PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa untuk mendukung penggunaan produk dalam negeri, serta mendorong transparansi dan efisiensi belanja Instansi Pemerintah, perlu diberikan kemudahan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak dan/atau pengusaha kena pajak sebagai penyedia barang dan/atau jasa dan bagi pihak lain yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi sehubungan dengan pengadaan melalui sistem informasi pengadaan pemerintah;
|
|||
b.
|
bahwa untuk mendukung gerakan nasional nontunai, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai pemungutan pajak bagi Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, dan Instansi Pemerintah Desa yang melakukan belanja dengan menggunakan kartu kredit pemerintah;
|
|||
c.
|
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah belum mengatur kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b sehingga perlu diubah;
|
|||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (3c), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 44E ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pasal 21 ayat (8) dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan Pasal 16A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah;
|
|||
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
|||
6.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
|||
7.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah (Berita Negara Tahun 2019 Nomor 1746);
|
|||
8.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
|
|||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 231/PMK.03/2019 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SERTA PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK BAGI INSTANSI PEMERINTAH.
|
||||
Pasal I |
||||
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1746), diubah sebagai berikut:
|
||||
1.
|
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 1
|
||||
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya.
|
|||
2.
|
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta perubahannya.
|
|||
3.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
4.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
|
|||
5.
|
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
|
|||
6.
|
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
|
|||
7.
|
Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disingkat PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
|
|||
8.
|
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau penyelenggara sertifikasi elektronik.
|
|||
9.
|
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
|
|||
10.
|
PPh Pasal 4 ayat (2) adalah PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh.
|
|||
11.
|
PPh Pasal 15 adalah PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang PPh.
|
|||
12.
|
PPh Pasal 21 adalah PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh.
|
|||
13.
|
PPh Pasal 22 adalah PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang PPh.
|
|||
14.
|
PPh Pasal 23 adalah PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang PPh.
|
|||
15.
|
PPh Pasal 26 adalah PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh.
|
|||
16.
|
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
|
|||
17.
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
|
|||
18.
|
Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
|
|||
19.
|
Instansi Pemerintah Pusat adalah satuan kerja pada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural, termasuk badan layanan umum, selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja negara yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
|
|||
20.
|
Instansi Pemerintah Daerah adalah satuan kerja perangkat daerah provinsi dan satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota, termasuk badan layanan umum daerah, selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja daerah yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
|
|||
21.
|
Instansi Pemerintah Desa adalah unit organisasi penyelenggara pemerintahan desa selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja desa yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
|
|||
22.
|
Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
23.
|
Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan yang selanjutnya disingkat KP2KP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala KPP Pratama.
|
|||
24.
|
Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh bank/pos persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/nomor transaksi pos sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
|
|||
25.
|
PKP Rekanan Pemerintah adalah PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Instansi Pemerintah.
|
|||
26.
|
PKP Instansi Pemerintah adalah Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
|
|||
27.
|
Badan Layanan Umum/Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLU/BLUD adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, dengan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menetapkan praktik bisnis yang sehat.
|
|||
28.
|
Surat Keterangan Wajib Pajak dikenai PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang selanjutnya disebut Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
|
|||
29.
|
Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah yang selanjutnya disebut Sistem Informasi Pengadaan adalah sistem informasi yang digunakan untuk melakukan atau memfasilitasi pengadaan barang dan/atau jasa Instansi Pemerintah melalui penyelenggara perdagangan melalui sarana elektronik.
|
|||
30.
|
Marketplace Pengadaan Barang dan/atau Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Marketplace Pengadaan adalah penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik yang memiliki sarana perdagangan melalui sistem elektronik yang digunakan sebagai wadah bagi rekanan pemerintah untuk memberikan penawaran barang dan/atau jasa kepada Instansi Pemerintah.
|
|||
31.
|
Ritel Daring Pengadaan Barang dan/atau Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Ritel Daring Pengadaan adalah penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik yang memiliki sarana perdagangan melalui sistem elektronik yang digunakan sendiri untuk memberikan penawaran barang dan/atau jasa kepada Instansi Pemerintah.
|
|||
32.
|
Pihak Lain adalah Marketplace Pengadaan atau Ritel Daring Pengadaan yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi melalui Sistem Informasi Pengadaan, yang telah ditetapkan oleh kepala lembaga pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah atau yang telah ditetapkan oleh pejabat Instansi Pemerintah yang bertugas untuk membuat pedoman pengadaan barang dan/atau jasa.
|
|||
33.
|
Uang Persediaan adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada bendahara pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Instansi Pemerintah atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
|
|||
34.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
2.
|
Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 3
|
||||
(1)
|
Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kecuali pengusaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batasan pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
|
|||
(2)
|
Instansi Pemerintah yang belum melewati batasan pengusaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batasan pengusaha kecil, dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
|
|||
(3)
|
Pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Instansi Pemerintah dengan menyampaikan permohonan kepada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha Instansi Pemerintah.
|
|||
(4)
|
Dalam hal tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berada di wilayah kerja KPP yang sama, Instansi Pemerintah wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Instansi Pemerintah.
|
|||
(5)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan Instansi Pemerintah sebagai PKP secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, apabila Instansi Pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
3.
|
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 7
|
||||
Ketentuan mengenai pedoman teknis:
|
||||
1.
|
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
|
|||
2.
|
pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
|
|||
3.
|
perubahan data Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a;
|
|||
4.
|
pemindahan tempat Instansi Pemerintah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b;
|
|||
5.
|
penetapan Instansi Pemerintah sebagai Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c;
|
|||
6.
|
penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); dan
|
|||
7.
|
pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1),
|
|||
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
4.
|
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 9
|
||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, meliputi pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada rekanan pemerintah atas:
|
|||
a.
|
persewaan tanah dan/atau bangunan;
|
|||
b.
|
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
|
|||
c.
|
usaha jasa konstruksi;
|
|||
d.
|
hadiah undian; dan
|
|||
e.
|
pembelian barang atau penggunaan jasa dari Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
|
|||
(2)
|
Tidak termasuk pembayaran atas persewaan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu pembayaran atas penggunaan jasa pelayanan penginapan serta akomodasinya.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yaitu Wajib Pajak yang dikenai PPh yang bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
|
|||
(4)
|
Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
|||
a.
|
sebagian atau seluruh pembayaran pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada:
|
|||
1.
|
orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
|
|||
2.
|
orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau
|
|||
3.
|
orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan;
|
|||
b.
|
pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.
|
|||
(5)
|
Ketentuan mengenai pedoman teknis penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
5.
|
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 10
|
||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 15 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b, meliputi pemotongan PPh kepada rekanan pemerintah yang merupakan Wajib Pajak tertentu atas:
|
|||
a.
|
imbalan jasa pelayaran dalam negeri;
|
|||
b.
|
imbalan jasa penerbangan dalam negeri; atau
|
|||
c.
|
imbalan jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri.
|
|||
(2)
|
Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 15 atas pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan sehubungan dengan imbalan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai pedoman teknis penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
6.
|
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 11
|
||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, meliputi pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan kepada rekanan pemerintah yang merupakan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
|
|||
(2)
|
Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
|||
a.
|
pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan fotokopi Surat Keterangan;
|
|||
b.
|
pembayaran penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan fotokopi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh; atau
|
|||
c.
|
pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan kepada rekanan pemerintah yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai pedoman teknis penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
7.
|
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 12
|
||||
(1)
|
Pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d, meliputi pemungutan PPh sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada rekanan pemerintah.
|
|||
(2)
|
Instansi Pemerintah tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
|||
a.
|
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
|
|||
b.
|
pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pemerintah;
|
|||
c.
|
pembayaran untuk:
|
|||
1.
|
pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda pos; atau
|
|||
2.
|
pemakaian air dan listrik;
|
|||
d.
|
pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana bantuan operasional sekolah, bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, atau bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;
|
|||
e.
|
pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras;
|
|||
f.
|
pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan fotokopi Surat Keterangan;
|
|||
g.
|
pembayaran untuk pembelian barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan fotokopi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh; atau
|
|||
h.
|
pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas pembelian barang yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai pedoman teknis penghitungan dan pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
8.
|
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 13
|
||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e, meliputi pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada rekanan pemerintah yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap berupa:
|
|||
a.
|
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
|
|||
b.
|
royalti;
|
|||
c.
|
hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21;
|
|||
d.
|
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2); dan/atau
|
|||
e.
|
imbalan sehubungan dengan jasa yang pembayarannya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau anggaran pendapatan dan belanja desa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
|
|||
(2)
|
Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
|||
a.
|
penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank;
|
|||
b.
|
sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
|
|||
c.
|
penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
|
|||
d.
|
imbalan sehubungan dengan jasa yang telah dikenai PPh yang bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
|
|||
e.
|
imbalan sehubungan dengan jasa pengangkutan/ekspedisi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang PPh;
|
|||
f.
|
penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan fotokopi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh;
|
|||
g.
|
penghasilan yang dibayarkan kepada rekanan pemerintah dengan mekanisme Uang Persediaan atas:
|
|||
1.
|
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; atau
|
|||
2.
|
penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
|
|||
yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain; atau
|
||||
h.
|
pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan fotokopi Surat Keterangan.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai pedoman teknis penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
9.
|
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 14
|
||||
(1)
|
Pemotongan PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, meliputi pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada rekanan pemerintah yang merupakan Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap berupa:
|
|||
a.
|
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
|
|||
b.
|
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
|
|||
c.
|
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; dan/atau
|
|||
d.
|
hadiah dan penghargaan.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai pedoman teknis penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
10.
|
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 16
|
||||
(1)
|
Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi Pemerintah.
|
|||
(2)
|
Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai pedoman teknis penghitungan dan pemungutan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
11.
|
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 17
|
||||
(1)
|
Jumlah PPN yang wajib dipungut oleh Instansi Pemerintah dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN yang berlaku dengan dasar pengenaan pajak atau menggunakan besaran tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak selain terutang PPN juga terutang PPnBM, jumlah PPnBM yang wajib dipungut oleh Instansi Pemerintah dihitung dengan cara mengalikan tarif PPnBM yang berlaku dengan dasar pengenaan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
12.
|
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 18
|
||||
(1)
|
PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh Instansi Pemerintah, dalam hal:
|
|||
a.
|
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
|
|||
b.
|
pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja Instansi Pemerintah;
|
|||
c.
|
pembayaran untuk pengadaan tanah;
|
|||
d.
|
pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero) dan/atau anak usaha PT Pertamina (Persero) yang meliputi PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, dan PT Elnusa Pertrofin;
|
|||
e.
|
pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
|
|||
f.
|
pembayaran atas Jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
|
|||
g.
|
pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN; dan/atau
|
|||
h.
|
pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi Pemerintah yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan.
|
|||
(2)
|
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh PKP Rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
(3)
|
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pihak Lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut pajak dan tata cara pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak yang dipungut oleh Pihak Lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau Jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan.
|
|||
13.
|
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||
Pasal 20
|
||||
(1)
|
PKP Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.
|
|||
(2)
|
PPN yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN yang berlaku dengan dasar pengenaan pajak atau menggunakan besaran tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai pedoman teknis penghitungan dan pemungutan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
Pasal II |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2022.
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2022 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta |