PMK 172 Tahun 2023

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 172 TAHUN 2023

TENTANG

PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI YANG DIPENGARUHI HUBUNGAN ISTIMEWA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

a.
bahwa untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemudahan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa, perlu dilakukan penyesuaian pengaturan mengenai penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa;
b.
bahwa pengaturan mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan yang wajib disimpan oleh wajib pajak yang melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan tata cara pengelolaannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Tata Cara Pengelolaannya, tata cara pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama, dan tata cara pembentukan dan pelaksanaan kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) belum dapat menampung kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sehingga perlu diganti;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan Pasal 44E ayat (2) huruf d Undang­-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dan ketentuan Pasal 37 dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;

Mengingat

1.
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
3.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
4.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
5.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
6.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 231, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6836);
9.
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
10.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI YANG DIPENGARUHI HUBUNGAN ISTIMEWA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
2.
Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
3.
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
4.
Harga Transfer adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
5.
Pihak Afiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan istimewa satu sama lain.
6.
Transaksi Afiliasi adalah transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan Pihak Afiliasi.
7.
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa adalah transaksi yang meliputi Transaksi Afiliasi dan/atau transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetapi Pihak Afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi.
8.
Transaksi Independen adalah transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dan tidak dipengaruhi hubungan istimewa.
9.
Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) yang selanjutnya disebut Penentuan Harga Transfer adalah penentuan harga dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
10.
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang Tidak Dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa (Arm’s Length Principle/ALP) yang selanjutnya disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat yang dilakukan sebagaimana Transaksi Independen.
11.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
12.
Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah dokumen yang diselenggarakan oleh wajib pajak yang memuat data dan/atau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
13.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
14.
Grup Usaha adalah sekumpulan subjek pajak yang menjalankan kegiatan usaha yang terdiri dari pihak­-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
15.
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
16.
Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
17.
Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah otoritas perpajakan pada Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
18.
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) yang selanjutnya disebut Prosedur Persetujuan Bersama adalah prosedur administratif yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
19.
Pejabat Berwenang terkait pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Pejabat Berwenang adalah pejabat di Indonesia atau pejabat di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berwenang untuk melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
20.
Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh Pejabat Berwenang dari Pemerintah Indonesia dan Pejabat Berwenang dari pemerintah Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama yang telah dilaksanakan.
21.
Surat Keputusan Persetujuan Bersama adalah surat keputusan yang diterbitkan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama.
22.
Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kewarganegaraan yang menjadi wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
23.
Pemohon adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Warga Negara Indonesia.
24.
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) yang selanjutnya disebut Kesepakatan Harga Transfer adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak atau Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan untuk menyepakati kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.
25.
Naskah Kesepakatan Harga Transfer adalah dokumen yang berisi kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri mengenai kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer di muka sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha selama periode kesepakatan harga transfer serta pemberlakuan mundur.
26.
Kesepakatan Harga Transfer Unilateral adalah Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri.
27.
Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral adalah Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan 1 (satu) atau lebih Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang dilaksanakan berdasarkan permohonan Wajib Pajak dalam negeri.
28.
Periode Kesepakatan Harga Transfer adalah tahun pajak yang dicakup di dalam Kesepakatan Harga Transfer sesuai permohonan Wajib Pajak dalam negeri atau sesuai Persetujuan Bersama paling lama 5 (lima) tahun pajak setelah tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer.
29.
Pemberlakuan Mundur (Roll-back) yang selanjutnya disebut Pemberlakuan Mundur adalah pemberlakuan hasil kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer untuk tahun pajak sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer.
30.
Portal Wajib Pajak adalah sarana Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
BAB II
HUBUNGAN ISTIMEWA

Pasal 2

(1)
Hubungan istimewa merupakan hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam:
a.
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan; dan
b.
Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2)
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
a.
kepemilikan atau penyertaan modal;
b.
penguasaan; atau
c.
hubungan keluarga sedarah atau semenda.
(3)
Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dan pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan keadaan satu atau lebih pihak:
a.
mengendalikan pihak yang lain; atau
b.
tidak berdiri bebas,
dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
(4)
Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap ada dalam hal:
a.
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; atau
b.
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih atau hubungan di antara 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
(5)
Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dianggap ada dalam hal:
a.
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
b.
dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
c.
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
d.
terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih;
e.
para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu Grup Usaha yang sama; atau
f.
satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.
(6)
Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dianggap ada dalam hal terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
BAB III
PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA
Bagian Kesatu
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

Pasal 3

(1)
Wajib Pajak wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
(2)
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan untuk menentukan Harga Transfer yang wajar.
(3)
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan dengan membandingkan kondisi dan indikator harga Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dengan kondisi dan indikator harga Transaksi Independen yang sama atau sebanding.
(4)
Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal nilai indikator Harga Transfer sama dengan nilai indikator harga Transaksi Independen yang sebanding.
(5)
Indikator harga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa harga transaksi, laba kotor, atau laba operasi bersih berdasarkan nilai absolut atau nilai rasio tertentu.
Bagian Kedua
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa
Paragraf 1
Pedoman Umum

Pasal 4

(1)
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) wajib dilakukan:
a.
berdasarkan keadaan yang sebenarnya;
b.
pada saat Penentuan Harga Transfer dan/atau saat terjadinya Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa; dan
c.
sesuai dengan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2)
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara terpisah untuk setiap jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
(3)
Dalam hal terdapat dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain dalam Penentuan Harga Transfer sehingga penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha secara terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan secara andal dan akurat, penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dapat dilakukan dengan menggabungkan dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut.
(4)
Tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a.
mengidentifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi;
b.
melakukan analisis industri yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut;
c.
mengidentifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan Pihak Afiliasi dengan melakukan analisis atas kondisi transaksi;
d.
melakukan analisis kesebandingan;
e.
menentukan metode Penentuan Harga Transfer; dan
f.
menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dan menentukan Harga Transfer yang wajar.
(5)
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu harus dilakukan dengan tahapan pendahuluan dan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6)
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:
a.
transaksi jasa;
b.
transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
c.
transaksi keuangan terkait pinjaman;
d.
transaksi keuangan lainnya;
e.
transaksi pengalihan harta;
f.
restrukturisasi usaha; dan
g.
kesepakatan kontribusi biaya.
Paragraf 2
Identifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi

Pasal 5

Identifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi:
a.
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
b.
pihak-pihak yang terlibat dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
c.
bentuk hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Paragraf 3
Analisis Industri

Pasal 6

(1)
Analisis industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b merupakan analisis untuk mengidentifikasi faktor-faktor berupa:
a.
jenis produk berupa barang atau jasa;
b.
karakteristik industri dan pasar, seperti pertumbuhan pasar, segmentasi pasar, siklus pasar, teknologi, ukuran pasar, prospek pasar, rantai pasokan, dan rantai nilai;
c.
pesaing dan tingkat persaingan usaha;
d.
tingkat efisiensi dan keunggulan lokasi Wajib Pajak;
e.
keadaan ekonomi yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut, seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, suku bunga, dan nilai tukar/kurs;
f.
regulasi yang memengaruhi dan/atau menentukan keberhasilan dalam industri; dan
g.
faktor-faktor selain faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut.
(2)
Hasil analisis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam mengidentifikasi perbedaan antara kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan kondisi transaksi calon pembanding saat melakukan analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d.
Paragraf 4
Analisis atas Kondisi Transaksi

Pasal 7

(1)
Kondisi transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c merupakan karakteristik ekonomi yang relevan, berupa:
a.
ketentuan kontraktual;
b.
fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung;
c.
karakteristik produk yang ditransaksikan;
d.
keadaan ekonomi; dan
e.
strategi bisnis yang dijalankan para pihak yang bertransaksi.
(2)
Ketentuan kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan ketentuan yang dilaksanakan dan/atau berlaku bagi para pihak yang bertransaksi sesuai keadaan yang sebenarnya, baik secara tertulis atau tidak tertulis.
(3)
Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aktivitas dan/atau tanggung jawab pihak­-pihak yang bertransaksi dalam menjalankan kegiatan usaha.
(4)
Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aset berwujud, aset tidak berwujud, aset keuangan, dan/atau aset non-keuangan yang berpengaruh dalam pembentukan nilai (value creation), termasuk akses dan tingkat penguasaan pasar di Indonesia.
(5)
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dampak dari kondisi ketidakpastian dalam mencapai tujuan usaha yang ditanggung pihak-pihak yang bertransaksi.
(6)
Karakteristik produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan karakteristik spesifik dari barang atau jasa yang ditransaksikan dan secara signifikan memengaruhi penetapan harga dalam pasar terbuka.
(7)
Keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan kondisi ekonomi dari:
a.
para pihak yang bertransaksi; dan
b.
pasar tempat para pihak bertransaksi.
(8)
Strategi bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan strategi yang dijalankan perusahaan dalam menjalankan usaha di pasar terbuka.
Paragraf 5
Analisis Kesebandingan

Pasal 8

(1)
Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d dilakukan untuk menentukan kesebandingan antara Transaksi Independen dan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa atas kondisi transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(2)
Transaksi Independen sama atau sebanding dengan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) sepanjang:
a.
kondisi Transaksi Independen sama atau serupa dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji;
b.
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji, tetapi perbedaan kondisi tersebut tidak memengaruhi penentuan harga; atau
c.
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan perbedaan kondisi tersebut memengaruhi penentuan harga, tetapi penyesuaian yang akurat dapat dilakukan secara memadai terhadap Transaksi Independen untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi tersebut terhadap penentuan harga.
(3)
Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a.
memahami karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sedang diuji berdasarkan hasil identifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan Pihak Afiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c dan menentukan karakteristik usaha masing-masing pihak yang bertransaksi;
b.
mengidentifikasi keberadaan Transaksi Independen yang menjadi calon pembanding yang andal;
c.
menentukan pihak yang diuji indikator harganya dalam hal metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan merupakan metode yang berbasis laba;
d.
mengidentifikasi perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan calon pembanding;
e.
melakukan penyesuaian yang akurat secara layak atas calon pembanding untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf d terhadap indikator harga transaksi; dan
f.
menentukan Transaksi Independen yang menjadi pembanding terpilih.
(4)
Pihak yang diuji indikator harganya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pihak dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang memiliki fungsi, aset, dan risiko yang lebih sederhana dengan mempertimbangkan:
a.
penerapan metode Penentuan Harga Transfer; dan
b.
ketersediaan data,
yang paling andal dan dapat digunakan.
(5)
Pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f dapat berupa pembanding internal atau pembanding eksternal.
(6)
Pembanding internal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antara pihak yang independen dan:
a.
Wajib Pajak; atau
b.
Pihak Afiliasi yang merupakan lawan transaksi.
(7)
Pembanding eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antarpihak yang independen selain pembanding internal.
(8)
Dalam hal tersedia pembanding internal dan pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, pembanding internal yang dipilih dan digunakan sebagai pembanding.
(9)
Dalam hal tersedia lebih dari satu pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, pembanding eksternal yang berasal dari negara atau yurisdiksi yang sama dengan pihak yang diuji, dipilih dan digunakan sebagai pembanding.
Paragraf 6
Metode Penentuan Harga Transfer

Pasal 9

(1)
Metode Penentuan Harga Transfer dalam tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf e dapat berupa:
a.
metode perbandingan harga antarpihak yang independen (comparable uncontrolled price method);
b.
metode harga penjualan kembali (resale price method);
c.
metode biaya-plus (cost plus method); atau
d.
metode lainnya, seperti:
1.
metode pembagian laba (profit split method);
2.
metode laba bersih transaksional (transactional net margin method);
3.
metode perbandingan transaksi independen (comparable uncontrolled transaction method);
4.
metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation); atau
5.
metode dalam penilaian bisnis (business valuation).
(2)
Metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih berdasarkan ketepatan dan keandalan metode, yang dinilai dari:
a.
kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi;
b.
kelebihan dan kekurangan setiap metode yang dapat diterapkan;
c.
ketersediaan Transaksi Independen yang menjadi pembanding yang andal;
d.
tingkat kesebandingan antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding; dan
e.
keakuratan penyesuaian yang dibuat dalam hal terdapat perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding.
(3)
Metode perbandingan harga antarpihak yang independen (comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagai berikut:
a.
transaksi produk komoditas; dan
b.
transaksi barang atau jasa dengan karakteristik barang atau jasa yang sama atau serupa dengan karakteristik barang atau jasa pada Transaksi Independen dalam kondisi yang sebanding.
(4)
Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
a.
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan distributor atau reseller yang melakukan penjualan kembali barang atau jasa kepada pihak yang independen atau kepada Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha; dan
b.
distributor atau reseller sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan, tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, atau tidak memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap barang atau jasa yang ditransaksikan.
(5)
Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
a.
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan pabrikan atau penyedia jasa yang membeli bahan baku dan/atau faktor produksi lainnya dari pihak yang independen atau dari Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha; dan
b.
pabrikan atau penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan dan tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
(6)
Metode pembagian laba (profit split method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
a.
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan oleh para pihak yang memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
b.
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang sangat terintegrasi (highly integrated) sehingga kontribusi masing­-masing pihak yang bertransaksi tidak dapat dilakukan analisis secara terpisah; dan
c.
para pihak yang bertransaksi saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi (share the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately assume closely related risks).
(7)
Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 2 dapat dipilih sepanjang pembanding yang andal dan sebanding di tingkat harga dan laba kotor tidak tersedia dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
a.
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan oleh salah satu pihak atau para pihak yang tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
b.
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang tidak terintegrasi (non-highly integrated); dan
c.
para pihak yang bertransaksi tidak saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi (not sharing of the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah tidak menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately not assuming closely related risks).
(8)
Metode perbandingan Transaksi Independen (comparable uncontrolled transaction method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 3 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang secara komersial dinilai berdasarkan basis tertentu, berupa tingkat suku bunga, diskonto, provisi, komisi, dan persentase royalti terhadap penjualan atau laba operasi.
(9)
Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 4 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa berupa:
a.
transaksi pengalihan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud;
b.
transaksi penyewaan harta berwujud;
c.
transaksi sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
d.
transaksi pengalihan aset keuangan;
e.
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan wilayah pertambangan dan/atau hak sejenis lainnya; dan
f.
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan perkebunan, kehutanan, dan/atau hak sejenis lainnya.
(10)
Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa berupa:
a.
transaksi sehubungan dengan restrukturisasi usaha, termasuk pengalihan fungsi, aset, dan/atau risiko antar-Pihak Afiliasi;
b.
transaksi pengalihan harta selain kas kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal (inbreng); dan
c.
transaksi pengalihan harta selain kas kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dari perseroan, persekutuan, atau badan lainnya.
(11)
Kontribusi yang unik dan bernilai sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a merupakan kontribusi yang:
a.
lebih signifikan dari kontribusi yang diberikan oleh pihak yang independen dalam kondisi yang sebanding; dan
b.
menjadi sumber utama manfaat ekonomi aktual atau potensial dalam kegiatan usaha.
(12)
Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau ayat (1) huruf d angka 3 dan metode yang lain dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau ayat (1) huruf d angka 3 lebih diutamakan daripada metode yang lain.
(13)
Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (1) huruf c, ayat (1) huruf d angka 1, dan ayat (1) huruf d angka 2 dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau ayat (1) huruf c lebih diutamakan daripada metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 dan ayat (1) huruf d angka 2.
Paragraf 7
Penerapan Metode Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer yang Wajar

Pasal 10

(1)
Metode perbandingan harga antarpihak yang independen (comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dilakukan dengan membandingkan harga antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan Transaksi Independen.
(2)
Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengurangkan laba kotor yang wajar untuk distributor atau reseller terhadap harga jual kembali.
(3)
Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar pabrikan atau penyedia jasa terhadap harga pokok penjualan barang atau jasa.
(4)
Metode pembagian laba (profit split method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 1 dilakukan dengan membagi laba gabungan transaksi yang relevan berdasarkan fungsi, aset, risiko, dan/atau kontribusi para pihak di dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
(5)
Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 2 dilakukan dengan membandingkan tingkat laba operasi bersih pihak yang diuji dengan tingkat laba operasi bersih pembanding.
(6)
Metode perbandingan Transaksi Independen (comparable uncontrolled transaction) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 3 dilakukan dengan membandingkan harga atau laba transaksi terhadap basis tertentu antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen.
(7)
Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 4 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian untuk tujuan perpajakan.
(8)
Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 5 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian untuk tujuan perpajakan.

Pasal 11

(1)
Pembagian laba gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dapat dilakukan di tingkat laba kotor atau laba operasi bersih.
(2)
Tingkat laba gabungan yang dibagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh tingkat integrasi fungsi, penggunaan aset, dan/atau pembagian risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi dari para pihak yang bertransaksi dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
(3)
Laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibagi dengan menggunakan:
a.
pendekatan berbasis kontribusi (contribution analysis); atau
b.
pendekatan berbasis laba residu (residual analysis).
(4)
Pendekatan berbasis kontribusi (contribution analysis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan membagi laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan faktor pembagi.
(5)
Pendekatan berbasis laba residu (residual analysis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan memisahkan laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi:
a.
laba yang berasal dari kontribusi masing-masing pihak yang bertransaksi yang dapat diperoleh secara andal pembandingnya dalam Transaksi Independen; dan
b.
sisa laba gabungan setelah dikurangi laba sebagaimana dimaksud dalam huruf a, yang dapat bernilai positif ataupun negatif.
(6)
Sisa laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dibagi berdasarkan faktor pembagi.
(7)
Faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) dapat berupa:
a.
persentase pembagian laba oleh pihak-pihak dalam Transaksi Independen yang sebanding; atau
b.
nilai relatif atau persentase kontribusi para pihak yang bertransaksi dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, dalam hal data sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak tersedia.
(8)
Faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
terbebas dari Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
b.
dapat diverifikasi; dan
c.
didukung oleh data pembanding atau data internal pihak-pihak yang bertransaksi dan/atau data lainnya yang relevan.

Pasal 12

(1)
Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dapat berupa:
a.
titik kewajaran (arm’s length point); atau
b.
titik di dalam rentang kewajaran (arm’s length range).
(2)
Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk berdasarkan data pembanding tahun tunggal (single year).
(3)
Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk berdasarkan data pembanding tahun jamak (multiple year) sepanjang dapat meningkatkan kesebandingan.
(4)
Data pembanding tahun tunggal (single year) atau tahun jamak (multiple year) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan data yang tersedia dan paling mendekati pada saat Penentuan Harga Transfer dan/atau terjadinya Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
(5)
Titik kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan titik indikator harga yang terbentuk dari satu atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang sama.
(6)
Rentang kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan rentang indikator harga yang terbentuk dari dua atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang berbeda, berupa:
a.
nilai minimum sampai dengan nilai maksimum (full range), dalam hal terbentuk dari dua pembanding; atau
b.
nilai kuartil satu sampai dengan nilai kuartil tiga (interquartile range), dalam hal terbentuk dari tiga atau lebih pembanding.
(7)
Dalam hal Harga Transfer tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Penentuan Harga Transfer dilakukan sebagaimana penentuan harga dalam Transaksi Independen dengan menggunakan:
a.
titik kewajaran;
b.
titik yang paling tepat di dalam rentang kewajaran sesuai kesebandingannya; atau
c.
titik tengah (median) di dalam rentang kewajaran, dalam hal tidak dapat ditentukan titik paling tepat sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
Paragraf 8
Tahapan Pendahuluan

Pasal 13

(1)
Tahapan pendahuluan untuk transaksi jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf a meliputi pembuktian bahwa jasa tersebut:
a.
secara nyata telah diberikan oleh pemberi jasa dan diperoleh penerima jasa;
b.
dibutuhkan oleh penerima jasa;
c.
memberikan manfaat ekonomis kepada penerima jasa;
d.
bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham atau jenis kepemilikan lainnya yang modalnya tidak terbagi atas saham (shareholder activity);
e.
bukan merupakan aktivitas yang memberikan manfaat kepada suatu pihak semata-mata karena pihak tersebut menjadi bagian dari Grup Usaha (passive association);
f.
bukan merupakan duplikasi atas kegiatan yang telah dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak;
g.
bukan merupakan jasa yang memberi manfaat insidental; dan
h.
dalam hal jasa siaga (on-call services), bukan merupakan jasa yang dapat diperoleh segera dari pihak yang independen tanpa adanya perjanjian siaga (on-call contract) terlebih dahulu.
(2)
Biaya sehubungan dengan transaksi jasa yang tidak memenuhi pembuktian bahwa jasa tersebut bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham atau jenis kepemilikan lainnya yang modalnya tidak terbagi atas saham (shareholder activity) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa:
a.
biaya jasa terkait administrasi entitas induk, seperti biaya sehubungan rapat pemegang saham entitas induk, biaya jasa sehubungan penerbitan saham entitas induk, biaya jasa sehubungan pencatatan saham entitas induk di bursa efek, dan biaya jasa sehubungan dengan terkait pengurus entitas induk;
b.
biaya jasa terkait kewajiban pelaporan entitas induk, termasuk biaya jasa penyusunan laporan keuangan, biaya jasa penyusunan laporan audit, dan biaya jasa penyusunan laporan keuangan konsolidasi entitas induk;
c.
biaya jasa terkait perolehan dana atau modal yang digunakan untuk pengambilalihan kepemilikan oleh entitas induk;
d.
biaya jasa terkait kepatuhan entitas induk terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.
biaya jasa terkait perlindungan kepemilikan modal entitas induk pada perusahaan anak; dan
f.
biaya jasa terkait tata kelola Grup Usaha secara keseluruhan.
(3)
Tahapan pendahuluan untuk transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf b meliputi pembuktian atas:
a.
keberadaan (eksistensi) harta tidak berwujud;
b.
jenis harta tidak berwujud;
c.
nilai harta tidak berwujud;
d.
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara legal;
e.
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara ekonomis;
f.
penggunaan atau hak untuk menggunakan harta tidak berwujud;
g.
pihak-pihak yang berkontribusi dan melakukan aktivitas pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, proteksi, dan eksploitasi (development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation) atas harta tidak berwujud; dan
h.
manfaat ekonomis yang diperoleh pihak yang menggunakan harta tidak berwujud.
(4)
Tahapan pendahuluan untuk transaksi keuangan terkait pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf c meliputi pembuktian bahwa pinjaman tersebut:
a.
sesuai dengan substansi dan keadaan sebenarnya;
b.
dibutuhkan oleh peminjam;
c.
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan;
d.
memenuhi karakteristik pinjaman, minimal berupa:
1.
kreditur mengakui pinjaman secara ekonomis dan secara legal;
2.
adanya tanggal jatuh tempo pinjaman;
3.
adanya kewajiban untuk membayar kembali pokok pinjaman;
4.
adanya pembayaran sesuai jadwal pembayaran yang telah ditetapkan baik untuk pokok pinjaman dan imbal hasilnya;
5.
pada saat pinjaman diperoleh, peminjam memiliki kemampuan untuk:
a)
mendapatkan pinjaman dari kreditur independen; dan
b)
membayar kembali pokok pinjaman dan imbal hasil pinjaman sebagaimana debitur independen;
6.
didasarkan pada perjanjian pinjaman yang dibuat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7.
adanya konsekuensi hukum apabila peminjam gagal dalam mengembalikan pokok pinjaman dan/atau imbal hasilnya; dan
8.
adanya hak tagih bagi pemberi pinjaman sebagaimana kreditur independen; dan
e.
memberikan manfaat ekonomis kepada penerima pinjaman.
(5)
Tahapan pendahuluan untuk transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf d meliputi pembuktian atas:
a.
kesesuaian transaksi keuangan lainnya dengan substansi dan keadaan yang sebenarnya;
b.
jenis transaksi keuangan lainnya;
c.
pengakuan secara ekonomis dan secara legal oleh para pihak yang melakukan transaksi keuangan lainnya;
d.
motif, tujuan, dan alasan ekonomis (economic rationale) transaksi keuangan lainnya; dan
e.
manfaat yang diharapkan (expected benefit) dari transaksi keuangan lainnya.
(6)
Tahapan pendahuluan untuk transaksi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf e meliputi pembuktian atas:
a.
motif, tujuan, dan alasan ekonomis (economic rationale) transaksi pengalihan harta;
b.
pengalihan harta sesuai dengan substansi dan keadaan yang sebenarnya;
c.
manfaat yang diharapkan (expected benefit) dari pengalihan harta; dan
d.
pengalihan harta tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia.
(7)
Tahapan pendahuluan untuk restrukturisasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf f meliputi pembuktian atas:
a.
motif, tujuan, dan alasan ekonomis (economic rationale) dari restrukturisasi usaha;
b.
restrukturisasi usaha sesuai dengan substansi dan keadaan yang sebenarnya;
c.
manfaat yang diharapkan (expected benefit) dari restrukturisasi usaha; dan
d.
restrukturisasi usaha tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia.
(8)
Tahapan pendahuluan untuk kesepakatan kontribusi biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf g meliputi pembuktian bahwa kesepakatan kontribusi biaya tersebut:
a.
dibuat sebagaimana kesepakatan antarpihak yang independen;
b.
dibutuhkan oleh pihak yang melakukan kesepakatan; dan
c.
memberikan manfaat ekonomis kepada pihak yang melakukan kesepakatan.
(9)
Tahapan pendahuluan meliputi pembuktian atas manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ayat (3) huruf h, ayat (4) huruf e, ayat (5) huruf e, ayat (6) huruf c, ayat (7) huruf c, ayat (8) huruf c berupa peningkatan penjualan, penurunan biaya, perlindungan atas posisi komersial, atau pemenuhan kebutuhan kegiatan komersial lainnya termasuk untuk kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Pasal 14

Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).
Bagian Ketiga
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa atas Wajib Pajak Dalam Negeri yang Memenuhi Ketentuan Sebagai Bentuk Usaha Tetap

Pasal 15

(1)
Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penentuan bentuk usaha tetap, Wajib Pajak dalam negeri tersebut juga ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap.
(2)
Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri yang terkait dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap.
(3)
Penyampaian seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
(4)
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan dalam menentukan nilai transaksi bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5)
Dalam hal bentuk usaha tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai transaksi ditentukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(6)
Pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang sebelumnya telah dilaksanakan Wajib Pajak dalam negeri diperhitungkan dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7)
Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB IV
DOKUMENTASI PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA

Pasal 16

(1)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyelenggarakan dan menyimpan dokumen yang memuat data dan/atau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2)
Dokumen yang memuat data dan/atau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Dokumen Penentuan Harga Transfer yang terdiri atas:
a.
dokumen induk;
b.
dokumen lokal; dan
c.
laporan per negara.
(3)
Wajib Pajak yang melakukan Transaksi Afiliasi dengan:
a.
nilai peredaran bruto tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
b.
nilai Transaksi Afiliasi tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak:
1.
lebih dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi barang berwujud; atau
2.
lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau
c.
Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif pajak penghasilan lebih rendah daripada tarif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan,
wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b sebagai bagian dari kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
(4)
Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas induk dari suatu Grup Usaha yang memiliki peredaran bruto konsolidasi paling sedikit Rp11.000.000.000.000,00 (sebelas triliun rupiah) pada tahun pajak sebelum tahun pajak yang dilaporkan wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c sebagai bagian dari kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5)
Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai entitas konstituen dan entitas induk dari Grup Usaha merupakan subjek pajak luar negeri, Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sepanjang negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili:
a.
tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara;
b.
tidak memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan; atau
c.
memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan, namun laporan per negara tidak dapat diperoleh Pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut.
(6)
Batasan nilai peredaran bruto dan nilai Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan cara disetahunkan dalam hal tahun pajak diperolehnya peredaran bruto dan/atau dilakukannya Transaksi Afiliasi meliputi jangka waktu kurang dari 12 (dua belas) bulan.
(7)
Dalam hal Wajib Pajak memiliki Transaksi Afiliasi namun tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau ayat (5), Wajib Pajak tetap diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(8)
Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah, batasan nilai uang dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) setara dengan nilai mata uang selain rupiah berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk penghitungan pajak pada akhir tahun pajak.
(9)
Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) merupakan penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
(10)
Contoh penentuan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 17

(1)
Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b, wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan Transaksi Afiliasi.
(2)
Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak.

Pasal 18

(1)
Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b harus tersedia paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.
(2)
Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c harus tersedia paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak.
(3)
Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan surat pernyataan mengenai saat tersedianya Dokumen Penentuan Harga Transfer tersebut yang ditandatangani oleh pihak yang menyediakan Dokumen Penentuan Harga Transfer.

Pasal 19

(1)
Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dibuat ikhtisar.
(2)
Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan sebagai lampiran surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan tahun pajak yang bersangkutan.
(3)
Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c wajib disampaikan sebagai lampiran surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan tahun pajak berikutnya.
(4)
Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 20

(1)
Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) merupakan entitas yang:
a.
memiliki secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha;
b.
mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dan/atau berdasarkan ketentuan yang mengikat emiten bursa efek di Indonesia; dan
c.
tidak dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain dalam Grup Usaha atau dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain, tetapi entitas konstituen lain tersebut tidak diwajibkan mengonsolidasi laporan keuangan entitas induk dimaksud.
(2)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan menunjuk entitas konstituen lainnya untuk menggantikannya dalam memenuhi kewajiban penyampaian laporan per negara, baik di Indonesia maupun di negara atau yurisdiksi lainnya.

Pasal 21

(1)
Entitas konstituen sebagaimana dimaksud dalam 16 ayat (5) merupakan:
a.
setiap entitas usaha terpisah yang merupakan anggota Grup Usaha multinasional dan dimasukkan dalam laporan keuangan konsolidasi entitas induk untuk keperluan pelaporan keuangan;
b.
setiap entitas usaha yang merupakan anggota Grup Usaha multinasional yang tidak dimasukkan dalam laporan keuangan konsolidasi semata-mata karena pertimbangan ukuran usaha atau materialitas; dan/atau
c.
setiap bentuk usaha tetap dari entitas usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b sepanjang bentuk usaha tetap tersebut memiliki laporan keuangan yang terpisah untuk keperluan pelaporan keuangan, pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, pelaporan pajak, atau untuk tujuan pengendalian manajemen perusahaan.
(2)
Dalam hal entitas induk dari Grup Usaha yang merupakan subjek pajak luar negeri telah menunjuk entitas konstituen lainnya di luar negeri sebagai pengganti entitas induk, Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) tidak diwajibkan menyampaikan laporan per negara sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
Wajib Pajak dalam negeri menyampaikan pemberitahuan mengenai entitas konstituen lainnya yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
b.
negara atau yurisdiksi tempat entitas konstituen lainnya yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk tersebut berdomisili:
1.
mewajibkan penyampaian laporan per negara; dan
2.
memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement) serta laporan per negara dapat diperoleh Pemerintah Indonesia dari negara mitra atau yurisdiksi mitra dimaksud.
(3)
Entitas konstituen yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu-satunya entitas konstituen yang ditunjuk untuk menggantikan entitas induk tersebut dalam menyampaikan laporan per negara kepada otoritas pajak di negara atau yurisdiksi tempat anggota Grup Usaha yang ditunjuk dimaksud berdomisili.
(4)
Dalam hal terdapat lebih dari satu Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas konstituen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri dapat menunjuk salah satu entitas konstituen yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri untuk menyampaikan laporan per negara ke Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 22

(1)
Entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) merupakan entitas yang:
a.
memiliki secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha multinasional;
b.
mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan atau ketentuan yang berlaku di negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili;
c.
tidak dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain dalam Grup Usaha multinasional atau dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain, tetapi entitas konstituen lain tersebut tidak diwajibkan mengonsolidasi laporan keuangan entitas induk dimaksud; dan
d.
memiliki peredaran bruto konsolidasi pada tahun pajak sebelum tahun pajak yang dilaporkan paling sedikit:
1.
setara dengan €750,000,000.00 (tujuh ratus lima puluh juta euro) berdasarkan nilai tukar mata uang fungsional entitas induk dimaksud dalam hal negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara; atau
2.
sebesar batasan peredaran bruto konsolidasi yang menjadi dasar penentuan kewajiban penyampaian laporan per negara sebagaimana diatur di negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili.
(2)
Negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili yang tidak memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) huruf b merupakan negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili yang memiliki perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan dengan Pemerintah Indonesia tetapi tidak memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement).
(3)
Kondisi laporan per negara tidak dapat diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) huruf c disebabkan oleh tidak dapat diperolehnya laporan per negara melalui pertukaran informasi secara otomatis karena:
a.
adanya penundaan pertukaran laporan per negara secara otomatis karena hal-hal selain yang diatur dalam persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement); atau
b.
terjadinya kegagalan secara berulang untuk mempertukarkan laporan per negara secara otomatis dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra.
(4)
Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) harus menyampaikan laporan per negara dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diumumkannya daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra yang laporan per negaranya tidak dapat diperoleh.
(5)
Dalam hal laporan per negara tidak disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak melalui pejabat berwenang yang membidangi pertukaran informasi berwenang meminta Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) untuk menyampaikan laporan per negara.

Pasal 23

(1)
Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan anggota Grup Usaha atau yang memiliki Transaksi Afiliasi yang tercakup dalam laporan per negara wajib menyampaikan notifikasi ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak.
(2)
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewajiban penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan ayat (5), Wajib Pajak dimaksud wajib menyampaikan laporan per negara bersamaan dengan penyampaian notifikasi ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak.
(3)
Laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dilampiri kertas kerja laporan per negara.
(4)
Notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam batas waktu paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak.
(5)
Terhadap penyampaian notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan tanda terima.
(6)
Tanda terima penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan sebagai pengganti laporan per negara, yang harus dilampirkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3).
(7)
Dalam hal terdapat kesalahan dalam penyampaian laporan per negara, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak mengenai kesalahan dalam penyampaian laporan per negara.
(8)
Atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau atas kemauan sendiri, Wajib Pajak dapat menyampaikan pembetulan laporan per negara dengan menyampaikan kembali laporan per negara yang telah dibetulkan.

Pasal 24

(1)
Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) berisi pernyataan mengenai:
a.
identifikasi Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas induk;
b.
identifikasi Wajib Pajak dalam negeri yang bukan merupakan entitas induk; dan
c.
pernyataan kewajiban penyampaian laporan per negara.
(2)
Notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 25

(1)
Laporan per negara yang disampaikan oleh:
a.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak Wajib Pajak dimaksud; atau
b.
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri.
(2)
Laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diselenggarakan melalui pembentukan kertas kerja laporan per negara dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan ekstensi extensible markup language (xml).

Pasal 26

(1)
Direktur Jenderal Pajak melakukan pertukaran laporan per negara secara otomatis dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement).
(2)
Pelaksanaan pertukaran laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat berwenang yang membidangi pertukaran informasi.

Pasal 27

Dalam rangka pelaksanaan kewajiban penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Direktur Jenderal Pajak mengumumkan daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memiliki:
a.
perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan;
b.
persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement); dan
c.
persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement) tetapi laporan per negara tidak dapat diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3),
di laman resmi Direktorat Jenderal Pajak pada setiap akhir tahun atau setiap terjadi perubahan daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.

Pasal 28

Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 23 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 29

(1)
Dokumen induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a harus memuat informasi mengenai Grup Usaha paling sedikit sebagai berikut:
a.
struktur dan bagan kepemilikan serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota;
b.
kegiatan usaha yang dilakukan;
c.
harta tidak berwujud yang dimiliki;
d.
aktivitas keuangan dan pembiayaan; dan
e.
laporan keuangan konsolidasi entitas induk dan informasi perpajakan terkait Transaksi Afiliasi.
(2)
Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 30

(1)
Dokumen lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b harus memuat informasi mengenai Wajib Pajak paling sedikit sebagai berikut:
a.
identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan;
b.
informasi Transaksi Afiliasi dan Transaksi Independen yang dilakukan;
c.
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
d.
informasi keuangan; dan
e.
peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian/fakta-fakta non-keuangan yang memengaruhi pembentukan harga atau tingkat laba.
(2)
Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3)
Dalam hal Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu kegiatan usaha dengan karakterisasi usaha yang berbeda, dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disajikan secara tersegmentasi sesuai dengan karakterisasi usaha yang dimiliki.

Pasal 31

(1)
Laporan per negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c harus memuat informasi sebagai berikut:
a.
alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi, penghasilan bruto, laba (rugi) sebelum pajak, pajak penghasilan yang telah dipotong, dipungut, atau dibayar sendiri, pajak penghasilan terutang, modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara kas; dan
b.
daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi.
(2)
Laporan per negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3)
Laporan per negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan hanya dalam rangka penilaian risiko penghindaran pajak.
(5)
Sebelum menyusun laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyusun kertas kerja laporan per negara.
(6)
Kertas kerja laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 32

(1)
Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dibuat oleh Wajib Pajak dalam bahasa Indonesia.
(2)
Wajib Pajak dapat membuat Dokumen Penentuan Harga Transfer dalam bahasa asing setelah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah.
(3)
Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dokumen Penentuan Harga Transfer dibuat sesuai dengan bahasa asing yang tercantum dalam izin penyelenggaraan pembukuan dimaksud dan disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Pasal 33

Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c diterima dan dikelola secara khusus oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 34

(1)
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan permintaan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b.
(2)
Wajib Pajak wajib menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer paling lama 1 (satu) bulan sejak disampaikan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengawasan kepatuhan dan Pemeriksaan.
(3)
Wajib Pajak menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer sehubungan dengan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan selain dalam rangka pengawasan kepatuhan dan Pemeriksaan.

Pasal 35

Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB V
PENGUJIAN KEPATUHAN PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA

Pasal 36

(1)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak melalui pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2)
Pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengujian atas:
a.
pemenuhan ketentuan penyelenggaraan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3); dan
b.
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3)
Terhadap Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan menelusuri kebenaran Dokumen Penentuan Harga Transfer dibandingkan dengan keadaan sebenarnya dari Wajib Pajak.
(4)
Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan menelusuri keadaan sebenarnya dari Wajib Pajak.
(5)
Dalam hal berdasarkan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui bahwa:
a.
Wajib Pajak tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3);
b.
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang dilakukan Wajib Pajak tidak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
c.
Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
d.
Harga Transfer yang ditentukan Wajib Pajak tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4),
Direktur Jenderal Pajak menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6)
Penentuan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan:
a.
menentukan Harga Transfer sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak; dan
b.
mempertimbangkan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Wajib Pajak yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 37

(1)
Dalam hal pada saat:
a.
Direktur Jenderal Pajak menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5); atau
b.
Wajib Pajak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
ditemukan selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, selisih tersebut merupakan pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen.
(2)
Pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang perpajakan.
(3)
Pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pajak penghasilan pada saat:
a.
dibayarkannya penghasilan tersebut;
b.
disediakan untuk dibayarkannya penghasilan tersebut; atau
c.
jatuh temponya pembayaran penghasilan tersebut,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dalam hal:
a.
terjadi penambahan dan/atau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
b.
Wajib Pajak menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).
(5)
Penambahan dan/atau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih sebagaimana ayat (4) huruf a dilakukan sebelum terbitnya surat ketetapan pajak.

Pasal 38

(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) berlaku untuk:
a.
transaksi dalam bentuk transaksi lintas batas negara maupun transaksi dalam negeri; dan
b.
seluruh bentuk hubungan istimewa.
(2)
Terhadap pengenaan pajak penghasilan atas pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dapat memperoleh manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Pasal 39

(1)
Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagai dasar untuk menghitung pajak pertambahan nilai yang terutang.
(2)
Penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam hal harga jual atau penggantian tersebut lebih rendah dari harga pasar wajar.
(3)
Penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dalam hal terdapat Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) yang dapat dialokasikan pada setiap transaksi penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak.
(4)
Penyesuaian terhadap harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada pengusaha kena pajak penjual atau penyedia jasa tidak mengakibatkan penyesuaian pajak masukan bagi pengusaha kena pajak pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak.
(5)
Pengusaha kena pajak pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dapat mengkreditkan pajak pertambahan nilai yang tercantum dalam faktur pajak yang diterbitkan oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan pajak masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak pertambahan nilai.
BAB VI
PENYESUAIAN KETERKAITAN

Pasal 40

(1)
Dalam hal terdapat:
a.
Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Pemeriksaan; atau
b.
koreksi Penentuan Harga Transfer oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atas subjek pajak luar negeri,
yang menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi dapat melakukan penyesuaian keterkaitan.
(2)
Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyesuaian materi Penentuan Harga Transfer dalam penghitungan penghasilan kena pajak Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi:
a.
Wajib Pajak dalam negeri yang dilakukan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
b.
subjek pajak luar negeri yang dilakukan koreksi Penentuan Harga Transfer oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(3)
Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang dilakukan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6):
a.
menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
b.
tidak mengajukan upaya hukum terkait surat ketetapan pajak,
atas materi Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak terkait Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.
(4)
Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan:
a.
pembetulan surat pemberitahuan tahunan dengan memperhitungkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dilakukan Pemeriksaan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi;
b.
penerbitan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan Pemeriksaan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi; atau
c.
pembetulan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah diterbitkan surat ketetapan pajak dan tidak mengajukan upaya hukum atas materi penyesuaian keterkaitan serta ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi.
(5)
Pembetulan surat pemberitahuan tahunan, penerbitan surat ketetapan pajak, dan pembetulan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(6)
Pembetulan surat pemberitahuan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dengan disertai pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai informasi Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(7)
Penyesuaian keterkaitan melalui penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dalam hal:
a.
Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6); atau
b.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan sesuai informasi Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak.
(8)
Penyesuaian keterkaitan melalui pembetulan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(9)
Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c didahului dengan pemberitahuan secara tertulis Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai informasi Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(10)
Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (9) serta pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat disampaikan:
a.
secara langsung;
b.
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
c.
secara elektronik.
(11)
Penyampaian pemberitahuan secara tertulis dan pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(12)
Tata cara penyampaian pemberitahuan secara tertulis dan pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
(13)
Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui Prosedur Persetujuan Bersama.
BAB VII
PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA
Bagian Kesatu
Pengajuan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama

Pasal 41

(1)
Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(2)
Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
(3)
Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan permintaan:
a.
Wajib Pajak dalam negeri;
b.
Warga Negara Indonesia;
c.
Direktur Jenderal Pajak; atau
d.
Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda melalui Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(4)
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Pejabat Berwenang Indonesia dalam rangka penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (13).
(5)
Selain penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a juga dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal terjadi perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(6)
Perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri atas:
a.
pengenaan pajak oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang mengakibatkan terjadinya pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh:
1.
koreksi Penentuan Harga Transfer;
2.
koreksi terkait keberadaan dan/atau laba bentuk usaha tetap; dan/atau
3.
koreksi objek pajak penghasilan lainnya;
b.
pengenaan pajak termasuk pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
c.
penentuan status sebagai subjek pajak dalam negeri oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
d.
diskriminasi perlakuan perpajakan di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan/atau
e.
penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(7)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan atas segala bentuk perlakuan diskriminatif di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(8)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat diajukan dalam rangka:
a.
menindaklanjuti usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri; dan/atau
b.
menindaklanjuti permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam negeri sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer.
(9)
Usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a dapat diajukan dalam hal menurut Wajib Pajak dalam negeri terjadi perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(10)
Perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdiri atas:
a.
pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6); dan/atau
b.
perbedaan penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(11)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negeri untuk mengajukan:
a.
permohonan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b.
permohonan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
c.
permohonan banding sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
d.
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang­ Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
e.
permohonan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak.
(12)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menunda:
a.
kewajiban membayar pajak yang terutang;
b.
pelaksanaan penagihan pajak; dan
c.
pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 42

(1)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b.
mengemukakan ketidaksesuaian penerapan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Pemohon;
c.
diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau paling lambat 3 (tiga) tahun dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, terhitung sejak:
1.
tanggal surat ketetapan pajak;
2.
tanggal bukti pembayaran, pemotongan, atau pemungutan pajak penghasilan; atau
3.
saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
d.
ditandatangani oleh Pemohon atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
e.
dilampiri dengan:
1.
surat keterangan domisili atau dokumen lain yang berisi identitas wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (6) huruf a dan huruf b;
2.
daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon yang menunjukkan bahwa perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau perlakuan diskriminatif di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (6) dan Pasal 41 ayat (7); dan/atau
3.
surat pernyataan yang menyatakan kesediaan Pemohon untuk menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 2 secara lengkap dan tepat waktu.
(2)
Usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b.
mengemukakan perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Wajib Pajak dalam negeri;
c.
diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau paling lambat 3 (tiga) tahun dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, terhitung sejak saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
d.
ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam negeri atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
e.
dilampiri dengan bukti yang menunjukkan terjadinya perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(3)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(4)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d, dan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui:
a.
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak dalam negeri terdaftar, dalam hal Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri; atau
b.
Direktorat Perpajakan Internasional, dalam hal:
1.
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Warga Negara Indonesia;
2.
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; atau
3.
usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a oleh Wajib Pajak dalam negeri.
(5)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d, serta usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a dapat diajukan:
a.
secara langsung; atau
b.
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(6)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf b dan huruf d, serta usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a juga dapat diajukan melalui pos elektronik.
(7)
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a juga dapat diajukan secara elektronik.
(8)
Pengajuan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(9)
Tata cara pengajuan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
(10)
Surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
a.
Lampiran huruf I.1., untuk Pemohon Wajib Pajak dalam negeri; atau
b.
Lampiran huruf I.2., untuk Pemohon Warga Negara Indonesia,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(11)
Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 3 dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I.3. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Kedua
Penanganan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama

Pasal 43

(1)
Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap:
a.
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d; dan
b.
usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a.
(2)
Penelitian terhadap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan atas:
a.
kelengkapan pemenuhan persyaratan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) atau ayat (3); dan
b.
kesesuaian materi yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dengan perlakuan perpajakan yang dapat diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d, ayat (6), atau ayat (7),
untuk menentukan dapat atau tidaknya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama ditindaklanjuti.
(3)
Penelitian terhadap usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan atas:
a.
kelengkapan pemenuhan persyaratan pengajuan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2); dan
b.
kesesuaian materi yang diajukan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dengan perlakuan perpajakan yang dapat diajukan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (9),
untuk menentukan dapat atau tidaknya usulan ditindaklanjuti menjadi permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(4)
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dengan menerbitkan:
a.
pemberitahuan tertulis kepada Pemohon bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
b.
surat penolakan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pemohon yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/atau tidak memenuhi kesesuaian materi,
dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
(5)
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan menerbitkan:
a.
pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
b.
surat penolakan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/atau kesesuaian materi,
dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
(6)
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan menerbitkan:
a.
pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak dalam negeri bahwa usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
b.
surat penolakan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Wajib Pajak dalam negeri yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/atau tidak memenuhi kesesuaian materi,
dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
(7)
Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama atau usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dianggap dapat ditindaklanjuti dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) terlampaui.
(8)
Dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan ayat (6) huruf a tidak mendapatkan jawaban tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dalam batas waktu paling lama 8 (delapan) bulan sejak disampaikan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
a.
Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak dapat ditindaklanjuti; dan
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dicabut.
(9)
Atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, Pemohon dapat mengajukan kembali permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama atau Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan kembali usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sepanjang batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c atau Pasal 42 ayat (2) huruf c belum terlampaui.

