PMK 9 Tahun 2022

SALINAN

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9/PMK.03/2021

TENTANG

INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK TERDAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

a.
bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan pemberian insentif pajak untuk mendukung penanggulangan dampak Corona Virus Disease 2019;
b.
bahwa untuk melakukan penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019, perlu dilakukan perpanjangan waktu insentif perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional dengan memberikan kemudahan pemanfaatan insentif yang lebih luas;
c.
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 dinilai masih terdapat kekurangan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17C ayat (7) dan Pasal 17D ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan dimaksud;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019;

Mengingat

1.
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
3.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
4.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
5.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
6.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
7.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
8.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485);
9.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6214);
11.
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
12.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK TERDAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
2.
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
3.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
4.
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
5.
PPh Pasal 21 adalah PPh yang dipotong berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang PPh.
6.
PPh Pasal 22 Impor adalah PPh yang dipungut berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang-Undang PPh.
7.
PPh Pasal 25 adalah PPh yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang PPh.
8.
Pemberi Kerja adalah orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan, atau unit, termasuk Instansi Pemerintah, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan/atau pembayaran lain dengan nama atau dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh Pegawai.
9.
Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada Pemberi Kerja, berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Pemberi Kerja.
10.
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut KITE adalah Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
11.
Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan fasilitas KITE sesuai perundang-undangan di bidang kepabeanan.
12.
Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
13.
Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.
14.
Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.
15.
Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.
16.
Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
17.
Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
18.
Wajib Pajak Berstatus Pusat adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir 000.
19.
Wajib Pajak Berstatus Cabang adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir selain 000.
20.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
21.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
22.
Surat Pemberitahuan Tahunan, yang selanjutnya disebut SPT Tahunan adalah surat pemberitahuan yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
23.
Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
24.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
25.
Pemotong atau Pemungut Pajak adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.
26.
Surat Keterangan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, yang selanjutnya disebut Surat Keterangan, adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
27.
Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi yang selanjutnya disebut P3-TGAI adalah program perbaikan, rehabilitasi, atau peningkatan jaringan irigasi dengan berbasis peran serta masyarakat petani yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air, Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air, atau Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air.
28.
Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut P3A adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan/petak tersier atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga lokal pengelola irigasi.
29.
Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut GP3A adalah kelembagaan sejumlah P3A yang bersepakat bekerja sama memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi.
30.
Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut IP3A adalah kelembagaan sejumlah GP3A yang bersepakat bekerja sama untuk memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok primer, gabungan beberapa blok primer, atau satu daerah irigasi.
31.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah Pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam rangka pelaksanaan P3-TGAI di Direktorat Jenderal Sumber Daya Air.
32.
Wajib Pajak Penerima P3-TGAI adalah P3A, GP3A, dan/atau IP3A yang melaksanakan P3-TGAI sebagaimana telah ditetapkan oleh PPK dan disahkan oleh Kepala Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai atau Balai Wilayah Sungai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
33.
Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
34.
Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disingkat PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
35.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
BAB II
INSENTIF PPh PASAL 21

Pasal 2

(1)
Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai wajib dipotong PPh sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh oleh Pemberi Kerja.
(2)
PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung Pemerintah atas penghasilan yang diterima Pegawai dengan kriteria tertentu.
(3)
Pegawai dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a.
menerima atau memperoleh penghasilan dari Pemberi Kerja yang:
1.
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak Yang Mendapatkan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
2.
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
3.
telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
b.
memiliki NPWP; dan
c.
pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4)
Kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 1 adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dalam:
a.
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 atau pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 yang telah dilaporkan, bagi Pemberi Kerja yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 dalam hal kode Klasifikasi Lapangan Usaha sama dengan data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile); atau
b.
data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile) bagi:
1.
Pemberi Kerja yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 namun:
a)
tidak menuliskan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019; atau
b)
salah mencantumkan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019;
2.
Wajib Pajak Berstatus Pusat yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019; atau
3.
Instansi Pemerintah.
(5)
PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibayarkan secara tunai oleh Pemberi Kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai, termasuk dalam hal Pemberi Kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai.
(6)
Dikecualikan dari diberikan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal penghasilan yang diterima Pegawai berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan PPh Pasal 21 telah ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7)
PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Pegawai dari Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.
(8)
Dalam hal Pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah menyampaikan SPT Tahunan orang pribadi Tahun Pajak 2021 dan menyatakan kelebihan pembayaran, kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah tidak dapat dikembalikan.
(9)
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

(1)
Pemberi Kerja menyampaikan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat Pemberi Kerja terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Surat Pemberitahuan Pemanfaatan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan/atau Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2)
Pemberi Kerja menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(3)
Dalam hal Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Wajib Pajak Berstatus Pusat dengan kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a angka 1 dan memiliki cabang, berlaku ketentuan:
a.
pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah baik untuk pusat maupun cabang dilakukan oleh Wajib Pajak Berstatus Pusat; dan
b.
Kode Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak Berstatus Cabang mengikuti Klasifikasi Lapangan Usaha pusatnya.
(4)
Insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), mulai dimanfaatkan sejak Masa Pajak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan.
(5)
Kepala KPP menerbitkan surat pemberitahuan:
a.
berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah dalam hal Pemberi Kerja memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a; atau
b.
tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah dalam hal Pemberi Kerja tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a,
dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Surat Pemberitahuan Berhak Memanfaatkan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan/atau Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 atau Contoh Surat Pemberitahuan Tidak Berhak Memanfaatkan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan/atau Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 4

(1)
Pemberi Kerja harus menyampaikan laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2)
Pemberi Kerja harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR … /PMK.03/2021” pada kolom uraian pembayaran Surat Setoran Pajak atau kolom uraian aplikasi pembuatan kode billing atas PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(3)
Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan data yang lengkap dan valid sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, antara lain Nama dan NPWP pegawai penerima insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah.
(4)
Pemberi Kerja yang menyampaikan laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk Wajib Pajak Berstatus Pusat dan/atau Wajib Pajak Berstatus Cabang yang telah memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah.
(5)
Pemberi Kerja harus menyampaikan laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(6)
Pemberi Kerja yang tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
(7)
Pemberi Kerja dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(8)
Pembetulan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan menggunakan format Lampiran Formulir Laporan Realisasi PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP).
(9)
Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib menyetorkan PPh Pasal 21 terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB III
INSENTIF PPh FINAL BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2018

Pasal 5

(1)
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, dikenai PPh final sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah peredaran bruto.
(2)
PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilunasi dengan cara:
a.
disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; atau
b.
dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak.
(3)
PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditanggung Pemerintah.
(4)
PPh final ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.
(5)
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan transaksi yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan PPh dengan Pemotong atau Pemungut Pajak, untuk menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wajib Pajak harus menyerahkan fotokopi Surat Keterangan dan terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
(6)
Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh terhadap Wajib Pajak yang telah menyerahkan fotokopi Surat Keterangan dan telah terkonfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7)
Contoh penghitungan PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Penghitungan PPh Final Ditanggung Pemerintah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 6

(1)
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu harus menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi PPh Final Ditanggung Pemerintah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2)
Laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh PPh final yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak termasuk dari transaksi dengan Pemotong atau Pemungut Pajak.
(3)
PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) diberikan berdasarkan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
(4)
Pemotong atau Pemungut Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR … /PMK.03/2021” pada kolom uraian pembayaran Surat Setoran Pajak atau kolom uraian aplikasi pembuatan kode billing atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).
(5)
Wajib Pajak harus menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(6)
Wajib Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
(7)
Wajib Pajak dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(8)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib menyetorkan PPh final terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(9)
Penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak yang belum memiliki Surat Keterangan, dapat diperlakukan sebagai pengajuan Surat Keterangan dan terhadap Wajib Pajak tersebut dapat diterbitkan Surat Keterangan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
BAB IV
INSENTIF PPh FINAL JASA KONSTRUKSI

Pasal 7

(1)
Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai PPh yang bersifat final.
(2)
PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilunasi dengan cara:
a.
dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan Pemotong Pajak; atau
b.
disetor sendiri oleh penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan Pemotong Pajak.
(3)
PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Penerima P3-TGAI ditanggung Pemerintah.
(4)
Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang melakukan pembayaran dalam pelaksanaan P3-TGAI kepada Wajib Pajak Penerima P3-TGAI tidak melakukan pemotongan PPh final.
(5)
PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.

Pasal 8

(1)
Pemotong Pajak harus menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi PPh Final Jasa Konstruksi Ditanggung Pemerintah (DTP) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2)
Pemotong Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh FINAL JASA KONSTRUKSI DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR … /PMK.03/2021” pada kolom uraian pembayaran Surat Setoran Pajak atau kolom uraian aplikasi pembuatan kode billing atas PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(3)
Pemotong Pajak harus menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(4)
Pemotong Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
(5)
Pemotong Pajak dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6)
Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menyetorkan PPh final terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 9

Pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja subsidi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), dan PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah.
BAB V
INSENTIF PPh PASAL 22 IMPOR

Pasal 10

(1)
PPh Pasal 22 Impor dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang.
(2)
Besarnya tarif PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Peraturan Menteri mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
(3)
PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pemungutan kepada Wajib Pajak yang:
a.
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pembebasan PPh Pasal 22 Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
b.
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
c.
telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.
(4)
Kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dalam:
a.
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 atau pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 yang telah dilaporkan, bagi Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 dalam hal kode Klasifikasi Lapangan Usaha sama dengan data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile); atau
b.
data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile) bagi:
1.
Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 namun:
a)
tidak menuliskan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019; atau
b)
salah mencantumkan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019;
2.
Wajib Pajak yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019.
(5)
Pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor.
(6)
Wajib Pajak mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan formulir sesuai contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Formulir Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7)
Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan:
a.
Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor dalam hal Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c; atau
b.
Surat Penolakan dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c,
dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Formulir Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor atau Formulir Penolakan Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(8)
Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan.
(9)
Wajib Pajak yang telah mendapatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a harus menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor setiap bulan melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi Pembebasan PPh Pasal 22 Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(10)
Wajib Pajak menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
BAB VI
INSENTIF ANGSURAN PPh PASAL 25

Pasal 11

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam Tahun Pajak berjalan yang masih harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
a.
Pasal 25 Undang-Undang PPh; dan/atau
b.
Peraturan Menteri mengenai penghitungan angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.

Pasal 12

(1)
Wajib Pajak yang:
a.
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
b.
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
c.
telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
diberikan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50% (lima puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2)
Kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dalam:
a.
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 atau pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 yang telah dilaporkan, bagi Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 dalam hal kode Klasifikasi Lapangan Usaha sama dengan data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile); atau
b.
data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile) bagi:
1.
Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 namun:
a)
tidak menuliskan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019; atau
b)
salah mencantumkan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019;
2.
Wajib Pajak yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019.
(3)
Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Surat Pemberitahuan Pemanfaatan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan/atau Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini untuk memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat pemberitahuan:
a.
berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c; atau
b.
tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c,
dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Surat Pemberitahuan Berhak Memanfaatkan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan/atau Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 atau Contoh Surat Pemberitahuan Tidak Berhak Memanfaatkan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan/atau Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 13

(1)
Dalam hal Wajib Pajak selain Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu telah memanfaatkan insentif pengurangan PPh Pasal 25 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019, besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020 disampaikan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan Tahun Pajak 2020 sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir Tahun Pajak 2020 setelah pemanfaatan insentif angsuran PPh Pasal 25.
(2)
Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) berlaku sejak:
a.
Masa Pajak SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020 dilaporkan dalam hal pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) disampaikan sebelum atau bersamaan dengan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020 dilaporkan sampai batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020; atau
b.
Masa Pajak pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) disampaikan dalam hal disampaikan setelah SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020 dilaporkan.
(3)
Bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) disampaikan.
(4)
Contoh penghitungan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Penghitungan Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 14

(1)
Wajib Pajak yang memanfaatkan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) harus menyampaikan laporan realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Realisasi Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2)
Wajib Pajak harus menyampaikan laporan realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
BAB VII
INSENTIF PPN

