PMK 171 TAHUN 2021

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 171/PMK.05/2021

TENTANG

PELAKSANAAN SISTEM SAKTI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Menimbang

a.
bahwa untuk mewujudkan tata kelola keuangan negara yang tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab, perlu diterapkan sistem informasi manajemen keuangan negara yang terintegrasi yang didukung dengan sistem sakti;
b.
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a dan huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara, dan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan Sistem Sakti;

Mengingat

1.
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
4.
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
5.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PELAKSANAAN SISTEM SAKTI.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.
Sistem SAKTI yang selanjutnya disebut SAKTI adalah sistem yang mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara pada instansi pemerintah, yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.
2.
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut SPAN adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran yang meliputi penyusunan anggaran, manajemen dokumen anggaran, manajemen supplier, manajemen komitmen pengadaan barang dan jasa, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan negara, manajemen kas, akuntansi, dan pelaporan.
3.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
4.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
5.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
6.
Pembantu Pengguna Anggaran BUN yang selanjutnya disebut PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran (BA) BUN.
7.
Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
8.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Kanwil DJPb merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
9.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi BUN.
10.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut BA Kementerian Negara/Lembaga.
11.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN.
12.
Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.
13.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
14.
Modul Administrasi adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk mengelola data referensi dan data user SAKTI.
15.
Modul Penganggaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sampai dengan penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran termasuk di dalamnya proses perencanaan penyerapan anggaran dan penerimaan/pendapatan dalam periode satu tahun anggaran.
16.
Modul Komitmen adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan aktivitas terkait pencatatan data supplier, kontrak, dan Berita Acara Serah Terima (BAST) dalam rangka pelaksanaan APBN untuk mendukung pengelolaan data pagu, perencanaan kas dan referensi dalam pelaksanaan pembayaran.
17.
Modul Bendahara adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui bendahara.
18.
Modul Pembayaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengajuan pembayaran atas beban APBN, pengesahan pendapatan dan belanja, dan pencatatan surat perintah pencairan dana.
19.
Modul Persediaan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian, dan pelaporan barang persediaan.
20.
Modul Aset Tetap adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian dan pelaporan barang milik negara berupa aset tetap dan aset tak berwujud.
21.
Modul Piutang adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk melakukan penatausahaan dan pengakuntansian piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
22.
Modul Akuntansi dan Pelaporan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengintegrasian data jurnal dari semua modul SAKTI dalam rangka penyusunan laporan keuangan.
23.
Sistem Mitra adalah sistem yang dimiliki oleh Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya dengan lingkup penggunaan sistem secara nasional yang akan diinterkoneksikan dengan SAKTI.
24.
Pihak Mitra adalah Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya sebagai pemilik Sistem Mitra.
25.
Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.
26.
Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
27.
Instansi adalah sebutan kolektif bagi entitas yang meliputi satuan kerja, kantor wilayah atau yang setingkat, unit eselon I dan Kementerian Negara/Lembaga.
28.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
29.
Chief of Information Officer yang selanjutnya disingkat CIO adalah suatu jabatan strategis yang memadukan sistem informasi dan teknologi informasi dengan aspek manajemen agar memberikan dukungan maksimal terhadap pencapaian tujuan.
30.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
31.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
32.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
33.
Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala Satker atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik­-baiknya.
34.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
35.
Pejabat Penandatangan SPM yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian surat permintaan pembayaran yang diterima dari PPK sebagai dasar untuk menerbitkan/menandatangani SPM.
36.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.
37.
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.
38.
Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk sebagai pembantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
39.
Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.
40.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
41.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
42.
Surat Perintah Pengesahan Pendapatan dan Belanja Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat SP3B BLU adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PPSPM untuk dan atas nama KPA kepada Kuasa BUN untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Badan Layanan Umum (BLU) yang sumber dananya berasal dari PNBP yang digunakan langsung.
43.
Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pendapatan hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN dan/atau belanja yang bersumber dari hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN.
44.
Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo pendapatan hibah langsung kepada pemberi hibah.
45.
Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat SPMKP adalah surat perintah dari kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada KPPN untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana yang ditujukan kepada bank operasional mitra kerja KPPN, sebagai dasar kompensasi utang pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak.
46.
Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga yang selanjutnya disingkat SPM P-BMDAB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga sebagai dasar penerbitan surat perintah pencairan dana.
47.
Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk dan/atau Cukai yang selanjutnya disingkat SPM P-BMC adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai.
48.
Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk membayar imbalan bunga kepada wajib pajak.
49.
Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung/Pembiayaan Pendahuluan selanjutnya disingkat SPP APD-PL/PP adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara atau KPPN dalain mengajukan permintaan pembayaran kepada Pemberi PHLN.
50.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
51.
Dana Titipan adalah dana yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran selain Uang Persediaan (UP) dalam rangka pelaksanaan APBN.
52.
Dana Pihak Ketiga adalah dana yang masuk ke pengelolaan rekening yang dikelola oleh bendahara yang belum dapat ditentukan menjadi milik negara atau tidak.
53.
Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh bendahara pada penyetor.
54.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari pajak.
55.
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.
56.
Rencana Penarikan Dana yang selanjutnya disingkat RPD adalah rencana penarikan kebutuhan dana yang ditetapkan oleh KPA untuk pelaksanaan kegiatan Satker dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.
57.
Rencana Penarikan Dana Harian yang selanjutnya disebut RPD Harian adalah rencana penarikan kebutuhan dana harian yang memuat tanggal penarikan dana, jenis belanja, dan jumlah nominal penarikan.
58.
Rencana Penerimaan Dana adalah rencana penyetoran penerimaan dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.
59.
Pengguna (User) SAKTI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah para pihak pada instansi yang berdasarkan kewenangannya diberikan hak untuk mengoperasikan SAKTI dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
60.
Administrator adalah pegawai yang diberi kewenangan oleh PA/KPA/Pejabat yang ditetapkan untuk melaksanakan fungsi teknis administrasi SAKTI.
61.
Hak Akses adalah hak yang diberikan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik.
62.
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi diantaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik lainnya.
63.
Nomor Register Supplier yang selanjutnya disingkat NRS adalah nomor referensi yang diterbitkan oleh SPAN dalam rangka pendaftaran data supplier yang diajukan oleh Satker yang akan dijadikan sebagai identitas bagi supplier SPAN.
64.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas Laporan Keuangan.
65.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.
66.
E-Rekon dan LK adalah sistem berbasis web yang digunakan dalam pelaksanaan Rekonsiliasi, penyusunan Laporan Keuangan, serta penyatuan data Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.
67.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
68.
Unit Akuntansi KPB yang selanjutnya disingkat UAKPB adalah unit akuntansi BMN pada tingkat Satker/KPB yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN.
69.
Unit Akuntansi Pembantu Kuasa Pengguna Barang, yang selanjutnya disingkat UAPKPB, adalah unit yang dapat dibentuk oleh UAKPB untuk membantu UAKPB melakukan penatausahaan BMN.
70.
Keadaan Kahar (Force Majeure) adalah suatu keadaan di luar kehendak, kendali dan kemampuan pengelola sistem SAKTI seperti terjadinya bencana alam, kebakaran, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, terorisme, sabotase, termasuk kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sistem SAKTI tidak berfungsi.
71.
Business Continuity Plan yang selanjutnya disingkat BCP adalah pengelolaan proses kelangsungan kegiatan pada saat keadaan darurat dengan tujuan untuk melindungi sistem informasi, memastikan kegiatan dan layanan, dan memastikan pemulihan yang tepat.
72.
Help, Answer, Improve DJPb yang selanjutnya disebut HAI-DJPb adalah layanan resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam melayani penerimaan dan penyampaian informasi serta permasalahan terkait tugas pokok dan fungsi DJPb.
73.
Dokumen Pendukung adalah semua dokumen yang secara peraturan perundang-undangan menjadi pendukung dan wajib ada sebagai bagian pengajuan sebuah surat, dokumen, formulir, dan segala dokumen resmi lainnya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara/Lembaga.
74.
Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disebut dengan TIK adalah segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan pemindahan informasi antar media.

Pasal 2

(1)
SAKTI terdiri atas:
a.
Modul Administrasi;
b.
Modul Penganggaran;
c.
Modul Komitmen;
d.
Modul Bendahara;
e.
Modul Pembayaran;
f.
Modul Persediaan;
g.
Modul Aset Tetap;
h.
Modul Piutang; dan
i.
Modul Akuntansi dan Pelaporan.
(2)
Pelaksanaan SAKTI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh pengelolaan monitoring data dan transaksi SAKTI.

Pasal 3

(1)
SAKTI digunakan oleh:
a.
BA Kementerian Negara/Lembaga;
b.
BA BUN yang mempunyai hak akses Pengguna;
c.
BUN; dan
d.
unit lain yang diberikan hak akses Pengguna.
(2)
Transaksi pada SAKTI dilakukan secara sistem elektronik.
(3)
SAKTI menggunakan database terpusat, multi user dan/atau multi Satker.
(4)
Hak Akses SAKTI hanya diberikan kepada Pengguna sesuai dengan kewenangannya.
(5)
Terhadap pengiriman data antar modul pada SAKTI dan/atau dari SAKTI ke SPAN dilakukan pengamanan secara elektronik.
(6)
Penyelenggaraan pengamanan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam bentuk tanda tangan elektronik berupa one-time password, biometric, maupun bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)
KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan operasionalisasi SAKTI pada Satker.