Pasal 44

(1)
Dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a, Pemohon harus menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang tercantum dalam daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e angka 2 kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktorat Perpajakan Internasional.
(2)
Penyampaian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy).
(3)
Pemohon harus menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) bulan setelah:
a.
tanggal diterbitkannya pemberitahuan tertulis bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a; atau
b.
terlampauinya batas waktu 1 (satu) bulan sehingga permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (7).
(4)
Informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
a.
secara langsung;
b.
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
c.
melalui pos elektronik.

Pasal 45

(1)
Dalam rangka pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak melakukan perundingan dengan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(2)
Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan korespondensi, pengujian material, dan pertemuan Pejabat Berwenang dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(3)
Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak:
a.
diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d; atau
b.
diajukannya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a dan Pasal 43 ayat (6) huruf a.
(4)
Jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 24 (dua puluh empat) bulan untuk setiap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
(5)
Perpanjangan jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sebelum jangka waktu perundingan berakhir dalam hal telah dihasilkan kesepakatan awal yang termuat dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lainnya mengenai:
a.
keberadaan transaksi, pemilihan pendekatan analisis transaksi, pemilihan pihak yang diuji, pemilihan metode Penentuan Harga Transfer, dan pemilihan indikator harga atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama terkait koreksi Penentuan Harga Transfer atau terkait Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; atau
b.
penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(6)
Perpanjangan jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lain dalam periode 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 46

(1)
Dalam rangka pengujian material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
a.
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e angka 2 atau Pasal 42 ayat (2) huruf e kepada:
1.
Pemohon;
2.
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan/atau
3.
pihak terkait lainnya;
b.
melakukan pembahasan dengan Pemohon, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d, dan/atau pihak terkait lainnya;
c.
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Pemohon dan/atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d;
d.
melakukan pertukaran informasi perpajakan dalam rangka Prosedur Persetujuan Bersama kepada Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan/atau
e.
melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dan/atau penilaian dalam rangka Prosedur Persetujuan Bersama untuk mendapatkan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama.
(2)
Pemohon dan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d wajib:
a.
memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
b.
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan
c.
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
(3)
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(4)
Permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diajukan melalui:
a.
prosedur pertukaran informasi berdasarkan permintaan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan; dan/atau
b.
permintaan secara langsung selama proses pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2).

Pasal 47

(1)
Pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan melalui:
a.
pertemuan langsung;
b.
sambungan telepon;
c.
konferensi video; dan/atau
d.
saluran lain yang disepakati oleh Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(2)
Pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lain yang dipersamakan.

Pasal 48

(1)
Dalam rangka perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menyusun posisi dalam perundingan.
(2)
Posisi dalam perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi penjelasan tertulis mengenai pendapat Pejabat Berwenang Indonesia terkait hal yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
(3)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) belum menghasilkan Persetujuan Bersama sampai dengan putusan banding atau putusan peninjauan kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak:
a.
melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam putusan banding atau putusan peninjauan kembali bukan merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama;
b.
menggunakan putusan banding sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan dalam hal:
1.
putusan banding tidak diajukan permohonan peninjauan kembali; dan
2.
materi sengketa dalam putusan banding merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama; atau
c.
menggunakan putusan peninjauan kembali sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa dalam putusan peninjauan kembali merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.

Pasal 49

(1)
Hasil perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dituangkan dalam Persetujuan Bersama yang dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan yang telah disepakati atas materi yang diajukan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
(2)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis mengenai hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal Persetujuan Bersama.
(3)
Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai:
a.
permintaan untuk menyampaikan surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama; atau
b.
permintaan untuk menyampaikan surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian yang dilampiri dengan persetujuan tertulis dari Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung mengenai pencabutan atau penyesuaian sengketa dalam hal materi sengketa yang diajukan Prosedur Persetujuan Bersama juga diajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (11).
(4)
Surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus disampaikan oleh Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5)
Surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian yang dilampiri dengan persetujuan tertulis dari Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung mengenai pencabutan atau penyesuaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus disampaikan oleh Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 8 (delapan) bulan setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6)
Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat atau tidak dapat dilaksanakan setelah penerbitan pemberitahuan tertulis mengenai hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(7)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak melakukan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyampaian pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan setelah Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5).
(8)
Dalam hal Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama tidak dapat dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(9)
Dalam hal hasil perundingan berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
a.
pemberitahuan tertulis hasil perundingan yang berisi ketidaksepakatan kepada Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan
b.
pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal Persetujuan Bersama.
(10)
Surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama dan surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
a.
Lampiran huruf J.1., untuk surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama; atau
b.
Lampiran huruf J.2., untuk surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 50

(1)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak:
a.
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan; dan
b.
tanggal disampaikannya pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan.
(2)
Dalam hal hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terkait dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Persetujuan Bersama dengan menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer.
(3)
Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
a.
Lampiran huruf J.3., untuk Persetujuan Bersama terkait pengenaan pajak berganda; atau
b.
Lampiran huruf J.4., untuk Persetujuan Bersama selain terkait pengenaan pajak berganda,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4)
Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
a.
Pemohon;
b.
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan/atau
c.
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti.

Pasal 51

(1)
Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dalam hal:
a.
Pemohon tidak menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3);
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4);
c.
perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) atau ayat (4);
d.
telah terlampauinya daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dan perundingan belum menghasilkan kesepakatan;
e.
Wajib Pajak dalam negeri mengikuti program pengampunan pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama;
f.
telah terbit putusan banding atau putusan peninjauan kembali, dalam hal materi sengketa yang diputus merupakan materi yang diajukan Prosedur Persetujuan Bersama;
g.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak menyepakati posisi dalam perundingan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) huruf b atau huruf c; atau
h.
telah terbit putusan gugatan dengan amar membatalkan surat ketetapan pajak yang terkait dengan Prosedur Persetujuan Bersama.
(2)
Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai penghentian perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada:
a.
Pemohon;
b.
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan/atau
c.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Bagian Ketiga
Pencabutan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama

Pasal 52

(1)
Atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat diajukan permohonan pencabutan oleh:
a.
Wajib Pajak dalam negeri;
b.
Warga Negara Indonesia;
c.
Direktur Jenderal Pajak; atau
d.
Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda melalui Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(2)
Direktur Jenderal Pajak dapat mencabut permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam rangka:
a.
menindaklanjuti permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri; dan/atau
b.
menindaklanjuti pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer.
(3)
Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional.
(4)
Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b.
diajukan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak dimulainya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
c.
mencantumkan alasan pencabutan; dan
d.
ditandatangani oleh Pemohon, Wajib Pajak dalam negeri, atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(5)
Atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6)
Berdasarkan penelitian atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
a.
Pemohon bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dicabut, dalam hal permohonan pencabutan disetujui dan diajukan setelah dimulainya perundingan,
paling lama 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permohonan pencabutan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(7)
Berdasarkan penelitian atas permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
a.
Wajib Pajak dalam negeri bahwa permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama disetujui atau tidak disetujui; dan
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak dicabut, dalam hal permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama disetujui dan diajukan setelah dimulainya perundingan,
paling lama 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(8)
Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap disetujui dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) terlampaui.
(9)
Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat diajukan:
a.
secara langsung;
b.
melalui pos atau jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman tercatat; atau
c.
melalui pos elektronik.
(10)
Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a juga dapat diajukan secara elektronik.
(11)
Pengajuan permohonan pencabutan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(12)
Tata cara pengajuan permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
(13)
Surat permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.1. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(14)
Surat permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.2. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(15)
Surat permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.3., yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(16)
Pengajuan permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dilaksanakan sepanjang permohonan diajukan sebelum diperoleh Persetujuan Bersama.
(17)
Atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak meneliti pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (16) dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
a.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
b.
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan dihentikan, dalam hal permohonan pencabutan disetujui.
Bagian Keempat
Tindak Lanjut Persetujuan Bersama

Pasal 53

(1)
Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) merupakan dasar pengembalian pajak atau dasar penagihan pajak sesuai dengan Pasal 27C ayat (6) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)
Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan sebelum surat ketetapan pajak terbit, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama harus menghitung kembali besarnya pajak terutang berdasarkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan atau pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)
Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak melakukan:
a.
pembetulan surat pemberitahuan; atau
b.
pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan,
dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Bersama atau dengan memperhatikan daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dengan memperhitungkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama.
(4)
Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat ketetapan pajak terbit dan atas surat ketetapan pajak tersebut:
a.
tidak diajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (11) huruf b;
b.
tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (11) huruf d;
c.
diajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tetapi tidak dipertimbangkan;
d.
diajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar namun dicabut; atau
e.
diajukan keberatan namun telah disesuaikan dari materi yang disepakati dalam Persetujuan Bersama,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak.
(5)
Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat keputusan pengurangan ketetapan pajak atau surat keputusan pembatalan ketetapan pajak terbit, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan pengurangan ketetapan pajak atau surat keputusan pembatalan ketetapan pajak.
(6)
Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah putusan gugatan dengan amar membatalkan terbit terhadap:
a.
surat keputusan pengurangan ketetapan pajak;
b.
surat keputusan pembatalan ketetapan pajak; atau
c.
surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang perpajakan,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak.
(7)
Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat keputusan keberatan terbit dan atas surat keputusan keberatan tersebut:
a.
tidak diajukan banding;
b.
diajukan banding tetapi dicabut dan Pengadilan Pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas pencabutan tersebut;
c.
diajukan banding namun telah disesuaikan dari materi yang disepakati dalam Persetujuan Bersama dan Pengadilan Pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas penyesuaian tersebut; atau
d.
diajukan banding tetapi terbit putusan Pengadilan Pajak dengan amar putusan tidak dapat diterima,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan keberatan.
(8)
Dalam hal terdapat materi sengketa lain yang tidak dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, namun memiliki keterkaitan dengan materi sengketa yang dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan keberatan atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dengan mempertimbangkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama.
(9)
Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan pada saat Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas materi sengketa yang tidak dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan keberatan.
(10)
Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah putusan banding atau peninjauan kembali yang mencakup materi sengketa selain yang tercakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama terbit, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat pelaksanaan putusan banding atau surat pelaksanaan putusan peninjauan kembali.
(11)
Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama:
a.
terbit sebelum surat ketetapan pajak; dan
b.
menyebabkan kelebihan atas pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan yang terutang,
wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat menyampaikan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 54

Dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) setelah penerbitan keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali, dasar pengenaan sanksi administratif dalam surat tagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang­ undangan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak juga memperhitungkan jumlah pajak dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama.
BAB VIII
KESEPAKATAN HARGA TRANSFER
Bagian Kesatu
Tata Cara Penyampaian Permohonan Kesepakatan Harga Transfer

Pasal 55

(1)
Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat Kesepakatan Harga Transfer dengan Wajib Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menentukan Harga Transfer yang wajar sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yang berlaku selama suatu periode tertentu berdasarkan permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam negeri.
(2)
Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
(3)
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer atas Transaksi Afiliasi berdasarkan:
a.
inisiatif Wajib Pajak, berupa permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral atau Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; atau
b.
pemberitahuan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang diajukan subjek pajak luar negeri kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(4)
Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup seluruh atau sebagian Transaksi Afiliasi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer dan Pemberlakuan Mundur dalam hal Wajib Pajak meminta Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer.
(5)
Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa Transaksi Afiliasi antara Wajib Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri lainnya dan/atau subjek pajak luar negeri.
(6)
Pemberlakuan Mundur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku sepanjang atas tahun pajak tersebut:
a.
fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang telah disepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer;
b.
belum daluwarsa penetapan;
c.
belum diterbitkan surat ketetapan pajak penghasilan badan; dan
d.
tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan.
(7)
Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kesepakatan:
a.
kriteria dalam Penentuan Harga Transfer; dan
b.
Penentuan Harga Transfer di muka,
untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer dan Pemberlakuan Mundur dalam hal Wajib Pajak meminta Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer.
(8)
Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a paling sedikit memuat:
a.
identitas Pihak Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer;
b.
Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer;
c.
metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan;
d.
cara penerapan metode Penentuan Harga Transfer yang disepakati; dan
e.
asumsi kritis yang memengaruhi Penentuan Harga Transfer.
(9)
Asumsi kritis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf e paling sedikit memuat:
a.
ketentuan kontraktual tertulis dan tidak tertulis terkait Transaksi Afiliasi;
b.
fungsi yang dilakukan masing-masing pihak yang bertransaksi, aktiva yang digunakan, dan risiko yang diasumsikan terjadi dan ditanggung oleh para pihak tersebut;
c.
karakteristik transaksi dan karakteristik para pihak yang melakukan Transaksi Afiliasi; dan
d.
kondisi ekonomi yang memengaruhi Penentuan Harga Transfer.
(10)
Penentuan Harga Transfer di muka sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai kondisi yang telah terjadi dan yang diperkirakan akan terjadi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer.

Pasal 56

(1)
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang:
a.
telah memenuhi kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan selama 3 (tiga) tahun pajak berturut-turut sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer;
b.
telah diwajibkan dan telah memenuhi kewajiban untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berupa dokumen induk dan dokumen lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b selama 3 (tiga) tahun pajak berturut-turut sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer;
c.
tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan;
d.
Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) merupakan Transaksi Afiliasi yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e.
usulan Penentuan Harga Transfer dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer dibuat berdasarkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan tidak mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil daripada laba operasi yang telah dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(2)
Wajib Pajak dalam negeri yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3)
Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengisi formulir permohonan Kesepakatan Harga Transfer menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
b.
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam:
1.
akta pendirian; atau
2.
akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus;
c.
disampaikan:
1.
dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan sebelum dimulainya Periode Kesepakatan Harga Transfer, dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf a; atau
2.
sebelum dimulainya Periode Kesepakatan Harga Transfer, dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf b; dan
d.
dilampiri dengan:
1.
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses Kesepakatan Harga Transfer; dan
2.
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melaksanakan kesepakatan yang tercantum dalam Kesepakatan Harga Transfer.
(4)
Ketentuan mengenai usulan Penentuan Harga Transfer dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terpenuhi sepanjang tingkat laba yang paling rendah dalam proyeksi laporan keuangan selama Periode Kesepakatan Harga Transfer lebih besar atau sama dengan tingkat laba yang paling rendah dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak disampaikannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer.
(5)
Tingkat laba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan rasio antara laba sebelum pajak atau penghasilan neto komersial dan peredaran usaha atau rasio antara laba sebelum pajak atau penghasilan neto komersial dengan total biaya.
(6)
Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer diajukan oleh Wajib Pajak yang usahanya terdampak negatif bencana nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, tingkat laba dalam proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tingkat laba hasil penyesuaian pada kondisi normal.
(7)
Proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(8)
Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan:
a.
secara langsung; atau
b.
secara elektronik.
(9)
Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(10)
Tata cara penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
(11)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(12)
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) merupakan tanggal penerimaan permohonan Kesepakatan Harga Transfer.

Pasal 57

(1)
Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap:
a.
kelengkapan pemenuhan persyaratan pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3); dan
b.
pemenuhan ketentuan Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1).
(2)
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis dapat atau tidak dapat ditindaklanjutinya permohonan Kesepakatan Harga Transfer kepada:
a.
Wajib Pajak; dan/atau
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral,
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (12).
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak dianggap dapat ditindaklanjuti dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui.
(4)
Dalam hal pemberitahuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak mendapatkan jawaban tertulis dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan sejak tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
a.
Wajib Pajak yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(5)
Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (3).

Pasal 58

(1)
Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) atau dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy).
(2)
Kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 2 (dua) bulan setelah tanggal pemberitahuan bahwa permohonan Kesepakatan Harga Transfer dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) atau ayat (3).
(3)
Kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
a.
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer;
b.
Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan
c.
dokumen yang berisi penjelasan rinci atas penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk setiap Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dalam bahasa Indonesia.
(4)
Penjelasan rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6)
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tanggal penerimaan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer.
(7)
Dalam hal kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
a.
Wajib Pajak; dan
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral.
(8)
Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (3).
Bagian Kedua
Tata Cara Penyelesaian Permohonan Kesepakatan Harga Transfer
Paragraf 1
Pengujian Material Penyelesaian Permohonan Kesepakatan Harga Transfer

Pasal 59

(1)
Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan pengujian material.
(2)
Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
a.
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Wajib Pajak;
b.
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi;
c.
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak;
d.
meminta tambahan data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Wajib Pajak;
e.
meminta data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait;
f.
meminta pertukaran informasi perpajakan (exchange of information);
g.
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau entitas lain; dan/atau
h.
meminta dilakukannya kegiatan penilaian.
(3)
Dalam hal diperlukan untuk pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan Pemeriksaan untuk tujuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4)
Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
a.
belum pernah dilakukan Pemeriksaan terkait Penentuan Harga Transfer atas Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) sampai dengan 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak disampaikannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan/atau
b.
mengajukan permintaan Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer.
(5)
Pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(6)
Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) wajib:
a.
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b.
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
c.
memberikan kesempatan Direktur Jenderal Pajak untuk mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c; dan
d.
memberikan tambahan data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d.
(7)
Dokumen Wajib Pajak yang digunakan selama proses pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Paragraf 2
Perundingan Kesepakatan Harga Transfer

Pasal 60

(1)
Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan Kesepakatan Harga Transfer dengan:
a.
Wajib Pajak, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Unilateral; atau
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral.
(2)
Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
a.
dimulai paling lambat 6 (enam) bulan sejak Wajib Pajak menyampaikan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2); dan
b.
diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak dimulainya perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(3)
Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselesaikan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan mengenai Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4).
(4)
Dalam hal pada saat perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui bahwa Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses Kesepakatan Harga Transfer dan menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
a.
Wajib Pajak; dan
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral.

Pasal 61

(1)
Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan atas kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer di muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (7).
(2)
Dalam perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat tidak menyepakati Kesepakatan Harga Transfer dalam hal:
a.
Transaksi Afiliasi tidak didasari oleh motif ekonomi;
b.
substansi ekonomi Transaksi Afiliasi berbeda dengan bentuk formalnya;
c.
Transaksi Afiliasi dilakukan dengan salah satu tujuan untuk meminimalkan beban pajak;
d.
informasi dan/atau bukti atau keterangan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya;
e.
informasi dan/atau bukti atau keterangan terkait dengan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d tidak dapat diperoleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permintaan tertulis; dan/atau
f.
tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer atau Pemberlakuan Mundur telah diterbitkan surat ketetapan pajak penghasilan badan.
(3)
Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer dianggap berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
a.
perundingan Kesepakatan Harga Transfer tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) atau ayat (3); atau
b.
Direktur Jenderal Pajak menerima pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat dilakukan.
(4)
Dalam hal perundingan Kesepakatan Harga Transfer menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses Kesepakatan Harga Transfer dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak.
(5)
Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam:
a.
Naskah Kesepakatan Harga Transfer, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Unilateral; atau
b.
Persetujuan Bersama sesuai dengan Prosedur Persetujuan Bersama, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral.
(6)
Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7)
Berdasarkan Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Naskah Kesepakatan Harga Transfer ditandatangani.
(8)
Berdasarkan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak:
a.
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan; dan
b.
tanggal disampaikannya pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan.
(9)
Surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P dan Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(10)
Surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) disampaikan kepada:
a.
Wajib Pajak yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan
b.
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti.

Pasal 62

(1)
Dalam hal:
a.
perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1); atau
b.
proses Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dihentikan karena Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak menyampaikan jawaban tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (4),
Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (3) huruf a dan huruf b, kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4) atau Pasal 57 ayat (4).
(2)
Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama:
a.
6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan tersebut disampaikan karena Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
b.
12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan tersebut disampaikan karena proses Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3)
Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
Bagian Ketiga
Tata Cara Pencabutan Permohonan Kesepakatan Harga Transfer

Pasal 63

(1)
Permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dapat diajukan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak.
(2)
Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan alasan pencabutan;
b.
diajukan sebelum diperoleh kesepakatan; dan
c.
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam akta pendirian atau akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus.
(3)
Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional.
(4)
Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5)
Permohonan pencabutan yang diajukan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
a.
secara langsung; atau
b.
secara elektronik.
(6)
Penyampaian permohonan pencabutan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(7)
Tata cara penyampaian permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
(8)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas pengajuan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 64

(1)
Atas pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(2)
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis disetujui atau tidak disetujuinya pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer kepada:
a.
Wajib Pajak; dan
b.
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral,
dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal penerimaan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (8).
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dianggap disetujui dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui.
(4)
Dalam hal berdasarkan penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak memenuhi persyaratan, pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak disetujui dan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tetap dilanjutkan.
(5)
Dalam hal pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) diajukan setelah perundingan Kesepakatan Harga Transfer dimulai, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer untuk tahun pajak yang dicakup dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dicabut.

Pasal 65

(1)
Dalam hal:
a.
pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (5) dilakukan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; dan
b.
pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2),
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (3) huruf a dan huruf b kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) atau ayat (3).
(2)
Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan Kesepakatan Harga Transfer dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu:
a.
6 (enam) bulan, dalam hal telah dilakukan perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; atau
b.
12 (dua belas) bulan, dalam hal belum dilakukan perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral,
sejak tanggal diterimanya permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3).
(4)
Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
(5)
Pemberitahuan tertulis yang disampaikan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda mengenai pencabutan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dianggap sebagai pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) huruf b.
Bagian Keempat
Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer

Pasal 66

(1)
Wajib Pajak wajib melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) atau ayat (8) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang perpajakan.
(2)
Kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diimplementasikan dalam kebijakan Penentuan Harga Transfer Wajib Pajak dan pelaksanaannya harus dituangkan dalam Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer.
(3)
Dalam hal atas Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/atau Pemberlakuan Mundur:
a.
telah disampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan;
b.
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan Pemeriksaan; dan
c.
terdapat kekurangan pembayaran pajak penghasilan yang terutang dihitung berdasarkan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer,
Wajib Pajak harus melakukan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sesuai dengan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterbitkannya keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer.
(4)
Dalam hal atas Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/atau Pemberlakuan Mundur, surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sedang dilakukan tindakan Pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dengan memperhitungkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer.
(5)
Dalam hal atas tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer telah diterbitkan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang­ Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan memperhitungkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer.
(6)
Dalam hal terdapat sanksi administratif yang timbul sebagai akibat:
a.
pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
b.
penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4); atau
c.
pembetulan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Direktur Jenderal Pajak menghapuskan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 67

(1)
Kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang perpajakan.
(2)
Dalam hal Wajib Pajak melaksanakan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer dan sedang dilakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas Penentuan Harga Transfer transaksi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak:
a.
menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang Penentuan Harga Transfernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer;
b.
tidak menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3);
c.
menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang Penentuan Harga Transfernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer; atau
d.
tidak menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan untuk tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer.
Bagian Kelima
Tata Cara Evaluasi Kesepakatan Harga Transfer
Paragraf 1
Kewenangan Direktur Jenderal Pajak Melakukan Evaluasi Kesepakatan Harga Transfer

Pasal 68

(1)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak.
(2)
Pengawasan terhadap pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui evaluasi atas:
a.
kepatuhan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer; dan
b.
kesesuaian kriteria dalam Penentuan Harga Transfer pada kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer.
(3)
Dalam rangka evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
a.
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer;
b.
meminta Wajib Pajak untuk memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang diperlukan;
c.
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi Wajib Pajak;
d.
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak; dan/atau
e.
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait.
(4)
Dalam evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak wajib:
a.
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a;
b.
memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b;
c.
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c; dan/atau
d.
memberikan kesempatan Direktur Jenderal Pajak untuk mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d.
(5)
Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi atas kepatuhan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diketahui bahwa Wajib Pajak tidak melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(6)
Tindak lanjut Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer.
(7)
Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan:
a.
peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer, sepanjang terdapat perubahan material atas fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dengan asumsi kritis yang disepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer; atau
b.
pembatalan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer,
sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer berakhir.
Paragraf 2
Peninjauan Kembali Kesepakatan Harga Transfer

Pasal 69

(1)
Peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer dilakukan berdasarkan:
a.
hasil evaluasi atas kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7); atau
b.
permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
(2)
Berdasarkan hasil evaluasi atas kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak.
(3)
Pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
a.
perubahan material atas fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dengan asumsi kritis yang disepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer; dan
b.
pelaksanaan perundingan Kesepakatan Harga Transfer dalam rangka peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer.
(4)
Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan sebelum tahun pajak yang akan dilakukan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer berakhir.
(5)
Permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dengan mengisi formulir permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer.
(6)
Formulir permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7)
Penyampaian permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan:
a.
secara langsung; atau
b.
secara elektronik.
(8)
Penyampaian permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(9)
Tata cara penyampaian permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
(10)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(11)
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) merupakan tanggal penerimaan permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer.
(12)
Ketentuan mengenai penelitian, penyampaian kelengkapan permohonan, pengujian material, dan perundingan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 60 berlaku secara mutatis mutandis atas permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(13)
Hasil perundingan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer dituangkan dalam perubahan Naskah Kesepakatan Harga Transfer atau Persetujuan Bersama.
(14)
Atas perubahan Naskah Kesepakatan Harga Transfer atau perubahan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (13), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer dengan mencantumkan tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer yang ditinjau kembali.
(15)
Keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf T dan U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Paragraf 3
Pembatalan Kesepakatan Harga Transfer

Pasal 70

(1)
Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7) terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak:
a.
menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya; dan/atau
b.
tidak menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang:
1.
diketahui atau patut diketahui oleh Wajib Pajak; dan
2.
dapat memengaruhi hasil kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer,
Direktur Jenderal Pajak mengirimkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak untuk melakukan klarifikasi atas ketidaksesuaian informasi dan/atau bukti atau keterangan yang disampaikan selama proses Kesepakatan Harga Transfer.
(2)
Wajib Pajak harus menyampaikan tanggapan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional atas pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis.
(3)
Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian atas tanggapan tertulis Wajib Pajak yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Direktur Jenderal Pajak membatalkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) atau ayat (8) dalam hal Wajib Pajak:
a.
terbukti memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
b.
tidak menyampaikan tanggapan tertulis atau menyampaikan tanggapan tertulis tetapi melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5)
Dalam rangka pembatalan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
a.
surat keputusan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer kepada Wajib Pajak yang dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
b.
pemberitahuan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral.
(6)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah:
a.
diterimanya tanggapan tertulis Wajib Pajak, dalam hal pembatalan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
b.
terlampauinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak membatalkan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
a.
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/atau Pemberlakuan Mundur yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer yang dibatalkan; dan
b.
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Bagian Keenam
Tata Cara Pembaruan Kesepakatan Harga Transfer

Pasal 71

(1)
Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2)
Permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer yang diajukan pembaruan dimulai.
(3)
Formulir permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4)
Penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
a.
secara langsung; atau
b.
secara elektronik.
(5)
Penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(6)
Tata cara penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
(7)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(8)
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan tanggal penerimaan permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer.
(9)
Atas permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2).
(10)
Ketentuan mengenai penyampaian kelengkapan permohonan, pengujian material, dan perundingan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 berlaku secara mutatis mutandis atas permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(11)
Pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali untuk 1 (satu) Periode Kesepakatan Harga Transfer.
BAB IX
PENYAMPAIAN DOKUMEN DAN SURAT KEPUTUSAN

Pasal 72

(1)
Penyampaian dokumen dan surat keputusan dalam rangka penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer dapat dilakukan:
a.
secara langsung;
b.
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
c.
secara elektronik.
(2)
Penyampaian dokumen dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(3)
Tata cara penyampaian dokumen dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 73

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1.
terhadap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 468) dan belum diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Menteri ini;
2.
terhadap permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 262) dan belum diterbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer, surat keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer, atau surat keputusan pembatalan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
3.
terhadap kewajiban menyelenggarakan, menyimpan, dan menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk tahun pajak 2024 dan seterusnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 74

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
1.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Tata Cara Pengelolaannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2120);
2.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 468); dan
3.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 262),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 75

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2023
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATIDiundangkan pada
tanggal 29 Desember 2023
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ASEP N. MULYANABERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 1116

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!