Pasal 15

(1)
PKP dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.
(2)
PKP yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.
memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran PPN yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
b.
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
c.
telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.
(3)
PKP harus memilih pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN pada Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk memperoleh pengembalian pendahuluan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PKP harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(5)
Kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dalam:
a.
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 atau pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 yang telah dilaporkan, bagi Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 dalam hal kode Klasifikasi Lapangan Usaha sama dengan data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile); atau
b.
data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile) bagi:
1.
Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 namun:
a)
tidak menuliskan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019; atau
b)
salah mencantumkan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019;
2.
Wajib Pajak pusat yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019.
(6)
Ketentuan mengenai Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Wajib Pajak Berstatus Pusat maupun Wajib Pajak Berstatus Cabang.
(7)
PKP yang telah mendapatkan fasilitas KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus melampirkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan.
(8)
PKP yang telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus melampirkan Keputusan Menteri mengenai izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan.
(9)
Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberikan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Surat Pemberitahuan Masa PPN termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN yang disampaikan paling lama akhir bulan setelah Masa Pajak pemberian insentif berakhir.
(10)
Termasuk yang diperhitungkan dalam pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yaitu kompensasi kelebihan pajak dari Masa Pajak sebelumnya yang diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (9).
(11)
Pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), tetap diberikan kepada PKP meskipun kelebihan pajak disebabkan adanya kompensasi Masa Pajak sebelumnya.
(12)
PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengembalian pendahuluan berdasarkan kriteria tertentu.
(13)
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (12) meliputi:
a.
PKP dimaksud tidak perlu menyampaikan permohonan penetapan sebagai PKP berisiko rendah;
b.
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan keputusan penetapan secara jabatan sebagai PKP berisiko rendah; dan
c.
PKP memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran PPN yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, fasilitas KITE atau izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB yang diberikan kepada PKP masih berlaku pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan lebih bayar restitusi.
(14)
Petunjuk bagi PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan melalui Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana tercantum dalam Lampiran Petunjuk Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Sebagai PKP Berisiko Rendah merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(15)
Tata cara atas pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penelitian terhadap pemenuhan kegiatan tertentu, dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
BAB VIII
KEWAJIBAN PEMBERI KERJA ATAU WAJIB PAJAK

Pasal 16

(1)
Pemberi Kerja atau Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 yang akan memanfaatkan insentif:
a.
PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
b.
PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3);
c.
PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3);
d.
pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3);
e.
pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); dan/atau
f.
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2),
harus telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019.
(2)
Ketentuan penyampaian SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019.

Pasal 17

Direktur Jenderal Pajak melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan, dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB IX
JANGKA WAKTU PEMBERIAN INSENTIF PAJAK

Pasal 18

(1)
Jangka waktu pemberian insentif:
a.
PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
b.
PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3);
c.
PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3);
d.
pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); dan
e.
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2),
diberikan untuk Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021.
(2)
Jangka waktu pemberian insentif pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) berlaku sampai dengan tanggal 30 Juni 2021.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19

(1)
Pemberi Kerja atau Wajib Pajak yang telah menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah, mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan:
a.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona;
b.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019; dan/atau
c.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019,
harus menyampaikan kembali permohonan dan/atau pemberitahuan berdasarkan Peraturan Menteri ini untuk dapat memanfaatkan insentif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), dan/atau Pasal 12 ayat (1).
(2)
Pemberi Kerja yang telah menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c dan belum menyampaikan laporan realisasi dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah Tahun Pajak 2020.
(3)
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang belum menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah Tahun Pajak 2020.
(4)
Pemotong Pajak yang belum menyampaikan laporan realisasi PPh final jasa konstruksi ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah Tahun Pajak 2020.
(5)
Pemberi Kerja, Wajib Pajak, atau Pemotong Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah atau insentif PPh final ditanggung Pemerintah untuk Masa Pajak yang belum dilaporkan pada Tahun Pajak 2020.
(6)
Pemberi Kerja atau Wajib Pajak dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) sejak Masa Pajak Januari 2021 dengan menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sampai dengan tanggal 15 Februari 2021.

Pasal 20

Pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah berjalan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 781) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 918), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 22

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA