UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
|
|||
Menimbang |
|||
a.
|
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi setiap warga negara yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
|
||
b.
|
bahwa sistem perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam laju pembangunan yang telah tercapai;
|
||
c.
|
bahwa sistem perpajakan, khususnya yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan pajak tidak langsung yang berlaku selama ini belum dapat menggerakkan peran serta semua lapisan pengusaha kena pajak dalam meningkatkan pendapatan negara yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan pembiayaan negara dan kelangsungan pembangunan yang berdasarkan pada asas-asas pembangunan nasional;
|
||
d.
|
bahwa sistem pajak penjualan yang berlaku dewasa ini sudah tidak sesuai lagi sebagai sarana yang dapat menunjang kebutuhan tersebut di atas;
|
||
e.
|
bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur kembali sistem pajak penjualan dengan sistem pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah dengan Undang-Undang;
|
||
Mengingat |
|||
1.
|
Pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) dan pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
|
||
2.
|
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia;
|
||
3.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
|
||
4.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 326);
|
||
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA |
|||
MEMUTUSKAN:
|
|||
Dengan mencabut:
|
|||
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 94) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 489) sebagaimana beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang pajak Penjualan 1951 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 14, tambahan lembaran Negara Nomor 2847);
|
|||
Menetapkan |
|||
UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
|
|||
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
|||
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|||
a.
|
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang di dalamnya berlaku peraturan perundang-undangan Pabean;
|
||
b.
|
Barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak;
|
||
c.
|
Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud pada huruf b sebagai hasil proses pengolahan (pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini;
|
||
d.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak:
|
||
1)
|
Yang termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
||
a)
|
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
|
||
b)
|
pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
|
||
c)
|
pengalihan hasil produksi dalam keadaan bergerak;
|
||
d)
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
|
||
e)
|
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
|
||
f)
|
persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
|
||
2)
|
Yang tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
||
a)
|
penyerahan Barang kena Pajak kepada makelar sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
|
||
b)
|
Penyerahan barang kena Pajak untuk jaminan hutang-piutang;
|
||
c)
|
Pemindahtanganan sebagian atau seluruh perusahaan.
|
||
e.
|
Jasa adalah semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untuk dipakai;
|
||
f.
|
Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud pada huruf e yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini;
|
||
g.
|
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah kegiatan melaksanakan pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya termasuk Jasa Kena Pajak yang dilakukan untuk kepentingan sendiri;
|
||
h.
|
Impor adalah semua kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean;
|
||
i.
|
Ekspor adalah semua kegiatan mengeluarkan barang ke luar Daerah Pabean;
|
||
j.
|
Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual barang tanpa mengubah bentuk atau sifatnya;
|
||
k.
|
Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, atau melakukan usaha jasa;
|
||
l.
|
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada huruf k yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
|
||
Tidak termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha kecil yang batasan dan ukurannya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan;
|
|||
m.
|
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru termasuk membuat, memasak, merakit, mencampur, mengemas, membotolkan, dan menambang atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan itu.
|
||
Yang tidak termasuk dalam pengertian Menghasilkan ialah:
|
|||
1)
|
menanam atau memetik hasil pertanian atau memelihara hewan;
|
||
2)
|
menangkap atau memelihara ikan;
|
||
3)
|
mengeringkan atau menggarami makanan;
|
||
4)
|
membungkus atau mengepak yang lazimnya terjadi dalam usaha perdagangan besar atau eceran;
|
||
5)
|
menyediakan makanan dan minuman di restoran, rumah penginapan, atau yang dilaksanakan oleh usaha katering.
|
||
n.
|
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh penjual atau pemberi Jasa atau Nilai Impor yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terhutang;
|
||
o.
|
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan barang, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang ini, potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, dan harga Barang yang dikembalikan;
|
||
p.
|
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi Jasa karena penyerahan Jasa, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak;
|
||
q.
|
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang ini;
|
||
r.
|
Pembeli adalah orang atau badan yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak;
|
||
s.
|
Penerima Jasa adalah orang atau badan yang menerima penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
||
t.
|
Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau pada saat Impor Barang Kena Pajak;
|
||
u.
