PP 55 Tahun 2022

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2022

TENTANG
PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

a.
bahwa untuk memberikan kepastian hukum, penyederhanaan administrasi perpajakan, kemudahan, dan keadilan kepada wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dalam jangka waktu tertentu, serta untuk melaksanakan perjanjian internasional di bidang perpajakan dengan tetap memperhatikan tata kelola pemerintahan yang baik, perlu diberikan kebijakan fiskal melalui penyesuaian pengaturan di bidang pajak penghasilan;
b.
bahwa dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu penyesuaian pengaturan kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif dan konsolidatif;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e, Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1, Pasal 17 ayat (2e), dan Pasal 32C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan;

Mengingat

1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang­-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
2.
Pajak Penghasilan adalah pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
4.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
5.
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
6.
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
7.
Badan Pengelola Keuangan Haji adalah lembaga yang melakukan pengelolaan keuangan haji.
8.
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji.
9.
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji khusus.
10.
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat yang dilakukan sebagaimana transaksi independen.
11.
Harga Transfer adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
12.
Perseroan Terbuka adalah perseroan publik atau perseroan yang melakukan penawaran umum saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
13.
Wajib Pajak Perseroan Terbuka adalah Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka.
14.
Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja berdasarkan perjanjian, kontrak, atau kesepakatan kerja, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam sektor pemerintahan.
15.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
BAB II
OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Bagian Kesatu
Objek Pajak Penghasilan

Pasal 2

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Bagian Kedua
Kriteria Keahlian Tertentu serta Pengenaan Pajak Penghasilan bagi Warga Negara Asing

Pasal 3

(1)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, warga negara asing yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan:
a.
memiliki keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.
berlaku selama 4 (empat) Tahun Pajak yang dihitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri.
(2)
Termasuk dalam pengertian penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh warga negara asing sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan di luar Indonesia.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap warga negara asing yang memanfaatkan persetujuan penghindaran pajak berganda antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda tempat warga negara asing memperoleh penghasilan dari luar Indonesia.

Pasal 4

(1)
Warga negara asing yang memiliki keahlian tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a meliputi tenaga kerja asing yang menduduki pos jabatan tertentu dan peneliti asing.
(2)
Warga negara asing yang memiliki keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipekerjakan oleh pemberi kerja harus memenuhi persyaratan mengenai:
a.
penggunaan tenaga kerja asing yang dapat menduduki pos jabatan tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; atau
b.
peneliti asing yang ditetapkan oleh kepala lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi.
(3)
Kriteria keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
memiliki keahlian di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau matematika, yang dibuktikan dengan:
1.
sertifikat keahlian yang diterbitkan oleh lembaga yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia atau pemerintah negara asal tenaga kerja asing;
2.
ijazah pendidikan; dan/atau
3.
pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun,
di bidang ilmu atau bidang kerja yang sesuai dengan bidang keahlian tersebut; dan
b.
memiliki kewajiban untuk melakukan alih pengetahuan.

Pasal 5

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan Pajak Penghasilan bagi warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB III
PENGECUALIAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Bagian Kesatu
Hibah, Bantuan, atau Sumbangan

Pasal 6

(1)
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi pihak pemberi.
(2)
Dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang:
a.
hibah, bantuan, atau sumbangan diberikan kepada:
1.
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
2.
badan keagamaan;
3.
badan pendidikan;
4.
badan sosial termasuk yayasan;
5.
koperasi; atau
6.
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil; dan
b.
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak yang bersangkutan.
(3)
Ketentuan mengenai:
a.
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 1 merupakan orang tua kandung dan anak kandung;
b.
badan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 merupakan badan. yang tidak mencari keuntungan dengan kegiatan utamanya mengurus tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan;
c.
badan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 3 merupakan badan yang tidak mencari keuntungan dengan kegiatan utamanya menyelenggarakan pendidikan;
d.
badan sosial termasuk yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 4 merupakan badan yang tidak mencari keuntungan dengan kegiatan utamanya menyelenggarakan:
1.
pemeliharaan kesehatan;
2.
pemeliharaan orang lanjut usia atau panti jompo;
3.
pemeliharaan anak yatim dan/atau piatu dan penyandang disabilitas;
4.
penanganan ketunaan sosial, ketelantaran, dan penyimpangan perilaku;
5.
santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
6.
pemberian beasiswa; dan/atau
7.
pelestarian lingkungan hidup;
e.
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 5 merupakan badan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang perkoperasian; atau
f.
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 6 merupakan orang pribadi yang memiliki dan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria:
1.
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2.
memiliki peredaran usaha setahun sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(4)
Ketentuan mengenai tata cara penilaian dan penghitungan atas keuntungan karena pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 7

(1)
Harta hibahan dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sepanjang:
a.
diterima oleh:
1.
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
2.
badan keagamaan;
3.
badan pendidikan;
4.
badan sosial termasuk yayasan;
5.
koperasi; atau
6.
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); dan
b.
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak yang bersangkutan.
(2)
Harta hibahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk uang atau barang.
(3)
Ketentuan mengenai tata cara penilaian dan penghitungan atas harta hibahan yang berbentuk barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Bantuan atau Santunan yang Dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak Tertentu

