman teknis mengenai:
|
|||||||
1.
|
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
|
||||||
2.
|
pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
|
||||||
3.
|
perubahan data Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a;
|
||||||
4.
|
pemindahan tempat Instansi Pemerintah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b;
|
||||||
5.
|
penetapan Instansi Pemerintah sebagai Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c;
|
||||||
6.
|
penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); dan
|
||||||
7.
|
pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1),
|
||||||
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
BAB III
TATA CARA PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK ATAS BELANJA DAN PENDAPATAN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh yang Terutang atas Belanja Pemerintah
Pasal 8 |
|||||||
(1)
|
Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut PPh yang terutang sehubungan dengan belanja pemerintah.
|
||||||
(2)
|
Instansi Pemerintah wajib memotong atau memungut, menyetor, dan melaporkan PPh yang terutang atas setiap pembayaran yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan PPh.
|
||||||
(3)
|
PPh yang wajib dipotong dan/atau dipungut oleh Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
|
||||||
a.
|
PPh Pasal 4 ayat (2);
|
||||||
b.
|
PPh Pasal 15;
|
||||||
c.
|
PPh Pasal 21;
|
||||||
d.
|
PPh Pasal 22;
|
||||||
e.
|
PPh Pasal 23; dan
|
||||||
f.
|
PPh Pasal 26.
|
||||||
(4)
|
Pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
Pasal 9 |
|||||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain atas:
|
||||||
a.
|
persewaan tanah dan/atau bangunan;
|
||||||
b.
|
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
|
||||||
c.
|
usaha jasa konstruksi;
|
||||||
d.
|
hadiah undian; serta
|
||||||
e.
|
pembelian barang atau penggunaan jasa dari Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
|
||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yaitu Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
|
||||||
(3)
|
Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
||||||
a.
|
pembayaran atau pengakuan utang persewaan tanah dan/atau bangunan kepada penyedia jasa pelayanan penginapan beserta akomodasinya;
|
||||||
b.
|
sebagian atau seluruh pembayaran pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan antara lain kepada:
|
||||||
1.
|
orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
|
||||||
2.
|
orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau
|
||||||
3.
|
orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.
|
||||||
(4)
|
Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||
Pasal 10 |
|||||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 15 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b, yaitu pemotongan PPh kepada Wajib Pajak tertentu atas:
|
||||||
a.
|
imbalan jasa pelayaran dalam negeri;
|
||||||
b.
|
imbalan jasa penerbangan dalam negeri; atau
|
||||||
c.
|
imbalan jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri;
|
||||||
(2)
|
Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||
Pasal 11 |
|||||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, yaitu pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
|
||||||
(2)
|
Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
||||||
a.
|
pembayaran kepada Wajib Pajak yang memiliki dan menyerahkan fotokopi surat keterangan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang telah dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) berdasarkan Peraturan Pemerintah dimaksud; atau
|
||||||
b.
|
pembayaran penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak yang dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain, yang telah dilegalisasi oleh KPP yang menerbitkan Surat Keterangan Bebas dimaksud.
|
||||||
(3)
|
Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||
Pasal 12 |
|||||||
(1)
|
Pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d, yaitu pemungutan PPh sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang.
|
||||||
(2)
|
Instansi Pemerintah tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
||||||
a.
|
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
|
||||||
b.
|
pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja Instansi Pemerintah Pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pembayaran dan penggunaan kartu kredit pemerintah;
|
||||||
c.
|
pembayaran untuk:
|
||||||
1.
|
pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos; atau
|
||||||
2.
|
pemakaian air dan listrik;
|
||||||
d.
|
pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS);
|
||||||
e.
|
pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras;
|
||||||
f.
|
pembayaran kepada Wajib Pajak yang memiliki dan menyerahkan fotokopi surat keterangan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang telah dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) berdasarkan Peraturan Pemerintah dimaksud; atau
|
||||||
g.
|
pembayaran untuk pembelian barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak yang dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain, yang telah dilegalisasi oleh KPP yang menerbitkan Surat Keterangan Bebas dimaksud.
|
||||||
(3)
|
Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||
Pasal 13 |
|||||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e, yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap berupa:
|
||||||
a.
|
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
|
||||||
b.
|
royalti;
|
||||||
c.
|
hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21;
|
||||||
d.
|
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2);
|
||||||
e.
|
imbalan sehubungan dengan jasa yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
|
||||||
(2)
|
Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
||||||
a.