|
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu pembelian Barang Kena Pajak, penerimaan Jasa Kena Pajak, atau impor Barang Kena Pajak;
|
||
v.
|
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
|
||
w.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
|
||
Pasal 2 |
|||
(1)
|
Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
|
||
(2)
|
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:
|
||
a.
|
dua atau lebih pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan atau penguasaan Pengusaha yang sama, atau
|
||
b.
|
Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebutkan terakhir.
|
||
BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK Pasal 3 |
|||
(1)
|
Pengusaha yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan d dikenakan pajak, wajib melaporkan usahanya kepada Direktorat Jenderal Pajak di tempat Pengusaha itu bertempat tinggal atau berkedudukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
|
||
(2)
|
Orang atau badan yang mengekspor barang dan/atau menyerahkan Barang Kena Pajak di Daerah Pabean kepada Pengusaha Kena Pajak, dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak di tempat orang atau badan itu bertempat tinggal atau berkedudukan.
|
||
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Keputusan Pengukuhan.
|
||
(4)
|
Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib menyetor pajak yang terhutang dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
BAB III
OBYEK PAJAK DAN KEWAJIBAN PENCATATAN Pasal 4 |
|||
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
|
||
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang:
|
||
1)
|
menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
|
||
2)
|
mengimpor Barang kena Pajak tersebut;
|
||
3)
|
mempunyai hubungan istimewa dengan Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2);
|
||
4)
|
bertindak sebagai penyalur utama atau agen utama dari Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2);
|
||
5)
|
menjadi pemegang hak atau pemegang hak menggunakan paten dan merek dagang dari Barang kena Pajak tersebut;
|
||
b.
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;
|
||
c.
|
impor Barang Kena Pajak;
|
||
d.
|
penyerahan Jasa Kena Pajak.
|
||
(2)
|
Dengan Peraturan Pemerintah:
|
||
a.
|
Pajak Pertambahan Nilai dapat diberlakukan terhadap semua penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean oleh pedagang besar atau pedagang eceran dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
|
||
b.
|
diatur penyerahan jenis-jenis jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
|
||
Pasal 5 |
|||
(1)
|
Disamping pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
|
||
a.
|
penyerahan Barang Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Mewah di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
|
||
b.
|
impor Barang Mewah.
|
||
(2)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.
|
||
Pasal 6 |
|||
(1)
|
Setiap Pengusaha Kena Pajak diwajibkan mencatat semua jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.
|
||
(2)
|
Pada catatan dalam pembukuan itu harus dicantumkan secara terpisah dan jelas, jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang atau Jasa yang terhutang pajak, yang tidak terhutang pajak, yang dikenakan tarif 0% (nol persen), dan yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
||
(3)
|
Pengusaha yang berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan pedoman Norma Penghitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, wajib membuat catatan nilai peredaran bruto secara teratur, yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai itu.
|
||
BAB IV
TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PAJAK Pasal 7 |
|||
(1)
|
Tarif Pajak Pertambahan Nilai berjumlah 10% (sepuluh persen).
|
||
(2)
|
Atas ekspor Barang dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
|
||
(3)
|
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).
|
||
Pasal 8 |
|||
(1)
|
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen).
|
||
(2)
|
Atas ekspor Barang Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
|
||
(3)
|
Dengan Peraturan Pemerintah tarif pajak sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dapat diubah menjadi setinggi-tingginya 35% (tiga puluh lima persen).
|
||
(4)
|
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
||
(5)
|
Macam dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menurut ayat (4) diatur oleh Menteri Keuangan.
|
||
Pasal 9 |
|||
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
(2)
|
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa yang sama.
|
||
(3)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan pajak yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
||
(4)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan dengan pajak terhutang dalam Masa Pajak berikutnya, atau dapat dikembalikan.
|
||
(5)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak disamping melakukan penyerahan kena pajak juga melakukan penyerahan tidak kena pajak, sepanjang bagian penyerahan kena pajak itu dapat diketahui dengan pasti dari catatan dalam pembukuan, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanya sebesar Pajak Masukan yang telah dibayar pada waktu perolehan atau pengimporan Barang Kena Pajak yang diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak, atau yang dipakai untuk menghasilkan Barang Kena Pajak.