Pasal 4

(1)
Periodisasi transaksi yang digunakan pada SAKTI meliputi:
a.
periode Januari sampai dengan Desember;
b.
periode 13; dan
c.
periode 14.
(2)
Pencatatan periode transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a.
periode Januari sampai dengan Desember sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk transaksi sampai dengan penyusunan Laporan Keuangan unaudited dengan tanggal buku sesuai dengan transaksi dimaksud; dan
b.
periode 13 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan periode 14 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digunakan untuk transaksi Laporan Keuangan audited dengan tanggal buku 31 Desember.

Pasal 5

(1)
Tutup buku transaksi pada SAKTI merupakan proses tutup buku saat periode transaksi dinyatakan berakhir.
(2)
Dalam hal terdapat transaksi yang belum dicatat setelah dilakukan tutup buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap transaksi dimaksud dicatat pada periode berikutnya.
BAB II
TATA CARA PELAKSANAAN SAKTI

Bagian Kesatu
Pengelolaan Infrastruktur dan Jaringan

Pasal 6

(1)
Unit pengelolaan infrastruktur dan jaringan terdiri atas unit pada:
a.
Kementerian Keuangan selaku penyelenggara sistem; dan
b.
Kementerian Negara/Lembaga selaku Pengguna.
(2)
Pengelolaan infrastruktur dan jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan mengenai pengelolaan infrastruktur dan jaringan pada Kementerian Keuangan dan masing-masing Kementerian Negara/Lembaga.
(3)
Kementerian Keuangan bertanggung jawab terhadap penyediaan layanan infrastruktur dan jaringan pada data center Kementerian Keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai pengelolaan infrastruktur TIK di lingkungan Kementerian Keuangan.
(4)
Kementerian Negara/Lembaga bertanggung jawab terhadap pengelolaan infrastruktur dan jaringan pada kantor pusat Kementerian Negara/Lembaga dan/atau seluruh kantor vertikalnya.
Bagian Kedua
Modul Administrasi

Paragraf 1
Pengguna

Pasal 7

(1)
Pengguna terdiri atas:
a.
Administrator; dan
b.
operasional modul.
(2)
Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pejabat yang berwenang melalui surat keputusan.
(3)
Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai Kode Akses sesuai dengan kewenangan Pengguna.
(4)
Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas kepemilikan dan penggunaan Kode Akses.
Paragraf 2
Administrator

Pasal 8

(1)
Administrator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a antara lain terdiri atas:
a.
Administrator BA Kementerian Negara/Lembaga dan BA BUN, yang terdiri atas:
1.
Administrator unit eselon I; dan
2.
Administrator Satker.
b.
Administrator BUN, yang terdiri atas:
1.
Administrator pusat; dan
2.
Administrator KPPN (Kuasa BUN).
(2)
Administrator unit eselon I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 memiliki tugas mengelola data referensi yang menjadi kewenangan unit eselon I.
(3)
Administrator Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 memiliki tugas paling sedikit:
a.
mengelola data referensi yang menjadi kewenangan Satker; dan
b.
mengelola data Pengguna pada Satker.
(4)
Administrator Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dilaksanakan oleh unit pengelola TIK Satker.
(5)
Administrator pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1, memiliki tugas paling sedikit:
a.
mengelola data referensi yang menjadi kewenangan pusat; dan
b.
mengelola data Pengguna dengan tipe selain Satker.
(6)
Administrator KPPN (Kuasa BUN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2, memiliki tugas paling sedikit:
a.
mengelola data referensi Satker mitra kerja KPPN; dan
b.
mengelola data Pengguna Satker mitra kerja KPPN.
Paragraf 3
Konfigurasi Satker dan Konsolidator

Pasal 9

(1)
Pengelolaan data Pengguna pada Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b antara lain berupa pengunggahan data konfigurasi Satker yang disampaikan oleh Satker kepada KPPN ke dalam SAKTI.
(2)
Data konfigurasi Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup data Satker dan konsolidator.
(3)
Konsolidator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan instansi yang ditunjuk untuk melakukan tugas konsolidasi Laporan Keuangan dan Laporan BMN bagi instansi yang dikonsolidasi.
Paragraf 4
Operasional Modul

Pasal 10

(1)
Pengguna operasional modul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b terdiri atas:
a.
operator, yang memiliki kewenangan melakukan aktivitas perekaman data dalam SAKTI;
b.
validator, yang memiliki kewenangan melakukan aktivitas pengujian/penelitian atas perekaman data yang dilakukan operator; dan/atau
c.
approver, yang memiliki kewenangan melakukan aktivitas persetujuan atas perekaman data yang dilakukan oleh operator dan/atau atas perekaman data yang telah disetujui oleh validator.
(2)
Kewenangan Pengguna operasional modul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan perangkapan dalam modul yang sama.
(3)
Pengguna operasional modul sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelompokkan menurut tugas dan tanggung jawab sebagai KPA, KPB, PPK, PPSPM, Bendahara Pengeluaran, Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran Pembantu dan pejabat/pegawai yang berwenang sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN.
(4)
PPK dan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendaftarkan dan mengaktivasi kode pengamanan elektronik ke KPPN mitra kerja.
Paragraf 5
Penetapan Pengguna

Pasal 11

(1)
Selain untuk menetapkan Pengguna dan kewenangannya, surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) juga digunakan untuk:
a.
menonaktifkan Pengguna dalam jangka waktu tertentu, dalam hal Pengguna berhalangan sementara yang berdampak Pengguna tersebut tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan administrasi pemerintahan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN; dan/atau
b.
menghapus hak akses Pengguna, dalam hal Pengguna berhalangan tetap pada suatu organisasi dikarenakan mutasi, pensiun, meninggal, atau sebab lain yang sah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN.
(2)
Pejabat yang berwenang untuk menetapkan surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Direktur Sistem Informasi Teknologi Perbendaharaan untuk Pengguna Administrator pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b angka 1;
b.
KPA untuk Pengguna tingkat Satker;
c.
kepala KPPN untuk Pengguna Administrator KPPN (Kuasa BUN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b angka 2; dan
d.
pejabat paling rendah setingkat eselon III yang ditunjuk oleh pimpinan unit/organisasi untuk Pengguna selain huruf a, huruf b, dan huruf c.
Bagian Ketiga
Modul Penganggaran

Paragraf 1
Umum

Pasal 12

(1)
Pengguna operasional Modul Penganggaran terdiri atas:
a.
Pengguna operasional BA Kementerian Negara/Lembaga, yang terdiri atas:
1.
Kementerian Negara/Lembaga;
2.
unit eselon I;
3.
Satker; dan/atau
4.
konsolidator wilayah.
b.
Pengguna operasional BA BUN, yang terdiri atas:
1.
unit eselon I PPA BUN; dan
2.
Satker BUN.
c.
Pengguna operasional BUN, yang terdiri atas:
1.
Direktorat Jenderal Anggaran (DJA); dan
2.
DJPb.
(2)
Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 dilaksanakan oleh unit eselon II di lingkungan DJA yang melaksanakan fungsi penelaahan anggaran sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(3)
Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 dilaksanakan oleh Direktorat Pelaksanaan Anggaran DJPb dan Kanwil DJPb sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(4)
Dalam hal dibutuhkan Pengguna selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DJA dapat menambahkan Pengguna dengan kewenangan reviewer untuk:
a.
melakukan penayangan data penganggaran;
b.
memberikan catatan reviu dalam proses penelaahan anggaran; dan/atau
c.
melakukan persetujuan hasil penelaahan anggaran.
(5)
Penambahan Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan kebijakan penganggaran.
(6)
Tanggung jawab dan kewenangan Pengguna Modul Penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-K/L dan pengesahan DIPA serta Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara revisi anggaran.

Pasal 13

Modul Penganggaran digunakan untuk:
a.
penyusunan anggaran;
b.
penelaahan anggaran;
c.
revisi anggaran; dan
d.
penyusunan KPJM.
Paragraf 2
Penyusunan Anggaran

Pasal 14

(1)
Penyusunan anggaran meliputi:
a.
penyusunan RKA Satker oleh Satker Kementerian Negara/Lembaga;
b.
penyusunan RKA-K/L oleh unit eselon I Kementerian Negara/Lembaga;
c.
penyusunan RKA BUN oleh Satker BUN; dan
d.
penyusunan RDP oleh unit eselon I PPA BUN.
(2)
Metode perekaman data dalam penyusunan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui:
a.
migrasi data RKA tahun anggaran berjalan untuk tahun anggaran berikutnya pada tingkat Satker;
b.
input data RKA pada tingkat Satker; dan/atau
c.
salin data RKA antar Satker dalam 1 (satu) unit eselon I.
(3)
Perekaman data dalam penyusunan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh:
a.
Pengguna tingkat Satker dan/atau Pengguna tingkat unit eselon I untuk BA Kementerian Negara/Lembaga; dan
b.
Pengguna tingkat Satker BUN dan/atau Pengguna tingkat unit eselon I PPA BUN untuk BA BUN.

Pasal 15

(1)
Mekanisme penyusunan RKA Satker oleh Satker Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator Satker melakukan perekaman data usulan RKA Satker antara lain usulan kertas kerja, RPD, dan/atau target penerimaan dan rencana penerimaan dana berdasarkan Dokumen Pendukung;
b.
approver Satker meneliti kesesuaian data usulan RKA Satker dengan Dokumen Pendukung; dan
c.
dalam hal data usulan RKA Satker telah sesuai dengan Dokumen Pendukung, approver Satker melakukan pengiriman data usulan RKA Satker kepada Pengguna unit eselon I.
(2)
Dalam hal kondisi tertentu, penyusunan RKA Satker Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh operator unit eselon I.
(3)
Mekanisme penyusunan RKA-K/L oleh unit eselon I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
berdasarkan data usulan RKA Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, operator unit eselon I menyusun data usulan RKA-K/L unit eselon I melalui proses penghimpunan/kompilasi/ubah data usulan RKA Satker lingkup unit eselon I dan menyampaikan kepada approver unit eselon I;
b.
approver unit eselon I meneliti kesesuaian data usulan RKA-K/L unit eselon I dengan dokumen usulan RKA Satker beserta Dokumen Pendukung;
c.
dalam hal data usulan RKA-K/L unit eselon I telah sesuai dengan dengan dokumen usulan RKA Satker beserta Dokumen Pendukung, approver unit eselon I menyetujui data usulan RKA-K/L unit eselon I;
d.
approver unit eselon I menyampaikan data usulan RKA-K/L unit eselon I kepada Pengguna tingkat Kementerian Negara/Lembaga untuk dilakukan penelitian/reviu; dan
e.
data usulan RKA unit eselon I yang telah disetujui oleh Pengguna tingkat Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil penelitian/reviu sebagaimana dimaksud pada huruf d, menjadi bahan pada forum penelaahan anggaran.
(4)
Mekanisme penyusunan anggaran oleh Satker BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator Satker BUN melakukan perekaman RKA BUN antara lain usulan kertas kerja, RPD dan/atau target Penerimaan dan Rencana Penerimaan Dana berdasarkan Dokumen Pendukung;
b.
approver Satker BUN meneliti kesesuaian data usulan RKA BUN dengan Dokumen Pendukung; dan
c.
dalam hal data usulan RKA BUN telah sesuai dengan Dokumen Pendukung, approver Satker BUN melakukan pengiriman data usulan RKA BUN kepada Pengguna unit eselon I PPA BUN.
(5)
Mekanisme penyusunan RDP oleh unit eselon I PPA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
berdasarkan data usulan RKA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, operator unit eselon I PPA BUN menyusun data usulan RDP BUN melalui proses penghimpunan/kompilasi/ubah data usulan RKA BUN lingkup unit eselon I PPA BUN dan menyampaikan kepada approver unit eselon I PPA BUN;
b.
approver unit eselon I PPA BUN meneliti kesesuaian data usulan RDP BUN dengan dokumen usulan RKA BUN beserta Dokumen Pendukung;
c.
dalam hal data usulan RDP BUN telah sesuai dengan dokumen usulan RKA BUN beserta Dokumen Pendukung, approver unit eselon I PPA BUN menyetujui data usulan RDP BUN;
d.
approver unit eselon I PPA BUN menyampaikan data usulan RDP BUN kepada Pengguna tingkat DJA untuk dilakukan penelitian/reviu; dan
e.
data usulan RDP BUN yang telah disetujui oleh Pengguna tingkat DJA sebagaimana dimaksud pada huruf d menjadi bahan pada forum penelaahan anggaran.

Pasal 16

Ketentuan penyusunan usulan anggaran mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-K/L dan pengesahan DIPA dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran BA BUN dan Pengesahan DIPA BUN.
Paragraf 3
Penelaahan Anggaran

Pasal 17

(1)
Penelaahan anggaran dilakukan pada tahap pagu anggaran dan tahap alokasi anggaran.
(2)
Penelaahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a.
Pengguna tingkat unit eselon I Kementerian Negara/Lembaga dan/atau unit eselon I PPA BUN melakukan upload surat tugas penelaahan dan submit data usulan RKA dan/atau RDP untuk memulai forum penelaahan;
b.
DJA dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) melakukan penelaahan atas data usulan RKA-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf e;
c.
DJA melakukan penelaahan atas data usulan RDP BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) huruf e;
d.
Hasil penelaahan oleh DJA dan Kementerian PPN/Bappenas sebagaimana dimaksud pada huruf b dan DJA sebagaimana dimaksud pada huruf c dituangkan dalam catatan penelaahan yang kemudian dicetak dan ditandatangani oleh:
1.
unit eselon I Kementerian Negara/Lembaga, DJA, dan Kementerian PPN/Bappenas untuk BA Kementerian Negara/Lembaga; atau
2.
PPA BA BUN dan DJA untuk BA BUN.
e.
DJA menutup forum penelahaan ketika data usulan RKA telah sesuai dengan hasil penelaahan.

Pasal 18

(1)
Data usulan RKA yang telah sesuai dengan hasil penelaahan pada tahap pagu anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e menjadi himpunan RKA-K/L dan RDP BUN.
(2)
Data usulan RKA yang telah sesuai dengan hasil penelaahan pada tahap alokasi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e menjadi dasar dalam penyusunan DIPA Kementerian Negara/Lembaga atau DIPA BA BUN.
Paragraf 4
Revisi Anggaran

Pasal 19

(1)
Dalam hal diperlukan penyesuaian pada tahap pelaksanaan anggaran, Kementerian Negara/Lembaga atau BA BUN dapat melakukan revisi anggaran.
(2)
Kewenangan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada tingkat:
a.
KPA;
b.
Kan wil DJ Pb;
c.
Direktorat Pelaksanaan Anggaran DJPb; dan
d.
DJA.

Pasal 20

(1)
Kewenangan revisi anggaran yang dilaksanakan pada tingkat KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator Satker melakukan perekaman data usulan revisi anggaran;
b.
approver Satker meneliti dan menyetujui usulan revisi anggaran; dan
c.
berdasarkan persetujuan revisi anggaran sebagaimana pada huruf b, operator/approver melakukan pemutakhiran ketersediaan dana.
(2)
Kewenangan revisi anggaran yang dilaksanakan pada tingkat Kanwil DJPb sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator Satker melakukan perekaman data usulan revisi anggaran;
b.
approver Satker meneliti kesesuaian data revisi anggaran dan menyetujui data revisi anggaran;
c.
approver Satker mengirim usulan revisi anggaran ke Kanwil DJ Pb;
d.
dalam hal Satker mempunyai konsolidator tingkat wilayah, penyampaian usulan revisi anggaran ke Kanwil DJPb dilakukan dengan persetujuan konsolidator tingkat wilayah;
e.
berdasarkan data usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan/atau d, Kanwil DJPb melakukan penelitian atas usulan revisi anggaran; dan
f.
berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf e, Kanwil DJPb dapat melakukan pengesahan usulan revisi anggaran pada aplikasi SPAN.
(3)
Kewenangan revisi anggaran yang dilaksanakan pada tingkat Direktorat Pelaksanaan Anggaran DJPb sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator Satker melakukan perekaman data usulan revisi anggaran;
b.
approver Satker meneliti kesesuaian data revisi anggaran dan menyetujui data revisi anggaran;
c.
approver Satker mengirim usulan revisi anggaran ke unit eselon I;
d.
dalam hal Satker mempunyai konsolidator tingkat wilayah, penyampaian usulan revisi anggaran ke unit eselon I dilakukan dengan persetujuan konsolidator tingkat wilayah;
e.
operator unit eselon I dapat melakukan perubahan data usulan revisi anggaran;
f.
approver unit eselon I meneliti kesesuaian data revisi anggaran dan memberikan persetujuan dalam hal data telah sesuai;
g.
berdasarkan data usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud dalam huruf f, Direktorat Pelaksanaan Anggaran DJPb melakukan penelitian atas usulan revisi anggaran; dan
h.
berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf g, Direktorat Pelaksanaan Anggaran DJPb dapat melakukan pengesahan usulan revisi anggaran pada aplikasi SPAN.
(4)
Dalam hal revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan inisiatif dari unit eselon I, operator unit eselon I dapat secara langsung melakukan perekaman data revisi anggaran Satker, untuk selanjutnya dilakukan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f sampai dengan huruf h.
(5)
Kewenangan revisi anggaran yang dilaksanakan pada tingkat DJA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf d dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator Satker melakukan perekaman data usulan revisi anggaran;
b.
approver Satker meneliti kesesuaian data revisi anggaran dan menyetujui data revisi anggaran;
c.
approver Satker mengirim usulan revisi anggaran ke unit eselon I;
d.
dalam hal Satker mempunyai konsolidator tingkat wilayah, penyampaian usulan revisi anggaran ke unit eselon I dilakukan dengan persetujuan konsolidator tingkat wilayah;
e.
operator unit eselon I dapat melakukan perubahan data usulan revisi anggaran;
f.
approver unit eselon I meneliti kesesuaian data revisi anggaran dan memberikan persetujuan dalam hal data telah sesuai;
g.
berdasarkan data usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud dalam huruf f, DJA melakukan penelitian atas usulan revisi anggaran; dan
h.
berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf g, DJA dapat melakukan pengesahan usulan revisi anggaran pada aplikasi SPAN.
(6)
Dalam hal revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan inisiatif dari unit eselon I, operator unit eselon I dapat secara langsung melakukan perekaman data revisi anggaran Satker, untuk selanjutnya dilakukan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf f sampai dengan huruf h.

Pasal 21

Ketentuan Revisi Anggaran mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara revisi anggaran.
Paragraf 5
Penyusunan KPJM

Pasal 22

(1)
Unit eselon I Kementerian Negara/Lembaga menyusun KPJM yang terdiri atas:
a.
RKA-K/L tahun rencana; dan
b.
perhitungan prakiraan maju tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga.
(2)
Penyusunan KPJM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a.
berdasarkan RKA-K/L hasil penelaahan DJA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e, operator unit eselon I menyusun perhitungan prakiraan maju tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga dan mengirimkan kepada Pengguna tingkat DJA; dan
b.
Pengguna tingkat DJA melakukan penelaahan atas prakiraan maju tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga yang disusun oleh operator unit eselon I.
(3)
KPJM yang telah disusun oleh unit eselon I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh unit eselon I sebagai dasar untuk menyusun angka dasar tahun yang direncanakan pada awal tahun berikutnya.
(4)
Penyusunan angka dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:
a.
operator unit eselon I menggulirkan prakiraan maju tahun pertama menjadi angka dasar tahun yang direncanakan;
b.
operator unit eselon I memutakhirkan angka dasar tahun rencana sebagaimana dimaksud pada huruf a berdasarkan realisasi, parameter ekonomi dan non ekonomi, serta kebijakan baru;
c.
operator unit eselon I menyampaikan angka dasar hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada DJA untuk dilakukan tinjau ulang dan kesesuaian dengan ketersediaan anggaran; dan
d.
operator unit eselon I melakukan penyesuaian kembali angka dasar berdasarkan hasil tinjau ulang dan ketersediaan anggaran dari DJA.

Pasal 23

Penyusunan KPJM dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-K/L dan pengesahan DIPA.
Bagian Keempat
Modul Komitmen

Paragraf 1
Umum

Pasal 24

Modul Komitmen digunakan untuk:
a.
pengelolaan data supplier,
b.
pengelolaan data kontrak;
c.
pengelolaan data pelaksanaan kegiatan kontraktual;
d.
pengelolaan data pelaksanaan kegiatan non kontraktual; dan
e.
pengelolaan data capaian output.
Paragraf 2
Pengelolaan Data Supplier

Pasal 25

(1)
Seluruh pihak yang berhak menerima atau menjadi tujuan pembayaran atas beban APBN dari rekening kas negara, harus terdaftar sebagai supplier.
(2)
Pengelolaan data supplier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, terdiri atas:
a.
pembuatan dan/atau pendaftaran data supplier,
b.
perubahan data supplier, dan
c.
penonaktifan data supplier.
(3)
Data supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
data supplier yang belum dicatat dalam SPAN; dan
b.
data supplier yang telah dicatat dalam SPAN.
(4)
Mekanisme pembuatan dan/atau pendaftaran atas data supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk data supplier yang belum dicatat dalam SPAN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam dan/atau mengunggah data supplier sesuai dengan Dokumen Pendukung;
b.
approver meneliti kesesuaian data supplier dengan Dokumen Pendukung; dan
c.
approver menyetujui data supplier yang telah sesuai dan mengirimkan ke KPPN dengan memasukkan kode pengamanan elektronik yang dikirimkan ke nomor telepon seluler, surat elektronik, atau media lainnya.
(5)
Mekanisme pembuatan dan/atau pendaftaran atas data supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk data supplier yang telah dicatat dalam SPAN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, selain dengan mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dilakukan melalui unggah data supplier yang diperoleh dari aplikasi Online Monitoring SPAN (OM SPAN) atau sarana lainnya.
(6)
Data supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi data awal pada database SPAN, untuk selanjutnya diterbitkan NRS oleh KPPN melalui SPAN.
(7)
Mekanisme perubahan data supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator mengunggah dan/atau melakukan perubahan data supplier sesuai dengan Dokumen Pendukung;
b.
approver meneliti kesesuaian data supplier dengan Dokumen Pendukung; dan
c.
approver menyetujui data supplier yang telah sesuai dan mengirimkan ke KPPN dengan memasukkan kode pengamanan elektronik yang dikirimkan ke nomor telepon seluler, surat elektronik, atau media lainnya.
(8)
Perubahan data supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan terhadap data supplier yang telah mendapatkan NRS.
(9)
Dalam hal diperlukan, penonaktifan data supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat dilakukan oleh operator berdasarkan perintah approver.

Pasal 26

Ketentuan mengenai tipe, struktur, dan mekanisme pengelolaan data supplier mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan SPAN.
Paragraf 3
Pengelolaan Data Kontrak

Pasal 27

(1)
Dalam rangka pelaksanaan pembayaran kepada pihak ketiga melalui mekanisme SPM langsung kontraktual, Satker harus mendaftarkan data kontrak kepada KPPN.
(2)
Pengelolaan data kontrak pada Modul Komitmen meliputi:
a.
pembuatan dan pendaftaran data kontrak;
b.
perubahan data kontrak; dan
c.
pembatalan data kontrak.
(3)
Mekanisme pembuatan dan pendaftaran data kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan sebagai berikut:
a.
operator merekam data kontrak sesuai dengan Dokumen Pendukung;
b.
approver meneliti kesesuaian data kontrak dengan Dokumen Pendukung; dan
c.
approver menyetujui data kontrak yang telah sesuai dan mengirimkan ke KPPN dengan memasukkan kode pengamanan elektronik yang dikirimkan ke nomor telepon seluler, surat elektronik, atau media lainnya.
(4)
Data kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi data awal pada database SPAN, untuk selanjutnya diterbitkan nomor register kontrak oleh KPPN melalui SPAN.
(5)
Mekanisme perubahan data kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan sebagai berikut:
a.
operator melakukan perubahan data kontrak sesuai dengan Dokumen Pendukung;
b.
approver meneliti kesesuaian perubahan data kontrak dengan Dokumen Pendukung; dan
c.
approver menyetujui perubahan data kontrak yang telah sesuai dan mengirimkan ke KPPN dengan memasukkan kode pengamanan elektronik yang dikirimkan ke nomor telepon seluler, surat elektronik, atau media lainnya.
(6)
Perubahan data kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan terhadap data kontrak yang telah mendapatkan nomor register kontrak.
(7)
Dalam hal diperlukan, pembatalan data kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh operator berdasarkan perintah approver.

Pasal 28

Pembuatan, perubahan, dan pembatalan data kontrak dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan SPAN.
Paragraf 4
Pengelolaan Data Pelaksanaan Kegiatan Kontraktual

Pasal 29

(1)
Pengelolaan data pelaksanaan kegiatan kontraktual meliputi:
a.
pembuatan data pelaksanaan kegiatan kontraktual;
b.
perubahan data pelaksanaan kegiatan kontraktual; dan
c.
penghapusan data pelaksanaan kegiatan kontraktual.
(2)
Data pelaksanaan kegiatan kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dokumen pelaksanaan kegiatan kontraktual yang terdiri atas:
a.
BAST;
b.
berita acara kemajuan pekerjaan;
c.
berita acara penyelesaian pekerjaan;
d.
berita acara pembayaran kontraktual;
e.
jaminan pembayaran akhir tahun; atau
f.
dokumen lain yang dipergunakan untuk pelaksanaan kegiatan kontraktual.
(3)
Data pelaksanaan kegiatan kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi nomor, tanggal, nilai penyelesaian pekerjaan, serta persentase penyelesaian pekerjaan.
(4)
Pengelolaan data pelaksanaan kegiatan kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh operator.
Paragraf 5
Pengelolaan Data Pelaksanaan Kegiatan Non Kontraktual

Pasal 30

(1)
Pengelolaan data pelaksanaan kegiatan non kontraktual meliputi:
a.
pembuatan data pelaksanaan kegiatan non kontraktual;
b.
perubahan data pelaksanaan kegiatan non kontraktual; dan
c.
penghapusan data pelaksanaan kegiatan non kontraktual.
(2)
Data pelaksanaan kegiatan non kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dokumen pelaksanaan kegiatan non kontraktual yang terdiri atas:
a.
bukti pembelian;
b.
kuitansi;
c.
surat perintah kerja;
d.
surat perjanjian;
e.
surat pesanan; atau
f.
dokumen lain yang dipergunakan untuk pelaksanaan kegiatan non kontraktual.
(3)
Data pelaksanaan kegiatan non kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi nomor, tanggal, uraian pembayaran, mata uang, dan nilai pembayaran.
(4)
Pengelolaan data pelaksanaan kegiatan non kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh operator.
Paragraf 6
Pengelolaan Data Capaian Output

Pasal 31

(1)
Pengelolaan data capaian output meliputi:
a.
perekaman data capaian output; dan
b.
perubahan data capaian output.
(2)
Data capaian output sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi terkait realisasi volume rincian output dan progress capaian realisasi output.
(3)
Pengelolaan data output sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh operator.

Pasal 32

Perekaman dan perubahan data capaian output dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai monitoring dan evaluasi pelaksanaan anggaran belanja Kementerian Negara/Lembaga.
Bagian Kelima
Modul Bendahara

Paragraf 1
Umum

Pasal 33

(1)
Bendahara Pengeluaran, Bendahara Pengeluaran Pembantu, dan Bendahara Penerimaan merupakan operator pada Modul Bendahara.
(2)
Dalam rangka operasionalisasi Modul Bendahara, operator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perekaman saldo awal.

Pasal 34

Penatausahaan transaksi pada Modul Bendahara dalam Peraturan Menteri ini tidak berlaku untuk Bendahara Pengeluaran, Bendahara Pengeluaran Pembantu, dan Bendahara Penerimaan yang berkedudukan di luar negeri pada Satker perwakilan Republik Indonesia dan/atau Satker atase teknis di luar negeri, kecuali diatur lain dalam Peraturan Menteri ini.
Paragraf 2
Bendahara Pengeluaran

Pasal 35

(1)
Penatausahaan transaksi Bendahara Pengeluaran dalam Modul Bendahara terdiri atas:
a.
transaksi UP;
b.
transaksi Penggantian Uang Persediaan (GUP)/GUP nihil;
c.
transaksi Tambahan Uang Persediaan (TUP);
d.
transaksi Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan (PTUP);
e.
transaksi Uang Persediaan Kembali Pajak (UPKP);
f.
transaksi Penggantian Uang Persediaan Kembali Pajak (GUPKP);
g.
transaksi dana titipan;
h.
transaksi setoran PNBP;
i.
transaksi pungutan dan setoran pajak;
j.
transaksi setoran pengembalian belanja;
k.
transaksi pengelolaan kas hibah;
l.
transaksi pencatatan dana kas masuk BLU; dan
m.
transaksi pengelolaan rekening pemerintah.
(2)
Khusus untuk penatausahaan transaksi oleh Bendahara Pengeluaran pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan Satker atase teknis di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilakukan dengan menggunakan aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Luar Negeri.

Pasal 36

(1)
Penatausahaan transaksi UP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a dilakukan terhadap:
a.
UP tunai; dan
b.
UP Kartu Kredit Pemerintah (UP KKP).
(2)
Penatausahaan transaksi UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
pengajuan usulan UP; dan
b.
perubahan besaran UP dan/atau proporsi UP.
(3)
Pengajuan usulan UP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan melalui perekaman usulan UP oleh operator.
(4)
Dalam hal terdapat perubahan besaran UP dan/atau proporsi UP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, operator melakukan perekaman surat persetujuan dari Kanwil DJPb.
(5)
Usulan UP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a digunakan sebagai dasar:
a.
pembuatan SPM UP tunai; dan
b.
penetapan batasan belanja (limit) UP KKP.
(6)
Terhadap SPM UP tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a yang telah diterbitkan SP2D UP, operator melakukan pencatatan SP2D UP pada pembukuan bendahara yang tercantum dalam Modul Bendahara.
(7)
Terhadap penetapan batasan belanja (limit) UP KKP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b yang telah diterbitkan surat persetujuan UP KKP oleh KPPN, operator melakukan pencatatan surat dimaksud dalam Modul Bendahara.

Pasal 37

(1)
Penatausahaan transaksi GUP/GUP nihil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b untuk UP tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a terdiri atas penatausahaan:
a.
transaksi GUP/GUP nihil tanpa uang muka; dan
b.
transaksi GUP/GUP nihil dengan uang muka.
(2)
Mekanisme penatausahaan transaksi GUP/GUP nihil tanpa uang muka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam bukti pengeluaran; dan
b.
operator membuat Daftar Rincian Permintaan Pembayaran (DRPP).
(3)
Mekanisme penatausahaan transaksi GUP/GUP nihil dengan uang muka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam bukti pengeluaran dengan terlebih dahulu mencatat uang muka dan alokasi untuk Bendahara Pengeluaran Pembantu/pegawai; dan
b.
operator membuat DRPP.
(4)
DRPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b digunakan sebagai dasar pembuatan 8PM GUP/GUP nihil.
(5)
Terhadap 8PM GUP/GUP nihil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang telah diterbitkan SP2D GUP/GUP nihil, operator melakukan pencatatan SP2D GUP/GUP nihil pada pembukuan bendahara yang tercantum dalam Modul Bendahara.

Pasal 38

Penatausahaan transaksi GUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b untuk UP KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator melakukan pencatatan SP2D GUP KKP dalam pembukuan bendahara pada Modul Bendahara; dan
b.
operator melakukan pencatatan pembayaran tagihan KKP dalam pembukuan bendahara.

Pasal 39

(1)
Penatausahaan transaksi TUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c, untuk UP tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh operator dengan merekam rincian pembiayaan TUP tunai.
(2)
Rincian pembiayaan TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pembuatan 8PM TUP.
(3)
Terhadap 8PM TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterbitkan SP2D TUP, operator melakukan pencatatan SP2D TUP pada pembukuan bendahara yang tercantum dalam Modul Bendahara.

Pasal 40

Penatausahaan transaksi TUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c untuk UP KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh operator dengan merekam rincian pembiayaan TUP KKP.

Pasal 41

(1)
Penatausahaan transaksi PTUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf d, untuk UP tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a terdiri atas penatausahaan:
a.
transaksi PTUP tanpa uang muka; dan
b.
transaksi PTUP dengan uang muka.
(2)
Mekanisme penatausahaan transaksi PTUP tanpa uang muka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam bukti pengeluaran; dan
b.
operator membuat DRPP.
(3)
Mekanisme penatausahaan transaksi PTUP dengan uang muka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam bukti pengeluaran dengan terlebih dahulu mencatat uang muka dan alokasi untuk Bendahara Pengeluaran Pembantu/pegawai; dan
b.
operator membuat DRPP.
(4)
DRPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b digunakan sebagai dasar pembuatan SPMPTUP.
(5)
Terhadap SPMPTUP sebagaimana dimaksud pada ayat
(4)
yang telah diterbitkan SP2D PTUP, operator melakukan pencatatan SP2D PTUP pada pembukuan bendahara yang tercantum dalam Modul Bendahara.

Pasal 42

Penatausahaan transaksi PTUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf d untuk UPKKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator melakukan pencatatan SP2D PTUP KKP dalam pembukuan bendahara dalam Modul Bendahara; dan
b.
operator melakukan pencatatan pembayaran tagihan KKP dalam pembukuan bendahara.

Pasal 43

(1)
Penatausahaan transaksi UPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf e, dilaksanakan terhadap SPM UPKP yang telah diterbitkan SP2D UPKP oleh KPPN
(2)
Berdasarkan SP2D UPKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) operator mencatat SP2D dimaksud pada pembukuan bendahara.

Pasal 44

(1)
Mekanisme penatausahaan transaksi GUPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf f, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam bukti pengeluaran; dan
b.
operator membuat DRPP.
(2)
DRPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan sebagai dasar pembuatan SPM GUPKP.
(3)
Terhadap SPM GUPKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterbitkan SP2D GUPKP, operator melakukan pencatatan SP2D GUPKP pada pembukuan bendahara yang tercantum dalam Modul Bendahara.

Pasal 45

(1)
Penatausahaan dana titipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf g meliputi penatausahaan dana titipan:
a.
yang bersumber dari SP2D LS Bendahara; dan
b.
yang bersumber selain dari SP2D LS Bendahara.
(2)
Mekanisme penatausahaan dana titipan yang bersumber dari SP2D LS Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator melakukan pencatatan SP2D LS bendahara dalam pembukuan bendahara dalam Modul Bendahara; dan
b.
operator melakukan pencatatan transaksi pembayaran dana titipan pada pembukuan bendahara.
(3)
Mekanisme penatausahaan dana titipan yang bersumber selain dari SP2D LS Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator melakukan pencatatan transaksi kas masuk lainnya dalam pembukuan bendahara saat dana titipan diterima oleh bendahara; dan
b.
operator melakukan pencatatan transaksi kas keluar dana titipan saat penyaluran dana titipan kepada pihak yang berhak pada pencatatan kas keluar Bendahara pengeluaran.
(4)
Dalam hal terdapat pengembalian/penyetoran dana titipan, operator melakukan pencatatan atas transaksi pengembalian/penyetoran kembali sisa dana titipan pada pembukuan bendahara.

Pasal 46

(1)
Penatausahaan transaksi setoran PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf h terdiri atas penatausahaan:
a.
transaksi setoran PNBP tanpa SBS (non SBS); dan
b.
transaksi setoran PNBP dengan SBS.
(2)
Penatausahaan setoran PNBP non SBS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan melakukan pencatatan setoran PNBP oleh operator.
(3)
Penatausahaan setoran PNBP dengan SBS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan mencatat uang masuk, mencetak SBS, dan mencatat setoran PNBP oleh operator.

Pasal 47

(1)
Penatausahaan transaksi pungutan dan setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf i, dilakukan dengan mencatat pungutan pajak berdasarkan:
a.
SPBy; dan/atau
b.
dokumen lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
oleh operator.
(2)
Penatausahaan transaksi pungutan dan setoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mencatat detil setoran atas pungutan pajak oleh operator.

Pasal 48

Penatausahaan transaksi setoran pengembalian belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf j dilakukan dengan mencatat rincian setoran pengembalian belanja oleh operator.

Pasal 49

(1)
Penatausahaan transaksi pengelolaan kas hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam transaksi masuk kas hibah dan kuitansi kas hibah; dan
b.
operator membuat DRPP.
(2)
DRPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan sebagai dasar pembuatan SP2HL.

Pasal 50

Penatausahaan transaksi pencatatan dana kas masuk BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf 1, dilakukan dengan merekam transaksi uang masuk bendahara oleh operator.

Pasal 51

Penatausahaan transaksi pengelolaan rekening pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf m, dilakukan dengan merekam referensi rekening Bendahara Pengeluaran dan rekening pemerintah lainnya oleh operator.
Paragraf 3
Bendahara Pengeluaran Pembantu

Pasal 52

(1)
Penatausahaan transaksi Bendahara Pengeluaran dalam Modul Bendahara yang terdiri atas:
a.
transaksi GUP/GUPnihil;
b.
transaksi PTUP;
c.
transaksi GUPKP;
d.
transaksi dana titipan;
e.
transaksi pungutan dan setoran pajak;
f.
transaksi pengelolaan kas hibah; dan
g.
transaksi pengelolaan rekening pemerintah,
dapat dilaksanakan oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu selaku operator.
(2)
Penatausahaan transaksi oleh operator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pencatatan SP2D pada pembukuan bendahara.
(3)
Ketentuan mengenai pencatatan transaksi:
a.
GUP/GUP nihil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37;
b.
PTUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41;
c.
GUPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44;
d.
dana titipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45;
e.
pungutan dan setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47;
f.
pengelolaan kas hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49; dan
g.
pengelolaan rekening pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51,
oleh Bendahara Pengeluaran berlaku secara mutatis mutandis terhadap pencatatan transaksi oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.
Paragraf 4
Bendahara Penerimaan

Pasal 53

Kewenangan penatausahaan Penerimaan meliputi:
a.
transaksi setoran PNBP;
b.
transaksi pengelolaan rekening pemerintah; dan
c.
transaksi pengelolaan dana pihak ketiga Bendahara Penerimaan.

Pasal 54

(1)
Penatausahaan transaksi setoran PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a terdiri atas penatausahaan:
a.
transaksi setoran PNBP tanpa SBS (non SBS); dan
b.
transaksi setoran PNBP dengan SBS.
(2)
Penatausahaan setoran PNBP non SBS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan melakukan pencatatan setoran PNBP oleh operator.
(3)
Penatausahaan setoran PNBP dengan SBS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan mencatat uang masuk, mencetak SBS, dan mencatat setoran PNBP oleh operator.

Pasal 55

Penatausahaan transaksi pengelolaan rekening pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b, dilakukan dengan merekam referensi rekening Bendahara Penerimaan dan rekening pemerintah lainnya oleh operator.

Pasal 56

Penatausahaan transaksi pengelolaan dana pihak ketiga Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf c, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator melakukan pencatatan transaksi kas masuk dalam pembukuan bendahara saat dana pihak ketiga diterima di rekening yang dikelola oleh Bendahara Penerimaan; dan
b.
operator melakukan pencatatan transaksi kas keluar dalam pembukuan bendahara saat dana pihak ketiga dikeluarkan dari rekening yang dikelola oleh Bendahara Penerimaan.
Paragraf 5
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara

Pasal 57

(1)
Bendahara Pengeluaran Pembantu menyusun Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Pengeluaran Pembantu setiap bulan atas uang/surat berharga yang dikelolanya dan menyampaikannya ke Bendahara Pengeluaran.
(2)
Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Penerimaan menyusun LPJ Bendahara setiap bulan atas uang/surat berharga yang dikelolanya.
(3)
Mekanisme penyusunan LPJ oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sebagai berikut:
a.
operator memeriksa kesesuaian kas tunai dan kas bank yang dikelola bendahara dengan buku pembantu kas tunai dan buku pembantu kas bank;
b.
operator merekam penjelasan dalam hal terdapat selisih antara hasil pemeriksaan dengan pembukuan; dan
c.
operator menerbitkan dan meng1nm LPJ beserta lampirannya ke Bendahara Pengeluaran.
(4)
Mekanisme penyusunan LPJ oleh Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator memeriksa kesesuaian kas tunai dan kas bank yang dikelola bendahara dengan buku pembantu kas tunai dan buku pembantu kas bank;
b.
operator merekam penjelasan dalam hal terdapat selisih antara hasil pemeriksaan dan pembukuan; dan
c.
operator menerbitkan dan mengirim LPJ beserta lampirannya ke KPPN.
(5)
Penyampaian LPJ bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai kedudukan dan tanggung jawab bendahara pada Satker pengelola APBN.
Bagian Keenam
Modul Pembayaran

Paragraf 1
Umum

Pasal 58

(1)
Modul Pembayaran digunakan untuk:
a.
penerbitan SPP;
b.
penerbitan SPM;
c.
pencatatan SP2D;
d.
pencatatan RPD Harian;
e.
penerbitan SPBy;
f.
koreksi data transaksi; dan
g.
penyesuaian pagu DIPA.
(2)
Penggunaan Modul Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
a.
operator;
b.
PPK selaku validator, dan
c.
PPSPM/KPA/kepala kantor selaku approver sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(3)
Untuk transaksi-transaksi tertentu yang karena sifatnya tidak dapat diproses melalui SAKTI, penerbitan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan pencatatan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diproses dengan aplikasi khusus yang diperuntukkan bagi masing-masing transaksi.
Paragraf 2
Penerbitan SPP

Pasal 59

(1)
Penerbitan SPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam tagihan sesuai dengan Dokumen Pendukung;
b.
validator meneliti kesesuaian data tagihan dengan Dokumen Pendukung;
c.
dalam hal data tagihan telah sesuai dengan Dokumen Pendukung, validator melakukan validasi secara sistem dan menerbitkan SPP dengan memasukkan kode pengamanan elektronik yang dikirimkan ke nomor telepon seluler, surat elektronik, atau media lainnya; dan
d.
dalam hal data tagihan tidak sesuai dengan Dokumen Pendukung, validator mengembalikan data hasil perekaman kepada operator untuk diperbaiki dan direkam kembali oleh operator.
(2)
Ketentuan mengenai Dokumen Pendukung dan mekanisme penerbitan SPP di tingkat Satker mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN.
Paragraf 3
Penerbitan SPM

Pasal 60

(1)
Penerbitan SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan SPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf
(2)
Penerbitan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
approver meneliti kesesuaian data SPP dengan Dokumen Pendukung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
approver melakukan pengujian secara sistem dan memberikan persetujuan; dan
c.
approver menerbitkan SPM dengan memasukkan kode pengamanan elektronik yang dikirimkan ke nomor telepon seluler, surat elektronik, atau media lainnya.
(3)
Tata cara penerbitan SPM di tingkat Satker dilaksanakan sesuai dengan dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN.
Paragraf 4
Pencatatan SP2D

Pasal 61

(1)
Pencatatan SP2D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf c, dilakukan terhadap SP2D yang telah diterbitkan melalui SPAN oleh KPPN atas SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf C.
(2)
Pencatatan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui unggah data nomor SP2D secara otomatis dari database SPAN.
Paragraf 5
Pencatatan RPD Harian

Pasal 62

(1)
Satker menyusun RPD Harian tingkat Satker untuk seluruh jenis SPM yang nilainya termasuk dalam klasifikasi transaksi besar.
(2)
Penentuan klasifikasi transaksi besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai rencana penarikan dana, penerimaan dana, dan perencanaan kas.
(3)
Penyusunan RPD Harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator mencatat RPD Harian tingkat Satker; dan
b.
validator meneliti dan menyetujui RPD Harian tingkat Satker yang telah dicatat oleh operator.
(4)
Dalam hal terdapat SPM yang termasuk dalam klasifikasi transaksi besar tetapi operator tidak melakukan pencatatan RPD Harian, RPD Harian akan terbentuk secara otomatis pada saat SPM disampaikan ke KPPN.
(5)
Jangka waktu RPD Harian yang terbentuk secara otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Paragraf 6
Penerbitan SPBy

Pasal 63

Penerbitan SPBy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf e dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam bukti pengeluaran;
b.
validator memeriksa dan meneliti kesesuaian data hasil perekaman yang dilakukan operator sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pengeluaran;
c.
dalam hal hasil perekaman oleh operator telah sesuai dengan bukti pengeluaran, validator melakukan validasi secara sistem dan menerbitkan SPBy; dan
d.
dalam hal hasil perekaman oleh operator tidak sesuai dengan bukti pengeluaran, validator mengembalikan data hasil perekaman kepada operator untuk diperbaiki dan direkam kembali oleh operator.
Paragraf 7
Koreksi Data Transaksi

Pasal 64

(1)
Dalam hal terdapat kesalahan pada SPM, Satker dapat melakukan koreksi data transaksi terhadap:
a.
bagan akun standar;
b.
pembebanan Rekening Khusus; dan/atau
c.
deskripsi/uraian pembayaran.
(2)
Koreksi data transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan SPM koreksi sesua1 dengan mekanisme penerbitan SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60.
(3)
Satker menyampaikan surat permintaan koreksi kepada KPPN dengan melampirkan SPM koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Berdasarkan surat permintaan koreksi sebagaimana pada ayat (3), KPPN melakukan koreksi data transaksi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai SPAN.
Paragraf 8
Penyesuaian Pagu DIPA

Pasal 65

(1)
Satker dapat melakukan penyesuaian sisa pagu DIPA terhadap pengembalian belanja atas beban APBN yang dilakukannya.
(2)
Pengembalian belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke kas negara dalam tahun anggaran berjalan.
(3)
Berdasarkan penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Satker mengajukan surat permintaan penyesuaian sisa pagu DIPA ke KPPN.
(4)
Berdasarkan penyampaian surat permintaan penyesuaian sisa pagu DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPPN melakukan penyesuaian pagu DIPA dan menerbitkan surat pemberitahuan atas penyesuaian sisa pagu DIPA kepada Satker.
(5)
Berdasarkan surat pemberitahuan atas penyesuaian sisa pagu DIPA dari KPPN, Satker melakukan penyesuaian sisa pagu DIPA.
(6)
Penyesuaian sisa pagu DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam data pengembalian belanja yang berasal dari transaksi pengembalian belanja pada Modul Bendahara;
b.
approver meneliti kesesuaian data pengembalian belanja dengan surat pemberitahuan atas penyesuaian sisa pagu DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan
c.
approver menguji secara sistem dan menerbitkan surat perintah pengesahan pengembalian belanja;
Paragraf 9
Pemrosesan Transaksi untuk Dokumen Lain yang Dipersamakan dengan SPM dan Dokumen Lain yang Dipersamakan dengan SP2D

Pasal 66

(1)
Selain digunakan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), Modul Pembayaran dapat digunakan untuk penerbitan dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM dan dokumen lain yang dipersamakan dengan SP2D.
(2)
Dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
SPMIB;
b.
SPMKP;
c.
SPM P-BMDAB;
d.
SPM P-BMC;
e.
SPM Pengembalian Penerimaan Negara Bukan Pajak;
f.
SPM Kembali Pungutan Ekspor;
g.
SPM Kelebihan Cukai;
h.
SPM Kembali Bea Ekspor;
SP3B BLU;
J.
SP2HL;
k.
Memo Pencatatan Hibah Langsung Bentuk Barang/Jasa/Surat Berharga;
l.
SP4 HL; dan
m.
SPP APD-PL/PP.
(3)
Penerbitan dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
operator merekam data tagihan sesuai dengan masing-masing Jenis tagihan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
approver meneliti kesesuaian data tagihan dengan Dokumen Pendukung lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.
approver menguji secara sistem dan melakukan persetujuan terhadap dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM;
d.
approver menerbitkan dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM dengan memasukkan kode pengamanan elektronik yang dikirimkan ke nomor telepon seluler, surat elektronik, atau media lainnya; dan
e.
dalam hal terdapat ketidaksesuaian data hasil perekaman berdasarkan pemeriksaan dan penelitian oleh approver sebagaimana dimaksud pada huruf b, approver mengembalikan data basil perekaman kepada operator untuk diperbaiki dan direkam kembali oleh operator;
(4)
Ketentuan pencatatan SP2D atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SP2D atas dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku secara mutatis mutandis terhadap ketentuan pencatatan SP2D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61.
(5)
Dokumen yang dipersamakan dengan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah sebagai berikut:
a.
SP2B BLU untuk SP3B BLU;
b.
SPHL untuk SP2HL;
c.
Persetujuan MPHL BJS untuk MPHL BJS;
d.
SP3HL untuk SP4HL; dan
e.
APD untuk SPPAPD-PL/PP.
(6)
Ketentuan pencatatan RPD Harian atas dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku secara mutatis mutandis terhadap ketentuan pencatatan RPD Harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
(7)
Ketentuan koreksi data transaksi atas dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku secara mutatis mutandis terhadap ketentuan koreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
(8)
Ketentuan penyesuaian pagu DIPA atas SPMIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku secara mutatis mutandis terhadap ketentuan penyesuaian pagu DIPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
Bagian Ketujuh
Modul Persediaan

Pasal 67

Modul Persediaan digunakan antara lain untuk kegiatan:
a.
perekaman referensi barang persediaan;
b.
perekaman transaksi persediaan;
c.
tutup buku persediaan;
d.
pencetakan laporan persediaan;
e.
konfigurasi metode pencatatan; dan
f.
konfigurasi metode penilaian.

Pasal 68

(1)
Pengguna Modul Persediaan terdiri atas:
a.
operator; dan
b.
approver.
(2)
Operator melakukan perekaman referensi barang persediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a, perekaman transaksi persediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, dan tutup buku persediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf c.
(3)
Approver melakukan verifikasi dan memberikan persetujuan terhadap perekaman referensi barang persediaan, perekaman transaksi persediaan, dan tutup buku persediaan yang dilakukan oleh operator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah sesuai.
(4)
Pencetakan laporan persediaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 huruf d dapat dilakukan oleh operator dan approver.
(5)
Pelaksanaan konfigurasi metode pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf e dan konfigurasi metode penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf f berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan oleh unit yang berwenang dalam pengaturan BMN dan/atau kebijakan Laporan Keuangan pemerintah.

Pasal 69

(1)
Modul persediaan menghasilkan laporan antara lain:
a.
buku persediaan;
b.
laporan persediaan; dan
c.
laporan posisi persediaan di neraca.
(2)
Dalam hal UAKPB membentuk UAPKPB, laporan persediaan UAKPB mencakup data persediaan pada UAPKPB di bawahnya.
Bagian Kedelapan
Modul Aset Tetap

Pasal 70

Modul Aset Tetap digunakan antara lain untuk pemrosesan transaksi:
a.
perekaman transaksi BMN;
b.
perhitungan penyusutan/amortisasi;
c.
pembuatan data summary untuk keperluan pelaporan aset tetap;
d.
tutup buku aset tetap; dan
e.
pencetakan buku/daftar dan laporan BMN.

Pasal 71

(1)
Pengguna Modul Aset Tetap terdiri atas:
a.
operator;
b.
validator, dan
c.
approver.
(2)
Operator melakukan perekaman transaksi BMN sebagaimana dalam Pasal 70 huruf a, perhitungan penyusutan/amortisasi sebagaimana dalam Pasal 70 huruf b, pembuatan data summary untuk keperluan pelaporan aset tetap sebagaimana dalam Pasal 70 huruf c, dan tutup buku aset tetap sebagaimana dalam Pasal 70 huruf d.
(3)
Validator melakukan verifikasi kesesuaian dan validasi terhadap pemrosesan transaksi yang telah dilakukan oleh operator sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Approver meneliti dan melakukan persetujuan terhadap pemrosesan transaksi yang telah sesuai berdasarkan verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh validator sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)
Dalam hal terdapat ketidaksesuaian data hasil pemrosesan transaksi dengan penelitian oleh approver sebagaimana dimaksud pada ayat (3), approver mengembalikan data hasil perekaman kepada validator untuk dilakukan batal validasi dan dilakukan perbaikan oleh operator.
(6)
Operator, validator, dan approver dapat melakukan pencetakan laporan BMN sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 huruf e.

Pasal 72

Perekaman transaksi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf a, antara lain:
a.
perolehan BMN, perubahan BMN, BMN Hilang, penghentian penggunaan, usulan penghapusan BMN, penghapusan BMN;
b.
perolehan KDP, perubahan/pengembangan KDP dan penghapusan KDP; dan
c.
perolehan BMN bersejarah dan penghapusan BMN bersejarah.

Pasal 73

Modul Aset Tetap menghasilkan Laporan antara lain sebagai berikut:
a.
buku/daftar berupa buku barang, daftar transaksi BMN, history BMN, kartu konstruksi dalam pengerjaan, daftar barang rusak berat/hapus yang diusulkan ke pengelola; dan
b.
Laporan BMN berupa laporan barang, laporan penyusutan, laporan kondisi barang, laporan posisi BMN di neraca, dan catatan ringkas BMN.

Pasal 74

(1)
Konsolidasi laporan BMN dilakukan oleh konsolidator pada tingkat:
a.
Unit UAPPB-W;
b.
UAPPB-El; dan
c.
UAPB.
(2)
Konsolidator laporan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pencetakan laporan BMN konsolidasian sesuai dengan level konsolidasiannya.
(3)
Konsolidator laporan BMN dapat melakukan pencetakan laporan BMN pada tingkat di bawahnya.
(4)
Dalam hal UAKPB membentuk UAPKPB, laporan BMN UAKPB mencakup data BMN pada UAPKPB di bawahnya.

Pasal 75

Perhitungan penyusutan aset tetap/amortisasi aset lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf b berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai penyusutan BMN.
Bagian Kesembilan
Modul Piutang

Pasal 76

Modul Piutang digunakan antara lain untuk:
a.
perekaman referensi debitur;
b.
perekaman transaksi piutang;
c.
perekaman settlement pembayaran/pelunasan piutang;
d.
perekaman surat penagihan;
e.
perekaman dokumen reklasifikasi kualitas piutang;
f.
perhitungan penyisihan piutang;
g.
transfer keluar-transfer masuk data piutang;
h.
perekaman hapus buku/hapus tagih;
i.
perekaman koreksi piutang;
j.
tutup buku piutang; dan
k.
pencetakan laporan piutang.

Pasal 77

Penggunaan Modul Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dilaksanakan oleh operator.

Pasal 78

Modul Piutang menghasilkan laporan antara lain terdiri atas:
a.
kartu piutang;
b.
kartu penyisihan piutang tak tertagih;
c.
rekapitulasi piutang yang sudah lunas;
d.
rekapitulasi transfer keluar-transfer masuk; dan
e.
daftar piutang jatuh tempo.
Bagian Kesepuluh
Modul Akuntansi dan Pelaporan

Pasal 79

Modul Akuntansi dan Pelaporan digunakan antara lain untuk:
a.
jurnal manual dan jurnal penyesuaian;
b.
transaksi resiprokal;
c.
posting jurnal;
d.
monitoring jurnal;
e.
tutup buku; dan
f.
pencetakan Laporan Keuangan.

Pasal 80

Penggunaan Modul Akuntansi dan Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dilaksanakan oleh operator.

Pasal 81

Modul Akuntansi dan Pelaporan menghasilkan laporan antara lain sebagai berikut:
a.
Laporan Buku Besar;
b.
Neraca Percobaan;
c.
Laporan Operasional;
d.
Neraca;
e.
Laporan Realisasi Anggaran;
f.
Laporan Perubahan Ekuitas; dan
g.
Laporan Rekonsiliasi Neraca dengan Sub Ledger.

Pasal 82

(1)
Konsolidasi Laporan Keuangan dilakukan oleh konsolidator pada tingkat:
a.
UAPPA-W;
b.
UAPPA-El; dan
c.
UAPA.
(2)
Konsolidator Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pencetakan Laporan Keuangan konsolidasian sesuai dengan tingkat konsolidasiannya.
(3)
Konsolidator Laporan Keuangan dapat melakukan pencetakan Laporan Keuangan tingkat di bawahnya.

Pasal 83

Pelaksanaan rekonsiliasi dan penyusunan Laporan Keuangan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai pedoman rekonsiliasi dan penyusunan Laporan Keuangan lingkup BUN dan Kementerian Negara/Lembaga.
Bagian Kesebelas
Aplikasi untuk Monitoring Data dan Transaksi SAKTI

Pasal 84

(1)
Aplikasi untuk monitoring data dan transaksi SAKTI disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(2)
Aplikasi untuk monitoring data dan transaksi SAKTI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan antara lain untuk monitoring realisasi anggaran, data supplier, data kontrak, status tagihan, dan indikator kesesuaian data pelaporan.
Bagian Keduabelas
Sistem Mitra

Paragraf 1
Umum

Pasal 85

(1)
Dalam hal tertentu, Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya dapat melakukan kerja sama dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan pertukaran data dengan SAKTI.
(2)
Pertukaran data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a.
interkoneksi dengan SAKTI; atau
b.
interkoneksi melalui aplikasi monitoring.
(3)
Pertukaran data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan oleh unit pengelola TIK Kementerian Negara/Lembaga atau pihak lainnya dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(4)
Interkoneksi dengan SAKTI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
aplikasi bersifat nasional digunakan oleh seluruh Kementerian Negara/Lembaga;
b.
melaksanakan kebijakan sistem keamanan informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.
menyediakan fungsi jejak audit (audit trails); dan
d.
menyediakan aspek terkait dengan penjaminan mutu (quality assurance), BCP, dan disaster recovery.
(5)
Interkoneksi melalui aplikasi monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b digunakan untuk pertukaran data yang bersumber dari SAKTI sesuai dengan standar struktur data yang telah ditentukan.
Paragraf 2
Proses Pengajuan Interkoneksi Sistem Mitra

Pasal 86

Pihak Mitra yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (4) dapat mengajukan usulan pengajuan interkoneksi Sistem Mitra dengan SAKTI melalui surat yang ditandatangani oleh pimpinan tertinggi Pihak Mitra kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.

Pasal 87

Surat usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 harus dilengkapi dengan surat pernyataan yang ditandatangani oleh pimpinan tertinggi Pihak Mitra pengusul yang berisi mengenai:
1.
kesanggupan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.
ketersediaan unit pengelola TIK untuk membangun dan mengoperasikan Sistem Mitra yang terinterkoneksi dengan SAKTI;
3.
kesediaan untuk menerapkan secure socket layer dan menggunakan antivirus terbaru beserta pendukung sistem keamanan lainnya yang akan dilakukan pembaharuan/update, serta menutup/disable service/port server message block pada Sistem Mitra;
4.
kesediaan untuk dilakukan integration test dan user acceptance test oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan terhadap Sistem Mitra; dan
5.
narahubung berupa nama, jabatan, dan alamat surat elektronik resmi sakti.mail.go.id.
Paragraf 3
Proses Verifikasi Usulan Sistem Mitra

Pasal 88

(1)
Terhadap usulan yang disampaikan oleh Pihak Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dan Pasal 87, Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan proses verifikasi usulan Sistem Mitra.
(2)
Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan verifikasi kelengkapan dokumen;
b.
berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat menerima atau menolak usulan;
c.
dalam hal usulan sebagaimana dimaksud pada huruf b diterima, Direktorat Jenderal Perbendaharaan melaksanakan integration testing dan user acceptance test terhadap Sistem Mitra; dan
d.
dalam hal usulan sebagaimana dimaksud pada huruf b ditolak, Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Pihak Mitra pengusul paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak surat usulan dan dokumen kelengkapan diterima secara lengkap.
Paragraf 4
Proses Pengujian Ulang Sistem Mitra

Pasal 89

(1)
Dalam hal Sistem Mitra dinyatakan tidak lulus integration test dan user acceptance test sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) huruf c, Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan hasil integration test dan user acceptance test kepada pimpinan Pihak Mitra untuk ditindaklanjuti dengan perbaikan Sistem Mitra.
(2)
Perbaikan Sistem Mitra harus diselesaikan oleh pimpinan Pihak Mitra paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan hasil integration test dan user acceptance test sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Berdasarkan perbaikan Sistem Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Perbendaharaan melaksanakan pengujian ulang Sistem Mitra yang meliputi integration test dan user acceptance test.
(4)
Dalam hal pimpinan Pihak Mitra tidak dapat menyelesaikan perbaikan Sistem Mitra dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan penolakan interkoneksi antara SAKTI dengan Sistem Mitra secara tertulis kepada pimpinan tertinggi Pihak Mitra.
(5)
Dalam hal berdasarkan integration test dan user acceptance test sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan dalam 88 ayat (2) huruf c Sistem Mitra dinyatakan lulus, Direktur Jenderal Perbendaharaan dan pimpinan tertinggi Pihak Mitra menandatangani perjanjian kerja sama.
Paragraf 5
Perjanjian Kerja Sama

Pasal 90

Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (5) paling sedikit memuat:
a.
tujuan dan maksud perjanjian;
b.
tugas dan wewenang para pihak;
c.
data dan sistem yang digunakan;
d.
penanganan gangguan sistem dan jaringan;
e.
penyelesaian perselisihan; dan
f.
Keadaan Kahar (Force Majeure).
BAB III
KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEURE)

Pasal 91

(1)
Dalam hal terdapat gangguan yang menyebabkan sistem tidak berfungsi, diberlakukan Keadaan Kahar (Force Majeure).
(2)
Deklarasi kondisi Keadaan Kahar (Force Majeure) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(3)
Deklarasi kondisi keadaan kahar (Force Majeure) dilakukan segera dan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah terjadinya kondisi Keadaan Kahar (Force Majeure).
(4)
Deklarasi kondisi Keadaan Kahar (Force Majeure) untuk Sistem Mitra, ditetapkan oleh pimpinan tertinggi Pihak Mitra.
(5)
Dalam hal terdapat Keadaan Kahar (Force Majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan BCP.
BAB IV
DUKUNGAN LAYANAN DAN KEAMANAN INFORMASI DATA SAKTI

Bagian Kesatu
Layanan Pengguna

Pasal 92

(1)
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyediakan layanan pengguna terkait SAKTI untuk seluruh Kementerian Negara/Lembaga Pengguna SAKTI.
(2)
Layanan Pengguna terkait SAKTI dilaksanakan oleh HAI-DJPb sesuai dengan ketentuan mengenai pedoman penyelenggaraan layanan help, answer, improve DJPb.
Bagian Kedua
Peranan Kanwil DJPb dan KPPN

Pasal 93

(1)
Kanwil DJPb bertanggung jawab melaksanakan koordinasi monitoring dan evaluasi SAKTI di KPPN lingkup wilayahnya.
(2)
Dalam hal diperlukan Kanwil DJPb dapat menyelenggarakan sosialisasi dan bimbingan teknis, serta publikasi dan komunikasi kepada Satker dalam lingkup wilayahnya.
(3)
Kanwil DJPb bertanggung jawab melaksanakan koordinasi dengan Satker Kementerian Negara/Lembaga tingkat wilayah.

Pasal 94

(1)
KPPN bertanggung jawab melaksanakan kegiatan penyuluhan SAKTI pada Satker mitra kerja.
(2)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup:
a.
penyelenggaraan sosialisasi dan bimbingan teknis yang berkelanjutan; dan
b.
publikasi dan komunikasi.
Bagian Ketiga
Keamanan Informasi Data

Pasal 95

(1)
Keamanan informasi atas penyelenggaraan sistem elektronik menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan selaku penyelenggara SAKTI.
(2)
Ketentuan sebagaimana pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal terjadi penyalahgunaan oleh Pengguna.
(3)
Instansi Pengguna bertanggung jawab atas pemenuhan standar keamanan dan kelancaran jaringan dalam penggunaan SAKTI sesuai dengan kebijakan tata kelola TIK dan standar sistem manajemen keamanan informasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
BAB V
MIGRASI DATA SALDO AWAL

Pasal 96

(1)
Migrasi data saldo awal SAKTI dilaksanakan pada saat penggunaan Modul Persediaan, Modul Aset Tetap, dan Modul Akuntansi dan Pelaporan untuk pertama kali.
(2)
Migrasi data saldo awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
migrasi data persediaan;
b.
migrasi data aset tetap; dan
c.
migrasi data buku besar neraca.

Pasal 97

(1)
Migrasi data persediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf a merupakan proses pemindahan referensi dan saldo awal persediaan dari aplikasi E-Rekon dan LK ke dalam Modul Persediaan.
(2)
Migrasi data aset tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf b merupakan proses pemindahan data aset tetap dari aplikasi E-Rekon dan LK ke dalam Modul Aset Tetap.
(3)
Migrasi data buku besar neraca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf c merupakan proses pemindahan saldo akun neraca dari aplikasi E-Rekon dan LK ke dalam Modul Akuntansi dan Pelaporan.
(4)
Data migrasi persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), data migrasi Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan data migrasi buku besar neraca sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan data berdasarkan data Laporan Keuangan audited tahun sebelumnya.
(5)
Migrasi data aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan data summary history BMN.
(6)
Hasil pelaksanaan migrasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dituangkan dalam berita acara migrasi data.

Pasal 98

Ketentuan teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan SAKTI diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 99

Data Pengguna dan kode pengamanan elektronik yang telah didaftarkan dan diaktivasi sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dinyatakan tetap berlaku dan diakui sebagai Pengguna dan kode pengamanan elektronik pelaksanaan SAKTI berdasarkan Peraturan Menteri ini.

Pasal 100

Proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban APBN Tahun Anggaran 2021 yang telah dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.05/2018 tentang Pelaksanaan Piloting Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1715) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.05/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.05/2018 Tentang Pelaksanaan Piloting Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat tr Instansi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1691), diselesaikan dan dilaporkan berdasarkan pada Peraturan Menteri ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 101

Penatausahaan transaksi Bendahara Pengeluaran pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan Satker atase teknis di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan penerbitan SPM dan pencatatan SP2D atas transaksi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 ayat (3) dilakukan menggunakan SAKTI berlaku paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku.

Pasal 102

Ketentuan mengenai pelaksanaan SAKTI sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini mulai digunakan untuk proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban APBN Tahun Anggaran 2022.

Pasal 103

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.05/2018 tentang Pelaksanaan Piloting Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1715) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.05/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.05/2018 tentang Pelaksanaan Piloting Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1691), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 104

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2021
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BENNY RIYANTO

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 1307