|
penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank;
|
||||||
b.
|
sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
|
||||||
c.
|
penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
|
||||||
d.
|
imbalan sehubungan dengan jasa yang telah dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
|
||||||
e.
|
imbalan sehubungan dengan Jasa pengangkutan/ekspedisi yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang PPh;
|
||||||
f.
|
imbalan sehubungan dengan jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh; dan/atau
|
||||||
g.
|
penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak yang dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain, yang telah dilegalisasi oleh KPP yang menerbitkan Surat Keterangan Bebas dimaksud.
|
||||||
(3)
|
Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||
Pasal 14 |
|||||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap berupa:
|
||||||
a.
|
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
|
||||||
b.
|
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
|
||||||
c.
|
imbalan sehubungan dengan Jasa, pekerjaan, dan kegiatan; dan/atau
|
||||||
d.
|
hadiah dan penghargaan.
|
||||||
(2)
|
Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||
Pasal 15 |
|||||||
(1)
|
Dalam melakukan pemotongan atau pemungutan PPh, Instansi Pemerintah harus membuat bukti pemotongan atau pemungutan PPh.
|
||||||
(2)
|
Instansi Pemerintah harus menyerahkan bukti pemotongan atau pemungutan PPh kepada pihak yang dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh.
|
||||||
(3)
|
Instansi Pemerintah wajib mengisi bukti pemotongan atau pemungutan PPh dengan jelas, lengkap, dan benar.
|
||||||
(4)
|
Bukti pemotongan atau pemungutan dapat berupa:
|
||||||
a.
|
BPN;
|
||||||
b.
|
Bukti pemotongan atau pemungutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
|
||||||
c.
|
Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan bukti pemotongan atau pemungutan PPh.
|
||||||
Bagian Kedua
Pemungutan PPN atau PPN dan PPnBM yang Terutang atas Belanja Pemerintah
Pasal 16 |
|||||||
(1)
|
Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi Pemerintah.
|
||||||
(2)
|
Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||||
(3)
|
Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemungutan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka VIII Huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||
Pasal 17 |
|||||||
(1)
|
Jumlah PPN yang wajib dipungut oleh Instansi Pemerintah sebesar tarif PPN dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak selain terutang PPN juga terutang PPnBM, maka jumlah PPnBM yang wajib dipungut oleh Instansi Pemerintah adalah sebesar tarif PPnBM yang berlaku dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN.
|
||||||
Pasal 18 |
|||||||
(1)
|
PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh Instansi Pemerintah, dalam hal:
|
||||||
a.
|
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
|
||||||
b.
|
pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja Instansi Pemerintah Pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pembayaran dan penggunaan kartu kredit pemerintah;
|
||||||
c.
|
pembayaran untuk pengadaan tanah;
|
||||||
d.
|
pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);
|
||||||
e.
|
pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
|
||||||
f.
|
pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
|
||||||
g.
|
pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN.
|
||||||
(2)
|
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh PKP Rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
Pasal 19 |
|||||||
(1)
|
PKP Rekanan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) wajib membuat Faktur Pajak pada saat menyampaikan tagihan kepada Instansi Pemerintah berdasarkan dokumen penagihan, untuk sebagian maupun seluruh pembayaran.
|
||||||
(2)
|
Faktur Pajak dibuat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
Bagian Ketiga
Pemungutan PPN atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Sehubungan dengan Pendapatan Pemerintah
Pasal 20 |
|||||||
(1)
|
PKP Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.
|
||||||
(2)
|
PPN yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar tarif PPN dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN.
|
||||||
(3)
|
Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemungutan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka VIII Huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||
Pasal 21 |
|||||||
(1)
|
PKP Instansi Pemerintah wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).
|
||||||
(2)
|
Faktur Pajak dibuat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
Pasal 22 |
|||||||
(1)
|
PPN yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) merupakan Pajak Keluaran bagi PKP Instansi Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN.
|
||||||
(2)
|
PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP Instansi Pemerintah karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak merupakan Pajak Masukan bagi PKP Instansi Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN.
|
||||||
(3)
|
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikreditkan bagi PKP Instansi Pemerintah yang menyediakan jasa dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
|
||||||
(4)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi PKP Instansi Pemerintah yang menjalankan pola pengelolaan keuangan BLU/BLUD.