|
||
(6)
|
Dalam hal bagian penyerahan kena pajak maupun bagian penyerahan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat diketahui dengan pasti, Menteri Keuangan dapat menetapkan suatu pedoman penghitungan jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk bagian penyerahan kena pajak.
|
||
(7)
|
Pengusaha yang berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan pedoman Norma Penghitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang telah dibayar terhadap Pajak Keluaran yang harus dipungut, dengan mempergunakan pedoman penghitungan kredit Pajak Masukan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
||
(8)
|
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara yang diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
|
||
a.
|
pembelian Barang atau Jasa sebelum Pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;
|
||
b.
|
pembelian Barang dan pengeluaran biaya lain yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
|
||
c.
|
pembelian dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi.
|
||
Pasal 10 |
|||
(1)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terhutang dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 8, dengan Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
(2)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau Impor Barang Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7.
|
||
(3)
|
Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Mewah dapat meminta kembali pajak yang dibayar pada waktu perolehan Barang Mewah yang diekspor itu.
|
||
BAB V
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERHUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN PAJAK Pasal 11 |
|||
(1)
|
Pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
|
||
(2)
|
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada saat pembayaran.
|
||
Pasal 12 |
|||
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, terhutang pajak di tempat tinggal atau kedudukan mereka dan/atau di tempat usaha dilakukan.
|
||
(2)
|
Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai lebih dari satu tempat usaha, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terhutang.
|
||
(3)
|
Dalam hal Impor, pajak terhutang di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
Pasal 13 |
|||
(1)
|
Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
|
||
(2)
|
Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
|
||
(3)
|
Menyimpang dari ayat (1) dan ayat (2), Pengusaha Kena Pajak dapat diizinkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim setelah akhir bulan takwim yang bersangkutan.
|
||
(4)
|
Pengusaha yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b dikenakan pajak, hanya membuat Faktur Pajak semata-mata untuk Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak.
|
||
(5)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuat Faktur Pajak untuk setiap pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
|
||
(6)
|
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan catatan tentang penyerahan yang dikenakan pajak menurut Undang-Undang ini yang meliputi:
|
||
a.
|
Nama, Alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
|
||
b.
|
Nama, Alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
|
||
c.
|
Macam, jenis, kuantum, harga satuan, dan Jumlah Harga Jual atau Penggantian;
|
||
d.
|
Pajak Pertambahan Nilai Yang dipungut;
|
||
e.
|
Pajak Penjualan atas barang Mewah yang dipungut;
|
||
f.
|
Tanggal Penyerahan.
|
||
(7)
|
Bentuk, ukuran, pengadaan, serta tata cara penyampaian Faktur Pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
||
(8)
|
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (6) dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
Pasal 14 |
|||
(1)
|
Orang atau Badan yang tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
|
||
(2)
|
Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang atau badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak kepada Kas Negara dan dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
Pasal 15 |
|||
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa.
|
||
(2)
|
Keterangan dan dokumen yang harus dicantumkan dan/atau dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
||
(3)
|
Surat Pemberitahuan Masa dianggap tidak dimasukkan jika Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan, atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2).
|
||
Pasal 16 |
|||
(1)
|
Atas permohonan tertulis Pengusaha Kena Pajak, kelebihan pembayaran pajak yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), pengembaliannya dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, atau dalam jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
||
(2)
|
Kelebihan pembayaran pajak atas Barang yang diekspor dikembalikan dalam jangka waktu satu bulan.
|
||
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 17 |
|||
Hal-hal yang menyangkut pengertian, tata cara pemungutan sanksi administrasi dan sanksi pidana berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini, yang secara khusus belum diatur dalam Undang-Undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya.
|
|||
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 |
|||
(1)
|
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
|
||
a.
|
semua Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan Impor Barang Kena Pajak yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap terhutang pajak menurut Undang-Undang Pajak Penjualan 1951;
|
||
b.
|
selama peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih berlaku.
|
||
(2)
|
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
||
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 |
|||
Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
Pasal 20 |
|||
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
|
|||
Pasal 21 |
|||
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1984.
|
|||
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
SOEHARTO Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 31 Desember 1983 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
SUDHARMONO, S.H. |
|||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 51
|
|||