Pasal 8

(1)
Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
(2)
Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a.
Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu;
b.
Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang mengalami bencana alam; dan/atau
c.
Wajib Pajak atau anggota masyarakat tertimpa musibah.
(3)
Ketentuan mengenai bantuan atau santunan yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Ketentuan Pengecualian Pajak Penghasilan atas Dividen atau Penghasilan Lain

Pasal 9

(1)
Penghasilan berupa:
a.
dividen yang berasal dari dalam negeri atau dividen yang berasal dari luar negeri; atau
b.
penghasilan lain berupa penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri dan penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap,
yang memenuhi persyaratan tertentu dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
(2)
Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak:
1.
orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau
2.
badan dalam negeri;
b.
dividen yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu;
c.
dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf b merupakan:
1.
dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek; atau
2.
dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi kepemilikan saham;
d.
dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1 dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebesar dividen yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu;
e.
dalam hal dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam huruf d diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, berlaku ketentuan:
1.
atas dividen yang diinvestasikan tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan; dan
2.
atas selisih dari dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikurangi dengan dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dikenai Pajak Penghasilan;
f.
selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 2 harus:
1.
diinvestasikan paling rendah 30% (tiga puluh persen) dari laba setelah pajak; atau
2.
diinvestasikan sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
g.
dalam hal dividen sebagaimana dimaksud dalam huruf f diinvestasikan di Indonesia setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dividen dimaksud tidak dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan;
h.
dalam hal dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam huruf f, diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak, berlaku ketentuan:
1.
atas dividen yang diinvestasikan tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan;
2.
atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) laba setelah pajak dikurangi dengan dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dikenai Pajak Penghasilan; dan
3.
atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 serta atas selisih sebagaimana dimaksud dalam angka 2, tidak dikenai Pajak Penghasilan;
i.
dalam hal dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam huruf f, diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak, berlaku ketentuan:
1.
atas dividen yang diinvestasikan tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan; dan
2.
atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, tidak dikenai Pajak Penghasilan;
j.
dividen yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b merupakan dividen yang dibagikan berdasarkan rapat umum pemegang saham atau dividen interim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k.
rapat umum pemegang saham atau dividen interim sebagaimana dimaksud dalam huruf j termasuk rapat sejenis dan mekanisme pembagian dividen sejenis;
l.
dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri atau Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf a, tidak dipotong Pajak Penghasilan;
m.
dalam hal Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan investasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1, atas dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri terutang Pajak Penghasilan pada saat dividen diterima atau diperoleh; dan
n.
Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf m wajib disetor sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Penghasilan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu dengan syarat penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling rendah 30% (tiga puluh persen) dari laba setelah pajak;
b.
dalam hal penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a berlaku ketentuan:
1.
atas penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan;
2.
atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) laba setelah pajak dikurangi dengan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dikenai Pajak Penghasilan;dan
3.
atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 serta atas selisih sebagaimana dimaksud dalam angka 2, tidak dikenai Pajak Penghasilan;
c.
dalam hal penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, berlaku ketentuan:
1.
atas penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan; dan
2.
atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, tidak dikenai Pajak Penghasilan; dan
d.
penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan dalam hal penghasilan tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi persyaratan berikut:
1.
penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri; dan
2.
bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri.
(4)
Pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a dan huruf d berlaku ketentuan:
a.
tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang;
b.
tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan; dan/atau
c.
tidak dapat dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(5)
Dalam hal Wajib Pajak tidak menginvestasikan penghasilan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a dan huruf d berlaku ketentuan:
a.
penghasilan dari luar negeri tersebut merupakan penghasilan pada Tahun Pajak diperoleh; dan
b.
pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut merupakan kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(6)
Ketentuan mengenai tata cara pengecualian Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 10
(1)
Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 1 dan huruf b dan ayat (3) harus memenuhi kriteria dan jangka waktu tertentu.
(2)
Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk investasi yang meliputi:
a.
surat berharga Negara Republik Indonesia dan surat berharga syariah Negara Republik Indonesia;
b.
obligasi atau sukuk badan usaha milik negara yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
c.
obligasi atau sukuk lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
d.
investasi keuangan pada bank persepsi termasuk bank syariah;
e.
obligasi atau sukuk perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
f.
investasi infrastruktur melalui pemerintah dengan badan usaha;
g.
investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah;
h.
penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
i.
penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
j.
kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
k.
penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
l.
bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan huruf l ditempatkan pada instrumen investasi di pasar keuangan sebagai berikut:
a.
efek bersifat utang;
b.
sukuk;
c.
saham;
d.
unit penyertaan reksa dana;
e.
efek beragun aset;
f.
unit penyertaan dana investasi real estat;
g.
deposito;
h.
tabungan;
i.
giro;
j.
kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka di Indonesia; dan/atau
k.
instrumen investasi pasar keuangan lainnya termasuk produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, atau modal ventura yang mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(4)
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f sampai dengan huruf 1 ditempatkan pada instrumen investasi di luar pasar keuangan sebagai berikut:
a.
investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha;
b.
investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah;
c.
investasi pada properti dalam bentuk tanah dan/atau bangunan yang didirikan di atasnya;
d.
investasi langsung pada perusahaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e.
investasi pada logam mulia berbentuk emas batangan atau lantakan;
f.
kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
g.
penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
h.
bentuk investasi lainnya di luar pasar keuangan yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
(5)
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf d dilakukan melalui mekanisme penyertaan modal ke dalam perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas.
(6)
Sektor yang menjadi prioritas pemerintah dalam investasi sektor riil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi sektor yang ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional.
(7)
Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c tidak termasuk properti yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
(8)
Logam mulia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e merupakan emas batangan atau lantakan dengan kadar kemurnian 99,99% (sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan persen).
(9)
Emas batangan atau lantakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) merupakan emas yang diproduksi di Indonesia dan mendapatkan akreditasi dan sertifikat dari Badan Standardisasi Nasional dan/atau London Bullion Market Association.
(10)
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dialihkan, kecuali ke dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 11

Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a.
paling lambat:
1.
akhir bulan ketiga setelah Tahun Pajak diterima atau diperoleh dividen atau penghasilan lain, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
2.
akhir bulan keempat setelah Tahun Pajak diterima atau diperoleh dividen atau penghasilan lain, untuk Wajib Pajak badan; dan
b.
paling singkat 3 (tiga) Tahun Pajak terhitung sejak Tahun Pajak dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh.
Bagian Keempat
Penghasilan dari Penanaman Modal dalam Bidang-Bidang Tertentu yang Diterima oleh Dana Pensiun

Pasal 12

(1)
Penghasilan dari penanaman modal dalam bidang-bidang tertentu yang diterima atau diperoleh dana pensiun dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
(2)
Dana pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Otoritas Jasa Keuangan.
(3)
Dana pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selain yang disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, termasuk juga dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri sebelum beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan dana pensiun dari Menteri kepada Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 31 Desember 2012.
(4)
Penghasilan dari penanaman modal dalam bidang-bidang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia; atau
b.
bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia.
(5)
Ketentuan mengenai tata cara pengecualian dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Beasiswa yang Memenuhi Persyaratan Tertentu dan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba Bidang Pendidikan, Bidang Penelitian dan Pengembangan, Sosial, dan/atau Keagamaan

Pasal 13

(1)
Penghasilan berupa beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu baik yang diterima dari subjek pajak dan/atau bukan subjek pajak, dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
(2)
Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi beasiswa yang diterima:
a.
oleh penerima beasiswa yang merupakan Warga Negara Indonesia; dan
b.
untuk mengikuti pendidikan formal dan/atau pendidikan nonformal yang dilaksanakan di dalam negeri dan/atau di luar negeri.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 14

(1)
Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebesar jumlah sisa lebih yang digunakan untuk:
a.
pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
b.
dilakukan paling lama 4 (empat) tahun sejak sisa lebih diterima atau diperoleh.
(2)
Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih lebih dari penghitungan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh selain penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan, dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut.
(3)
Pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk penggunaan sisa lebih yang dialokasikan dalam bentuk dana abadi yang memenuhi persyaratan tertentu.

Pasal 15

Ketentuan mengenai:
a.
sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); dan
b.
penggunaan sisa lebih yang dialokasikan dalam bentuk dana abadi yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3),
diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 16

(1)
Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sepanjang memenuhi persyaratan:
a.
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan; dan/atau
b.
ditempatkan sebagai dana abadi,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
(2)
Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih lebih dari penghitungan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh selain penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan, dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Dana Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan/atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan Penghasilan dari Pengembangan Keuangan Haji dalam Bidang atau Instrumen Keuangan Tertentu yang Diterima Badan Pengelola Keuangan Haji

Pasal 17

(1)
Penerimaan Badan Pengelola Keuangan Haji meliputi:
a.
setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan/atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus;
b.
nilai manfaat keuangan haji berupa penghasilan dari pengembangan keuangan haji;
c.
dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji;
d.
dana abadi umat; dan/atau
e.
sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
(2)
Atas penerimaan Badan Pengelola Keuangan Haji yang berupa:
a.
dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan/atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
b.
penghasilan dari pengembangan keuangan haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu,
dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
(3)
Penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa:
a.
imbal hasil dari giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, serta surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
b.
imbal hasil dari obligasi syariah (sukuk), surat berharga syariah negara, dan surat perbendaharaan negara syariah yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia;
c.
dividen yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri atau penghasilan lain berupa penghasilan setelah pajak atau penghasilan yang pajaknya dikecualikan atau dikenakan pajak 0% (nol persen) dari suatu bentuk usaha tetap maupun tidak melalui bentuk usaha tetap di luar negeri;
d.
bagian laba yang diterima atau diperoleh dari unit penyertaan kontrak investasi kolektif yang dapat berupa imbal hasil dari reksadana syariah, kontrak investasi kolektif efek beragun aset, kontrak investasi kolektif dana investasi real estat, kontrak investasi kolektif dana investasi infrastruktur, dan/atau kontrak investasi kolektif berdasarkan prinsip syariah sejenis; dan/atau
e.
penjualan investasi dalam bentuk emas batangan atau rekening emas yang dikelola lembaga keuangan syariah,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan/atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu yang diterima Badan Pengelola Keuangan Haji yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IV
BIAYA YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
Bagian Kesatu
Biaya Promosi dan Penjualan

Pasal 18

(1)
Besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya promosi dan penjualan.
(2)
Biaya promosi dan penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan hal sebagai berikut:
a.
untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan;
b.
dikeluarkan secara wajar; dan
c.
menurut adat kebiasaan pedagang yang baik.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya promosi dan penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih

Pasal 19

(1)
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b.
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c.
atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut:
1.
telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
2.
terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3.
telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
4.
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
(2)
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil dan debitur kecil lainnya.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan

Pasal 20

(1)
Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
(2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan;
b.
cadangan untuk usaha asuransi, termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
c.
cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
d.
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e.
cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f.
cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri,
yang memenuhi persyaratan tertentu.
(3)
Ketentuan mengenai pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V
PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD DAN/ATAU AMORTISASI HARTA TAK BERWUJUD

Pasal 21

(1)
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian­-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2)
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3)
Untuk menghitung penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1)
Ayat (2)
I.
Bukan Bangunan
Kelompok 1
4 tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 tahun
5%
10%
II.
Bangunan
Permanen
20 tahun
5%
Tidak Permanen
10 tahun
10%
(4)
Penyusutan atas harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali:
a.
untuk harta berwujud yang masih dalam proses pengerjaan, dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta;
b.
untuk harta berwujud yang belum pernah digunakan atau menghasilkan, dimulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak; atau
c.
untuk harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu.
(5)
Apabila bangunan permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun, penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bagian yang sama besar dengan masa manfaat:
a.
20 (dua puluh) tahun; atau
b.
sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak,
dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(6)
Wajib Pajak yang telah melakukan penyusutan atas bangunan permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
a.
yang dimiliki dan digunakan sebelum Tahun Pajak 2022; dan
b.
disusutkan sesuai masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a,
dapat memilih melakukan penyusutan sesuai masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022.
(7)
Penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur tersendiri, termasuk saat dimulainya penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c.
(8)
Dalam hal terjadi pengalihan atau penarikan harta sehubungan dengan penggantian asuransi, jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah penggantian asuransi yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada Tahun Pajak:
a.
terjadinya penarikan harta tersebut; atau
b.
diterimanya hasil penggantian asuransi jika hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
(9)
Terhadap pengeluaran untuk perbaikan atas harta berwujud, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, penghitungan penyusutan diatur tersendiri.
(10)
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a.
kelompok harta berwujud, masa manfaat, dan penghitungan penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
b.
saat dimulainya penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4);
c.
penyusutan bangunan permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (5);
d.
tata cara penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
e.
penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7);
f.
pembebanan kerugian dan pembukuan penghasilan karena penggantian asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (8); dan
g.
penyusutan atas pengeluaran untuk perbaikan harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (9),
diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 22

(1)
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan sesuai kelompok harta tak berwujud, masa manfaat, dan tarif amortisasi yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau bagian-bagian yang menurun sebagaimana diatur dalam Pasal 11A ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2)
Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu.
(3)
Apabila harta tak berwujud mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun, amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan masa manfaat:
a.
harta tak berwujud kelompok 4 (empat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b.
sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak,
dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(4)
Wajib Pajak yang telah melakukan amortisasi harta tak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
a.
yang dimiliki dan digunakan sebelum Tahun Pajak 2022; dan
b.
diamortisasi sesuai masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,
dapat memilih melakukan amortisasi sesuai masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a.
penghitungan amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b.
saat dimulainya amortisasi untuk bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
c.
amortisasi harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan
d.
tata cara penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VI
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DALAM BENTUK NATURA DAN/ATAU KENIKMATAN
Bagian Kesatu
Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan Merupakan Objek Pajak Penghasilan bagi Pihak Penerima dan Pengurang Penghasilan Bruto bagi Pihak Pemberi

Pasal 23

(1)
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2)
Biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan penghasilan kena pajak oleh pemberi kerja atau pemberi imbalan atau penggantian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Bagian Kedua
Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan bagi Pihak Penerima

Pasal 24

Dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) meliputi:
a.
makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai;
b.
natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
c.
natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;
d.
natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau anggaran pendapatan dan belanja desa; atau
e.
natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Pasal 25

Makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a meliputi:
a.
makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja;
b.
kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam huruf a, meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya; dan/atau
c.
bahan makanan dan/atau bahan minuman bagi seluruh Pegawai dengan batasan nilai tertentu.

Pasal 26

(1)
Natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b meliputi sarana, prasarana, dan/atau fasilitas di lokasi kerja untuk Pegawai dan keluarganya berupa:
a.
tempat tinggal, termasuk perumahan;
b.
pelayanan kesehatan;
c.
pendidikan;
d.
peribadatan;
e.
pengangkutan; dan/atau
f.
olahraga tidak termasuk golf, balap perahu bermotor, pacuan kuda, terbang layang, atau olahraga otomotif,
sepanjang lokasi usaha pemberi kerja mendapatkan penetapan daerah tertentu dari Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Sarana, prasarana, dan fasilitas di lokasi kerja untuk Pegawai dan keluarganya berupa pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi pengangkutan untuk Pegawai dan keluarga dalam melaksanakan penugasan.
(3)
Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b meliputi daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut, maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral, termasuk daerah terpencil.

Pasal 27

(1)
Natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c meliputi natura dan/atau kenikmatan sehubungan dengan persyaratan mengenai keamanan, kesehatan, dan/atau keselamatan Pegawai yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sehubungan dengan persyaratan mengenai keamanan, kesehatan, dan/atau keselamatan Pegawai yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
pakaian seragam;
b.
peralatan untuk keselamatan kerja;
c.
sarana antar jemput Pegawai;
d.
penginapan untuk awak kapal dan sejenisnya; dan/atau
e.
natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional.

Pasal 28

Pengecualian dari objek Pajak Penghasilan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e dan bahan makanan dan/atau bahan minuman bagi seluruh Pegawai dengan batasan nilai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c mempertimbangkan:
a.
jenis dan/atau nilai dari penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima; dan/atau
b.
kriteria penerima penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan.
Bagian Ketiga
Penilaian Natura dan/atau Kenikmatan

Pasal 29

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dinilai dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
untuk penggantian atau imbalan dalam bentuk natura, yaitu berdasarkan nilai pasar; dan/atau
b.
untuk penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan, yaitu berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan pemberi.

Pasal 30

Pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 31

Ketentuan mengenai:
a.
tata cara pemberian pengecualian dari objek Pajak Penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26;
b.
batasan nilai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c dan jenis dan/atau batasan tertentu dari natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;dan
c.
tata cara penilaian dan penghitungan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29,
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII
INSTRUMEN PENCEGAHAN PENGHINDARAN PAJAK

Pasal 32

(1)
Menteri berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)
Pencegahan praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a.
menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek;
b.
menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;
c.
menetapkan pihak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian sepanjang terdapat ketidakwajaran penetapan harga;
d.
menetapkan pihak yang melakukan penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak;
e.
menentukan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia;
f.
menghitung kembali pajak yang seharusnya terutang berdasarkan pembandingan kinerja keuangan dengan Wajib Pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis terhadap Wajib Pajak yang melaporkan laba usaha yang terlalu kecil dibandingkan kinerja keuangan Wajib Pajak lainnya dalam bidang usaha yang sejenis atau melaporkan rugi usaha secara tidak wajar meskipun Wajib Pajak telah melakukan penjualan secara komersial selama 5 (lima) tahun dan melaporkan kerugian fiskal selama 3 (tiga) tahun berturut-turut;
g.
mengatur batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak; dan/atau
h.
menghitung kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan tidak membebankan pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada Wajib Pajak luar negeri sebagai biaya yang mengurangi penghasilan akibat dari pemanfaatan perbedaan perlakuan perpajakan suatu instrumen atau entitas yang dapat mempunyai lebih dari satu karakteristik di negara atau yurisdiksi di mana Wajib Pajak berdomisili.
(3)
Mekanisme pencegahan praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f hanya dapat dilakukan terhadap transaksi antara pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa.
(4)
Dalam hal terdapat praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dicegah menggunakan mekanisme yang diatur pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.

Pasal 33

(1)
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
a.
kepemilikan atau penyertaan modal;
b.
penguasaan; atau
c.
hubungan keluarga sedarah atau semenda,
yang mengakibatkan pihak satu dapat mengendalikan pihak yang lain atau tidak berdiri bebas dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
(2)
Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dianggap ada dalam hal:
a.
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; atau
b.
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih atau hubungan di antara 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
(3)
Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dianggap ada dalam hal:
a.
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
b.
dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
c.
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
d.
terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih;
e.
para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama; atau
f.
satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.
(4)
Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dianggap ada dalam hal terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Pasal 34

(1)
Menteri berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b.
secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(2)
Penentuan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan bagi badan usaha di luar negeri untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
(3)
Dalam hal badan usaha di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan ·Tahunan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, saat diperolehnya dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan pada akhir bulan ketujuh setelah Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 35

(1)
Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2)
Transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
transaksi afiliasi; dan/atau
b.
transaksi yang dilakukan antar pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetapi pihak afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi.

Pasal 36

(1)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak dalam hal Wajib Pajak:
a.
tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1);
b.
menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) namun tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan/atau
c.
menentukan Harga Transfer tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1).
(2)
Penentuan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menentukan Harga Transfer sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
(3)
Penentuan Harga Transfer sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan:
a.
metode perbandingan harga antar pihak yang independen;
b.
metode harga penjualan kembali;
c.
metode biaya-plus; atau
d.
metode lainnya.
(4)
Metode lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d seperti:
a.
metode pembagian laba;
b.
metode laba bersih transaksional;
c.
metode perbandingan transaksi independen;
d.
metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud; atau
e.
metode dalam penilaian bisnis.
(5)
Penggunaan metode sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dipilih berdasarkan ketepatan dan keandalan masing-masing metode untuk transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
(6)
Selisih antara nilai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dengan nilai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bentuk pembagian laba secara tidak langsung kepada entitas afiliasi sehingga diperlakukan sebagai dividen yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 37

Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b, Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 38

(1)
Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut dalam hal Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(2)
Saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang; atau
b.
aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang.
(3)
Pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak atau badan yang tidak mempunyai substansi usaha dan yang dibentuk oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bertujuan untuk membeli saham atau aktiva Wajib Pajak dalam negeri lainnya.

Pasal 39

(1)
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf d dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2)
Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

Pasal 40

(1)
Penentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf e dilakukan dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 41

(1)
Penghitungan kembali pajak yang seharusnya terutang berdasarkan pembandingan kinerja keuangan dengan Wajib Pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf f dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah melakukan penjualan secara komersial selama 5 (lima) tahun dan melaporkan kerugian fiskal selama 3 (tiga) tahun berturut­ turut.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembandingan kinerja keuangan dengan Wajib Pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis dalam rangka penghitungan pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 42

(1)
Pembatasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf g dilakukan oleh Menteri menggunakan:
a.
metode penentuan tingkat perbandingan tertentu antara utang dan modal;
b.
metode penetapan persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya pinjaman, Pajak Penghasilan, penyusutan, dan amortisasi; atau
c.
metode lainnya.
(2)
Ketentuan mengenai penentuan dan tata cara penerapan penggunaan metode untuk pembatasan jumlah biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 43

(1)
Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada Wajib Pajak luar negeri tidak dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf h dalam hal pembayaran tersebut:
a.
tidak diperhitungkan sebagai penghasilan Wajib Pajak luar negeri yang dikenai pajak di negara atau yurisdiksi di mana Wajib Pajak luar negeri tersebut berdomisili; atau
b.
dibebankan sebagai pengurang penghasilan Wajib Pajak luar negeri di negara atau yurisdiksi di mana Wajib Pajak luar negeri tersebut berdomisili,
yang mengakibatkan pembayaran dimaksud tidak dikenai pajak atau dikenai pajak yang rendah baik di Indonesia maupun di negara atau yurisdiksi di mana Wajib Pajak luar negeri tersebut berdomisili.
(2)
Ketentuan mengenai pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada Wajib Pajak luar negeri yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 44

(1)
Pelaksanaan pencegahan praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) dilakukan dengan menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan memperhatikan:
a.
batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaan;
b.
kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak masuk dalam cakupan penghindaran pajak;
c.
tahapan pengujian formil dan materiil;
d.
mekanisme penjaminan kualitas; dan/atau
e.
perlindungan hak Wajib Pajak.
(2)
Pencegahan praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan Wajib Pajak tetap dapat melakukan upaya penyelesaian sengketa.
(3)
Ketentuan mengenai batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaan, kegiatan Wajib Pajak yang masuk dalam cakupan penghindaran pajak, tahapan pengujian formil dan materiil, mekanisme penjaminan kualitas, dan perlindungan hak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 45

(1)
Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan kesepakatan Harga Transfer kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perjanjian tertulis antara:
a.
Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak (unilateral);
b.
Direktur Jenderal Pajak dan 1 (satu) otoritas pajak pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda yang melibatkan Wajib Pajak (bilateral); atau
c.
Direktur Jenderal Pajak dan lebih dari 1 (satu) otoritas pajak pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda yang melibatkan Wajib Pajak (multilateral),
untuk menyepakati kriteria dalam penentuan harga transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.
(3)
Permohonan kesepakatan Harga Transfer atas transaksi afiliasi dilakukan berdasarkan:
a.
inisiatif Wajib Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, atau huruf c; atau
b.
pemberitahuan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak sebagai tindak lanjut atas pengajuan wajib pajak luar negeri kepada Pejabat Berwenang Mitra persetujuan penghindaran pajak berganda, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau huruf c.
(4)
Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup seluruh atau sebagian transaksi afiliasi selama:
a.
periode Kesepakatan Harga Transfer; dan
b.
pemberlakuan mundur, dalam hal Wajib Pajak meminta pemberlakuan mundur.
(5)
Transaksi afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa transaksi afiliasi antara Wajib Pajak dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya dan/atau dengan Wajib Pajak luar negeri.
(6)
Pemberlakuan mundur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pemberlakuan hasil kesepakatan dalam kesepakatan Harga Transfer untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak sebelum periode kesepakatan Harga Transfer dalam hal atas Tahun Pajak tersebut:
a.
fakta dan kondisi transaksi afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi transaksi afiliasi yang telah disepakati dalam kesepakatan Harga Transfer;
b.
belum daluwarsa penetapan;
c.
belum diterbitkan surat ketetapan pajak Pajak Penghasilan;dan
d.
tidak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan.
(7)
Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
kriteria dalam penentuan Harga Transfer; dan
b.
penentuan Harga Transfer di muka,
untuk periode kesepakatan Harga Transfer dan pemberlakuan mundur sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Pasal 46

(1)
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat kesepakatan dengan Wajib Pajak atau bekerja sama dengan pejabat berwenang mitra persetujuan penghindaran pajak berganda untuk menentukan Harga Transfer antara Wajib Pajak dan pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama suatu periode tertentu.
(2)
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan atau penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan tentang pemberlakuan kesepakatan Harga Transfer.
(3)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk mengawasi pemberlakuan kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.

Pasal 47

Ketentuan lebih lanjut mengenai kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VIII
PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI BIDANG PERPAJAKAN

Pasal 48

Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:
a.
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b.
pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba;
c.
pertukaran informasi perpajakan;
d.
bantuan penagihan pajak; dan
e.
kerja sama perpajakan lainnya.

Pasal 49

Perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 merupakan perjanjian bilateral atau multilateral yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra mengenai perpajakan yang dapat berupa:
a.
persetujuan penghindaran pajak berganda;
b.
konvensi multilateral untuk menerapkan tindakan­ tindakan terkait dengan persetujuan penghindaran pajak berganda untuk mencegah penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba;
c.
persetujuan untuk pertukaran informasi berkenaan dengan keperluan perpajakan;
d.
konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan;
e.
persetujuan pejabat yang berwenang yang bersifat multilateral atau bilateral; dan/atau
f.
perjanjian atau kesepakatan yang bertujuan untuk mengatasi tantangan pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi dan/atau penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya. ·

Pasal 50

(1)
Ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak:
a.
dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
b.
dari negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan dengan surat keterangan domisili.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 51

(1)
Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
(2)
Direktur Jenderal Pajak berwenang meminta informasi kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Wajib Pajak atau pihak lain yang diminta informasi oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi permintaan informasi mengenai hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan.
(4)
Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak atau pihak lain dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 52

Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan ketentuan dalam perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mengatasi tantangan pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi dan/atau penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf f.

Pasal 53

(1)
Dalam mengatasi tantangan pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, perusahaan multinasional yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian atau kesepakatan dianggap memenuhi kewajiban pajak subjektif dan objektif sehingga dikenakan pajak di Indonesia.
(2)
Ketentuan mengenai pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 54

(1)
Dalam mengatasi tantangan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya, grup perusahaan multinasional yang tercakup dalam perjanjian atau kesepakatan, dapat dikenai pajak minimum global di Indonesia berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
(2)
Ketentuan mengenai pengenaan pajak minimum global berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IX
BANTUAN ATAU SUMBANGAN TERMASUK ZAKAT, INFAK, SEDEKAH, DAN SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN

Pasal 55

(1)
Bantuan atau sumbangan termasuk:
a.
zakat, infak, dan sedekah yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak; atau
b.
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak,
dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak yang bersangkutan.
(2)
Bantuan atau sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk uang atau barang.
(3)
Ketentuan mengenai bantuan atau sumbangan, termasuk zakat, infak, sedekah, atau sumbangan keagamaan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB X
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

Pasal 56

(1)
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu.
(2)
Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
(3)
Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a.
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b.
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
c.
penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d.
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(4)
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
a.
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris;
b.
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c.
olahragawan;
d.
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e.
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f.
agen iklan;
g.
pengawas atau pengelola proyek;
h.
perantara;
i.
petugas penjaja barang dagangan;
j.
agen asuransi; dan
k.
distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.

Pasal 57

(1)
Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) merupakan:
a.
Wajib Pajak orang pribadi; dan
b.
Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas, atau badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(2)
Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
a.
Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan:
1.
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
2.
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan mempertimbangkan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak badan;
b.
Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus yang menyerahkan jasa yang sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (4);
c.
Wajib Pajak badan yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
1.
Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; atau
3.
Pasal 75 dan Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus beserta perubahan atau penggantinya; dan
d.
Wajib Pajak bentuk usaha tetap.
(3)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(4)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(5)
Ketentuan mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 58

(1)
Besarnya peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang.
(2)
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami­ istri yang:
a.
menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
b.
istrinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan istri.

Pasal 59

(1)
Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) paling lama:
a.
7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b.
4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan
c.
3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
(2)
Penghitungan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
bagi Wajib Pajak yang terdaftar setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Wajib Pajak bersangkutan terdaftar;
b.
bagi Wajib Pajak badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang yang terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Peraturan Pemerintah ini berlaku.

Pasal 60

(1)
Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) setiap bulan merupakan dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2)
Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a, atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan.
(3)
Bagian peredaran bruto dari usaha tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
(4)
Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
(5)
Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dikalikan dengan:
a.
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b; atau
b.
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memperhitungkan bagian peredaran bruto dari usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a.

Pasal 61

(1)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), atas penghasilan dari usaha tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan.
(2)
Atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan:
a.
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
b.
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan mempertimbangkan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak badan.

Pasal 62

(1)
Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (5) dilunasi dengan cara:
a.
disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; atau
b.
dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan dalam hal Wajib Pajak bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut pajak.
(2)
Penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilakukan setiap bulan.
(3)
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi dengan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 63

(1)
Dalam hal Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini bertransaksi dengan pemotong atau pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan surat keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bahwa Wajib Pajak bersangkutan dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XI
PENURUNAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK BADAN DALAM NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA

Pasal 64

Tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar:
a.
22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
b.
22% (dua puluh dua persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022, sesuai dengan ketentuan Undang­-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Pasal 65

(1)
Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64:
a.
berbentuk Perseroan Terbuka;
b.
dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling rendah 40% (empat puluh persen); dan
c.
memenuhi persyaratan tertentu,
dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen) lebih rendah dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
(2)
Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a.
saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus dimiliki oleh paling sedikit 300 (tiga ratus) pihak;
b.
masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
c.
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b serta dalam huruf a dan huruf b harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak; dan
d.
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b serta dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan oleh Wajib Pajak Perseroan Terbuka dengan menyampaikan laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
(3)
Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b tidak termasuk:
a.
Wajib Pajak Perseroan Terbuka yang membeli kembali sahamnya; dan/atau
b.
yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan Wajib Pajak Perseroan Terbuka.
(4)
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b bagi Wajib Pajak Perseroan Terbuka meliputi pemegang saham pengendali dan/atau pemegang saham utama sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang­-undangan di bidang pasar modal.
(5)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak terpenuhi, Pajak Penghasilan terutang dihitung dengan menggunakan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.

Pasal 66

Dalam hal tertentu, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) huruf a dapat dikecualikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 67

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan daftar Wajib Pajak Perseroan Terbuka yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3) huruf a kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 68

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara penyampaian:
a.
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf d; dan
b.
daftar Wajib Pajak Perseroan Terbuka yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67,
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69

(1)
Penghitungan jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas yang terdaftar:
a.
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak 2018 sampai dengan:
1.
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan masih memenuhi kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; atau
2.
Wajib Pajak tidak lagi memenuhi kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, meskipun jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 1 belum berakhir; atau
b.
setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sampai dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar sampai dengan:
1.
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan masih memenuhi kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; atau
2.
Wajib Pajak tidak lagi memenuhi kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, meskipun jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 1 belum berakhir.
(2)
Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas yang terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan tidak lagi memenuhi syarat untuk menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 70

Ketentuan mengenai pembelian kembali saham yang diperjualbelikan di bursa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) berlaku sebagai berikut:
a.
Wajib Pajak dalam negeri:
1.
berbentuk Perseroan Terbuka;
2.
dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling rendah 40% (empat puluh persen); dan
3.
memenuhi persyaratan tertentu,
dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen) lebih rendah dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64;
b.
persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 3 meliputi:
1.
saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 harus dimiliki oleh paling sedikit 300 (tiga ratus) pihak;
2.
masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
3.
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 serta angka 1 dan angka 2 harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak; dan
4.
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2, serta angka 1, angka 2, dan angka 3 dilakukan Wajib Pajak Perseroan Terbuka dengan menyampaikan laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak;
c.
pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1 dan angka 2 tidak termasuk:
1.
Wajib Pajak Perseroan Terbuka yang membeli kembali sahamnya; dan/atau
2.
yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan dengan Wajib Pajak Perseroan Terbuka;
d.
dalam hal terdapat kebijakan pemerintah pusat atau lembaga yang menyelenggarakan fungsi pengawasan di bidang pasar modal untuk mengatasi kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan, Wajib Pajak Perseroan Terbuka yang membeli kembali sahamnya sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1 berdasarkan kebijakan pemerintah pusat atau lembaga dimaksud, dianggap tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1 dan angka 2;
e.
kebijakan pemerintah pusat atau lembaga yang mempunyai fungsi pengawasan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam huruf d ditetapkan dalam bentuk surat penunjukan atau surat persetujuan;
f.
pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam huruf d dilakukan paling lambat tanggal 30 September 2020;
g.
saham yang dibeli kembali sebagaimana dimaksud dalam huruf d hanya boleh dikuasai Wajib Pajak sampai dengan tanggal 30 September 2022;
h.
dalam hal setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf g, kepemilikan saham tidak memenuhi ketentuan dalam huruf a, Wajib Pajak dalam negeri berbentuk Perseroan Terbuka sebagaimana dimaksud dalam huruf d tidak dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64;
i.
anggapan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf d hanya berlaku untuk Tahun Pajak 2021 dan Tahun Pajak 2022; dan
j.
Wajib Pajak harus melampirkan laporan hasil pelaksanaan pembelian kembali saham yang diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf d sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan.

Pasal 71

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 72

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4984), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b.
ketentuan Pasal 2A Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6214), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
d.
ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6526), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
e.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6530), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 73

(1)
Ketentuan mengenai perlakuan perpajakan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 29 berlaku sebagai berikut:
a.
bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum tanggal 1 Januari 2022, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2022; dan
b.
bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya, mulai berlaku pada saat tahun buku 2022 dimaksud dimulai.
(2)
Ketentuan mengenai pemotongan Pajak Penghasilan bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dan pelaporan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan bagi penerima penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berlaku sebagai berikut:
a.
kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan mulai berlaku untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2023; dan
b.
atas penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sejak:
1.
tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 31 Desember 2022, dari pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
2.
awal tahun buku 2022 sampai dengan tanggal 31 Desember 2022, dari pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
yang belum dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan oleh pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, atas Pajak Penghasilan yang terutang wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan oleh penerima dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022.

Pasal 74

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2022
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2022
MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 231
Baca Juga : Artikel Tentang NPWP