|
||||||
(5)
|
Pengkreditan Pajak Masukan bagi Instansi Pemerintah yang menjalankan pola pengelolaan keuangan BLU/BLUD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
(6)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak PKP Instansi Pemerintah selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
|
||||||
(7)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak PKP Instansi Pemerintah selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak.
|
||||||
(8)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP Instansi Pemerintah.
|
||||||
(9)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat diajukan permohonan pengembalian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
BAB IV
TATA CARA PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK
Bagian Pertama
Penyetoran Pajak
Pasal 23 |
|||||||
(1)
|
Instansi Pemerintah Pusat dan Instansi Pemerintah Daerah wajib menyetorkan PPh dan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipotong dan/atau dipungut:
|
||||||
a.
|
paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
|
||||||
b.
|
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran dengan mekanisme Langsung sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
(2)
|
Instansi Pemerintah Desa wajib menyetorkan PPh dan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipotong dan/atau dipungut paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah pelaksanaan pembayaran.
|
||||||
Pasal 24 |
|||||||
PKP Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) wajib menyetorkan PPN yang terutang dalam satu Masa Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
|
|||||||
Bagian Ketiga
Pelaporan Pajak
Pasal 25 |
|||||||
(1)
|
Instansi Pemerintah wajib melaporkan pemotongan dan/atau pemungutan serta penyetoran pajak yang dilakukan dalam satu Masa Pajak ke KPP tempat Instansi Pemerintah terdaftar.
|
||||||
(2)
|
Pelaporan atas pemotongan dan/atau pemungutan serta penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan:
|
||||||
a.
|
Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, untuk kewajiban pemotongan PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) huruf c dan/atau huruf d yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi;
|
||||||
b.
|
Surat Pemberitahuan Masa unifikasi bagi Instansi Pemerintah, yaitu Surat Pemberitahuan Masa pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas belanja pemerintah, untuk kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (1) selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan pemungutan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1); dan
|
||||||
c.
|
Surat Pemberitahuan Masa PPN, bagi PKP Instansi Pemerintah, untuk kewajiban pemungutan PPN atas pendapatan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).
|
||||||
(3)
|
Pelaporan Surat Pemberitahuan Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
|
||||||
(4)
|
Pelaporan Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
||||||
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26 |
|||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
|||||||
1.
|
Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Instansi Pemerintah untuk Masa Pajak sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, tetap menggunakan NPWP Bendahara Pengeluaran, NPWP Bendahara Penerimaan, dan/atau NPWP Bendahara Desa yang telah dihapus.
|
||||||
2.
|
Terhadap dokumen kontrak dan/atau penagihan yang menggunakan NPWP Bendahara Pengeluaran atau NPWP Bendahara Desa sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, namun penyetoran pajak dilakukan setelah Peraturan Menteri ini berlaku, maka penyetoran pajak tersebut menggunakan NPWP Instansi Pemerintah.
|
||||||
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27 |
|||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
|||||||
1.
|
Direktur Jenderal Pajak secara jabatan:
|
||||||
a.
|
menghapus NPWP Bendahara Pengeluaran, NPWP Bendahara Penerimaan, dan/atau NPWP Bendahara Desa yang dimiliki sebelum Peraturan Menteri ini berlaku;
|
||||||
b.
|
mencabut pengukuhan PKP atas Bendahara Penerimaan yang dikukuhkan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku;
|
||||||
c.
|
menerbitkan NPWP baru untuk seluruh Instansi Pemerintah; dan/atau
|
||||||
d.
|
mengukuhkan PKP secara jabatan bagi Instansi Pemerintah yang Bendahara Penerimaannya telah dikukuhkan PKP sebelum Peraturan Menteri ini berlaku.
|
||||||
2.
|
Instansi Pemerintah melakukan:
|
||||||
a.
|
penyampaian perubahan data ke KPP tempat Instansi Pemerintah terdaftar setelah menerima NPWP baru sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf c; dan/atau
|
||||||
b.
|
pengajuan permohonan Sertifikat Elektronik dan aktivasi akun PKP bagi Instansi Pemerintah yang telah dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf d.
|
||||||
Pasal 28 |
|||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
|
|||||||
1.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973);
|
||||||
2.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 180);
|
||||||
3.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 361) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1234); dan
|
||||||
4.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1516),
|
||||||
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
Pasal 29 |
|||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||||
Pasal 30 |
|||||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
|||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
|||||||
Ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 31 Desember 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2019
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 1746
|